Oktober 10, 2017

Terlelaplah Lagi

Aku menemukanmu bersandar di bahuku. Entah sejak kapan, bahkan aku tak sadar berapa lama kau nyaman ada di sana. Kulirik dia perlahan. Ah, kau tertidur rupanya. Mungkinkah bahuku selembut kasur yang tak bisa kau tinggalkan tiap pagi itu? Aku hanya tersenyum.

Aku ingat wajah tidurnya. Senyumnya yang tak pernah ia sadar adanya. Mungkin kau bermimpi tengah bermain bersama peri-peri kecil penunggu alam bawah sadarmu. Aku yang hampir kelelahan menyangga beberapa bagian tubuhmu hanya bisa berdecak, tapi aku bahagia. Sebesar itu kepercayaan yang kau tumpukan padaku. Ya, bahagia itu sederhana.

Ingin kusulap waktu yang terus melaju tak mau tahu. Menikmati rona kelelahan itu, sesekali berubah kala merasa terusik. Dia sungguh lucu bak bayi polos yang mengindahkan apapun yang mengusik hibernasi singkatnya. Wajahnya semakin memancingku untuk menuliskan namanya dalam cerita baruku. Terlelap dalam Indah Rupa, tulisku kemudian.

Sudah berapa lama aku di sini dalam keadaan kaku tak bergerak? Semoga saja dia tak terusik dengan detak jantungku yang terus berdegup kencang. Apakah kau bisa mendengar bisikan hatiku di alam mimpimu?

Sial. Kau terbangun saat aku tengah khidmat menatap rona wajahmu lekat-lekat. Kulihat kau tersenyum sembari menunjukkan raut wajah bersalah telah memberatkan beban satu sisi pundakku. Aku hanya tersipu melihatmu yang salah tingkah. Yang aku rasa, mungkin kau mulai candu untuk singgah di sisiku seperti detik-detik itu. Singgahlah, selama apapun kau mau. Karena kupastikan, tak sembarangan orang mampu kurelakan hal yang sama sepertimu.

Ceritaku belum menuju titik akhir, pun setengahnya. Aku tahu, pasti akan ada perlakuan sederhanamu yang mampu membuat jemariku menari lagi di lain hari. Ah, aku tidak sabar menunggu waktu itu. Terlelaplah lagi. Jangan biarkan aku menyelesaikan cerita ini tanpa lugumu di dalamnya, ya!
Read more >>

Oktober 09, 2017

5 W 1 H

Hai, apa kabar?
Entah seberapa lama aku tak menyapamu, begitupun kamu. Kita terlalu asyik dengan kehidupan masing-masing setelah memutuskan untuk tidak bersama lagi. Aku pun tak pernah sedikitpun berpikir aku merindukan masa-masa itu. Karena kurasa, luka yang kau buat terlalu memaksa menyeruak ketimbang dengan kenangan indah yang pernah kita ciptakan bersama.

Kapan...
Kapan kita terakhir kali berbincang, ya? Pernah sesekali kulihat kau muncul dalam daftar mata-mata akun sosial mediaku. Ah, mungkin kau hanya sekilas melihat. Tak mungkin kau memastikan bagaimana kehidupanku saat ini. Yang aku tahu, waktu yang kita miliki telah jauh berbeda. Kurasa, bukan tak mungkin jika kau hanya melompati deretan unggahan sosial mediaku. Atau... ah, aku sama sekali tidak berharap.

Dimana...
Dimana tempat keluh kesahmu sekarang? Oh, pada kesibukanmu rupanya. Aku ingat, aku pernah menjadi pembuangan akhir cerita keseharianmu saat itu. Meski kadang aku benci mendengar keluhanmu, semoga kau tak lagi bising dengan kebaikan lewat kata-kata yang ada di sekelilingmu, ya.

Siapa...
Siapa yang berhasil membuatmu bahagia setiap harinya? Maaf, aku tahu. Tapi, bukan ranahku untuk ikut mencampuri, meski terkadang kau mengajakku untuk ikut bahagia bersamamu. Tak perlu kau pinta, aku akan selalu bahagia dengan semua kebahagiaanmu. Cukup kau dengannya saja, aku tak ingin terseret dalam jebakan yang bisa saja terjadi jika dia tersulut api cemburu padaku.

Kenapa...
Kenapa kini kau hadir meski setitik? Dengan sesederhana kedipan kata yang tiba-tiba, kalimat terlalu terburu-buru mengikuti di belakangnya. Ah, kau ini kenapa. Tak perlulah kau ucapkan kata terlarang itu. Jangan buatku curiga dan menaruh pikiran buruk jika kau hanya singgah dan kemudian pergi. Kenyataanya, terjadi.

Bagaimana...
Bagaimana bila ku tak peduli lagi dengan segala kelabilan yang kau agungkan? Setelah kau bolak-balikkan hatiku saat aku jatuh dalam hidupmu. Setelah aku berusaha percaya dan memulai semuanya dari awal dan kau memilih sebaliknya. Pergilah, karena kau pernah pergi tanpa pernah kuminta. Kini, bolehkah aku melakukan itu?
Read more >>

Agustus 20, 2016

Bahaya Merindu

Aku yang melangkah, aku pula yang terjatuh
Aku yang berjalan, aku pula yang berhenti

Rindu hanya sekedar bagi sebagian dari mereka. Hanya sekedar ucapan, sebatas wacana, sekena gurauan. Ya, sampai mereka mengerti dan merasakan bahwa semua terlalu berharga untuk dilewatkan. Ini menandakan bahwa kenangan bukan sebatas puing-puing yang terbengkalai. Ada kalanya kau akan menunduk dan meresapi kepingan yang tersisa. Tertunduk lesu dan meragu sekejap, entah akan bangkit lagi, atau justru semakin terpuruk. Kita bisa berjalan berlawanan. Namun percayakah bahwa dalam setiap pijakan ada jejak yang tersisa. Jejak itu bisa saja tercetak abadi atau tergerus masa. Sebuah pilihan yang ringan, namun cukup sulit dilakukan.

Rindu bukan sekedar menjadi beku untuk sosok yang tak tahu menahu. Ia akan menjerat tanpa ampun saat kau disapa oleh keganasan rindu. Rindu itu terlalu menggebu untuk mereka yang terlalu berharap meski ia tahu yang diharap tak kunjung berucap. Luapan rindu sungguh menyiksa bagi mereka yang terlalu merasa. Kau bisa apa dengan rindu yang terlanjur melebur? Menahan tapi terkurung? Atau mengikuti arus tapi tersakiti?

Aku yang memulai, aku pula yang (harus mengakhiri)
Aku yang tertatih, dan harus aku pula yang bangkit

Rindu kadang menjadi benalu. Menyesap dalam-dalam kekuatan yang telah lama terpupuk hanya untuk membangkitkan memori yang lama (di)tinggal(kan). Terkadang melilit kuat hingga hampir mencekik. Itulah caranya rindu memasuki rongga-rongga dan membuatnya menganga jauh lebih terbuka. Kadang kita memang butuh benalu rindu agar kita tahu bahwa kesia-siaan tak boleh dibiarkan semakin lama. Bangkit itu perlu, sebelum semuanya semakin terseok-seok dalam pengibaan.

Aku memang rindu tapi bukan berarti aku menunggu. Rindu ini terlalu bahaya bagi mereka yang tak mampu menghadang. Semakin diresapi, akan semakin kau merintih. Secara resmi aku berhenti merindu. Ya, mengartikannya sebagai pemberhentian dalam ruang tunggu untuk segala yang menggantung. Segala perbuatan memang perlu pertanggung jawaban. Dan terimalah caraku ini sebagai bentuk kepastian yang aku buat sendiri.

Berhenti menunggu sebagai caraku menghalau bahaya merindu
Read more >>