November 30, 2013

Udara yang Terluka

Tersiksanya saat harus mengurai rasa lewat kata
Menulis sembari menangis
Tertawa dalam luka
Juga setia dalam nestapa

Mungkin aku hanya rindu malam minggu yang penuh lagu. Bersanding di bawah terik mentari, menumpas malam dengan bahagia. Berbicara soal nurani, mungkin aku lupa dimana akal sehatku. Terakhir kali, membekas, dalam, hampir menuju jurang. Aku hanya bisa tertegun saat duniaku berbalik tanpa bisa kubayangkan. Tawa sebatas mata, perih dalam luka. Melukai aku dengan tawa itu, menjadikanku udara yang tak tampak meski selalu ada di sisimu. Pengorbanan akan menang, suatu saat nanti. Kau takkan bisa hidup tanpa angin. Kau takkan bisa tertawa tanpa udara. Udara yang kau goreskan luka, udara yang pasti kau cari setiap hari. Ya, kau akan hampa tanpa udara.

Udara yang membara....
Kini menjadi udara yang terluka.....
Read more >>

November 27, 2013

(Sementara) Berhenti

Berusaha memperbaiki keadaan yang terus berjalan, aku mencoba tersadar dari hingar-bingar ego yang kian memuncak. Ada hasrat untuk mengalah, tapi.... Ah, sudahlah. Apa yang bisa dikalahkan? Rasa? Bahagia? Cerita? Cinta? Berhenti hanya untuk mengalami hal yang sama lagi?

Aku hampir bingung dibuatnya. Terkejut? Pasti. Adakah seseorang di balik layar yang mengubah skenario yang telah dirajut dengan apik? Berhentilah, kumohon. Aku ingin bertemu kisah bahagia yang kutulis sendiri. Aku ingin lalui bahtera cinta yang kurajut dengan jemari-jemari letih ini.

Jangan berubah. Jangan menepi dari jalurnya. Ini hanya sementara. Ya, sementara menukik untuk bahagia lebih lama
Read more >>

Memahami Rasa

Ada rasa sepi dan ingin menepi
Saat gundah berusaha membelah
Aku mencoba memahami
Bahwa semua bisa saja berubah

Apa ada yang salah?
Untuk merasa gelisah..
Untuk menyimpan arah yang hampir tiba
Di pelabuhan akhir dalam harapan

Mungkin cerita tidak tahu
Letak muara dalam persimpangan
Atau insan yang tidak mampu
Memahami rasa yang sebenarnya ada
Read more >>

November 24, 2013

Kita Berhak Bahagia

Ketukkan kesepuluh jemariku menggalirkan segalanya. Apa yang selama ini hanya bisa terkubur dengan apik dalam palung hati, rasanya tak bisa kubiarkan terlalu lama di sana. Ada kalanya kita bercerita tanpa harus bersuara. Mengapa? Karena suara tak selalu membuat orang lain merasa. Diam? Bisa menjadi alternatif bagi mereka yang tak paham dengan kata-kata yang mengalir begitu saja.

Rasa takut itu kembali menghantui. Sama seperti dulu, bahkan lebih rumit dan terlalu melilit. Aku jadi ragu, apa aku harus kembali membisu dan memenangkan kicauan di seberang sana? Seperti dulu? Dan terjatuh lagi dengan tawa yang membahana di ujung sana. Itu bahagia?

Kau tahu, kebahagiaan itu tak selamanya harus berbicara tentang orang lain. Ada saatnya kita perlu bahagia dengan cara kita sendiri, mengindahkan ego orang lain tentunya. Kita berhak untuk bahagia, tanpa kicauan, tanpa gurauan, atau tanpa sentilan rasa yang bisa menghancurkan segalanya. Kita harus membuat orang lain bahagia, aku tahu. Tapi apa kita harus mengorbankan kebahagiaan kita untuk mereka? Lantas, bagaimana jika semua tak ingin berbalik?
Read more >>