Desember 10, 2011

Kau Salah, Alan

Parade kesenian itu membuka pintu ingatanku pada satu waktu yang telah lama ku lalui. Ya, waktu itu, sekitar satu tahun yang lalu di Senin senja. Masih melekat sekali di benakku bagaimana ia membawaku bertemu dengan Alan


Alan, pria berpostur tinggi dan rambut pendek namun rapi, menyenggol lenganku saat aku tengah menyaksikan parade itu berlangsung. Haha.. Seringkali aku tersenyum kecil ketika aku mengingat es krim yang ia tumpahkan ke blus hijauku waktu itu. Lucunya, dia meminta maaf kepadaku dengan es krim yang memenuhi mulutnya, belepotan. Namun, es krim itu lah yang menjadi saksi perkenalan kami. Singkat memang. Tak ada kecanggungan di antara kami saat dia mengucapkan kata, "Sorry. Siapa namamu?" sembari mengulurkan tangannya. Aku hanya tersenyum malu. "Oh hai, aku Astari. Cukup panggil aku dengan Asta.", jawabku.
***
Sejak perayaan parade itu usai, aku tak lagi bertemu dengannya. Hmm.. mungkin ini hanya pertemuan singkat dan unik menurutku. Suatu malam di pertengahan bulan, aku mengunjungi pertunjukkan kesenian lainnya, di lain tempat tentunya. Aku melihat sosok pria cool dengan topi yang menutupi kepalanya sedang asik menunjuk-nunjukkan tangannya mengarahi beberapa orang di sekitarnya. Sepertinya aku mengenalinya. Hey, iya, dia Alan! Loh, apa yang sedang ia perbuat?, batinku. Tau begitu, aku tak lekas memanggilnya. Aku mengalihkan pandanganku pada tari papua yang sedang berlangsung saat itu. Entah, aku memang begitu menyukai seni. Mungkin sifat lembut ibu menurun padaku. Ya, beliau memang menyukai seni, seni apapun itu.

Entah berapa banyak aku mengunjungi berbagai pertunjukkan seni di bulan itu. Saking seringnya, aku tak ingat berapa jumlah pastinya. Mungkin karena aku begitu menikmatinya. Malam itu, setelah acaranya selesai, aku duduk di halte menunggu bus yang akan mengantarkan aku pulang. Aku merogoh kantong celanaku dan ku raih handphone di dalamnya. 21.30. Malam sekali ini. Kapan aku bisa pulang? Kemana bus yang hendak mengantarku pulang? Sudah jam berapa ini? Semua pertanyaan menggeluti pikiranku sendiri. Hampir saja aku kesal dibuatnya. "Huh..", aku mendesah keras. "Tenang saja, sebentar lagi busnya datang kok". Buru-buru aku menoleh mencari asal suara itu. Alan! "Tunggu 5 menit lagi ya.", ujarnya lagi. Hey, apa dia sudah lama di sampingku? Bagaimana bisa aku tak melihatnya? Apa dia mendengar keluhanku sejak tadi?
***
Sejak pertemuan singkat kami di halte ujung jalan itu, kami bertukar nomor hp. Sejak saat itulah aku dekat dengannya. Dia mulai sering mengirimiku pesan singkat, seperti jadwal rutinitasnya ku rasa. Ia kerapkali menanyaiku tentang apa yang ku lakukan seharian, jadwal makanku, hingga mengajakku ke pertunjukkan seni  yang ada. Dia pakar seni buatku. Bagaimana tidak, dia tahu benar seluk-beluk seni. Jarang sekali aku menemukan laki-laki yang gemar akan beberapa seni di negeri sendiri. Namun sekarang aku menemukannya. Ya, sosok seniman yang telah mengubah hidupku. Seringkali aku merasakan jantungku berdegup secara tak wajar ketika aku ada di dekatnya. Inikah...
***
Perhatian-perhatian yang ia beri membuatku semakin nyaman. Baru kali ini ada orang yang baru saja ku kenal namun mampu menarik atensiku begitu cepatnya. Dia pribadi yang unik. Hingga pada suatu malam di akhir tahun, handphone yang saat itu ku tindih di tempat tidur bergetar. 1 new message. Alan. Mataku terbelalak membaca pesannya saat itu. Dia memintaku untuk menjadi pacarnya? Bagaimana mungkin? Baru satu bulan lebih aku mengenalnya, apa harus secepat ini? Apa yang harus ku lakukan?
***
Seperti ada yang merubahku sejak saat itu. Aku tak lagi merasa bebas berada di dekatnya. Canggung. Ya, aku canggung terhadapnya. Belum ada jawaban yang keluar dari mulutku tentang permintaan Alan itu. Oh Tuhan. Aku harus bagaimana? Aku harus jawab apa padanya? Aku benar-benar tak tahu. Apakah cinta itu harus secepat ini? Jika memang cinta begitu cepat datang padanya, kenapa hal yang sama tak terjadi padaku? Inikah cinta di waktu yang berbeda?
***
Berbulan-bulan berlalu begitu cepatnya. Ya, ini sudah bulan ketiga setelah aku mengenalnya. Hubungan kami baik, walaupun kadang kami sering bertengkar karena banyak hal, dimulai dari hal yang super sepele, hingga hal yang cukup serius. Tentu saja ini karena hubungan kami. Entah kemana hubungan ini akan aku bawa. Aku tahu keinginannya, namun aku tak mampu mewujudkannya. Aku sayang, saking sayangnya, aku tak ingin menyakitinya sedikitpun. Ya, aku mulai sayang dia, walaupun tanpa status yang berarti. Hingga tibalah saat dimana aku menghabiskan waktu banyak dengannya. Dia terlihat begitu menikmatinya. Jika kau tau, Alan. Aku pun sangat menikmatinya. Meskipun aku tau, orang-orang di sekitar kami menggunjingkan kami akan banyak hal, aku berusaha untuk tak memperdulikannya. Aku bahagia dengan kita saat itu, Alan. Sungguh.
***
Setahun berlalu. Jika kami meresmikan hubungan ke arah yang lebih baik, mungkin kami sudah merayakan hari jadi kami yang pertama. Happy Anniversary, Alan. Aku tak percaya kita bisa menginjak satu tahun, mengingat begitu banyak pahit dan manis yang telah kita lalui. Hidup itu seperti roda memang. Kadang kita bahagia ketika mencapai puncaknya, dan sebaliknya, kita bisa begitu terpuruk ketika mencapai titik terendahnya. Dinamika kehidupan membuatku semakin sadar bagaimana aku harus menghadapinya dalam berbagai kondisi. Setelah kesenangan dan kebahagiaan yang aku rasakan bersamanya, akhirnya aku harus terpuruk karenanya. Entah memang ini karena salahku atau salahnya, aku tak peduli. "Sudah berapa kali ku katakan, aku tak ingin kau menungguku, Alan. Aku tak ingin menyakitimu.", kataku. Ya, aku tak ingin menggantungnya lebih lama lagi, namun aku tak mampu lepas darinya. Labil. Ya, aku labil. Alan hanya tersenyum. "Sudahlah, aku tak apa-apa, Asta. Tak usah memikirkanku. Biar aku yang menanggung semua. Ini resikoku. Aku menyayangimu apa adanya.". Alan, apa kau tak memikirkan bagaimana perasaanku yang seakan menggantungmu? Aku tak ingin menyakitimu lebih dari ini. Apa kau mengerti itu?
***
Tibalah klimaks kesakitanku. Dia pergi meninggalkan aku begitu saja. Kau bilang, kau sayang aku, Alan. Apa ini yang kau bilang dengan sayang? Jika kau sayang aku, apa harus kau meninggalkan aku di saat aku membutuhkanmu? Apakah dengan meninggalkanku itu kau sebut dengan 'sayang'? Aku tau kau lelah denganku, Alan. Bukankah kau sendiri yang meminta? Kau memintaku untuk tak memikirkanmu. Kau salah, Alan. Aku tak semudah itu untuk mengacuhkan perasaanmu. Kau tau, aku menghabiskan separuh malamku hanya untuk memikirkan kamu dan kita? Kenapa? Aku sayang kamu, Alan. Aku memang tak bisa berbuat apa-apa dengan hubungan ini. Aku tak bisa memberikan garis jelas untuk itu dan kau pun tak masalah, bukan? Lalu, sebenarnya ini salah siapa? Salahku yang menggantungmu karena bukan mauku? Atau salahmu yang meninggalkanku karena termakan omonganmu sendiri? Apakah cinta itu harus mencari kesalahan?  Terimakasih telah membiarkanku terpuruk, dear. Satu tahun itu bukan waktu yang singkat bagiku untuk mengenal seluk-beluk sifat dan egomu. Kita saling kenal bukan satu-dua-hari kan? Kenapa kau tiba-tiba pergi dan memaksaku untuk ikut pergi dengan arah yang berlawanan jika hanya karena kau ingin membuatku lupa dengan kehadiranmu? Kau salah, salah besar, Alan. Semakin kau memaksaku pergi sama saja kau memaksaku untuk tetap tinggal.
***
Sudahlah, Alan. Aku tau maksudmu. Aku mampu merasakan kacamata hitam yang selama ini menutup pandanganmu dariku. Aku paham itu, Alan. Ini memang menyakitkan buatku, namun aku tau selama ini kau pun memendam sakit yang begitu hebatnya ketika bersamaku. Ingatlah, Alan. Setahun denganmu, 365 hari lebih di sisimu bukanlah waktu yang teramat singkat untukku. Mungkin memang benar, cinta yang dipaksakan tak akan pernah baik. Mungkin memang benar, cinta tak harus memiliki. Aku percaya kau pun sayang padaku, Alan. Rasa sayang bisa saja menjadi senjata untuk menyakiti, bukan? Tenanglah, Alan. Aku takkan menyakitimu seperti kamu menyakitiku. Aku takkan mampu seperti itu. Aku cukup bahagia ketika kamu bahagia dengan pemilik hatimu yang baru. Bahagialah bersamanya, Alan. Aku sedih, sejujurnya, namun tenanglah, aku bahagia melihatmu menemukan duniamu yang baru. Tangisku telah melekat karenamu, Alan. Tapi tenanglah, semua takkan bertahan lama. Aku takkan membiarkan kamu melihat kesedihan ini. Biar kau cukup melihatku tersenyum meski kau tak tau betapa besar kesedihan yang telah tertahan di benakku. Aku hanya tak ingin terlihat lemah di depanmu, Alan. Sungguh. Selamat berbahagia, Alan. Aku menyayangimu dari jauh, di sini, entah sampai kapan. Mungkin sampai Tuhan memberikan aku penggantimu dan mengijinkan untuk mengubah hatiku untuk sosok lain dari kamu.

0 Komentar:

Posting Komentar