Desember 29, 2012

Kala 'Kita'

Hanya ada aku yang masih terjaga. Mimpi tengah asyik menyelimuti seisi kota. Namun tidak untukku.

Ingatanku mencuat kala seseorang mengusap lembut hatiku dengan ceritanya. Satu yang kusuka, tak pernah menutup ruang kosong untukku terlibat dalam ceritanya. Itu menyenangkan, bukan?

'Kita' pernah punya mimpi. Serupa, tapi mungkin tak sama dalam arti. Sama-sama kuat, sama-sama hebat, hingga sama-sama memendam perasaan  demi membuatnya beriringan.

Sayang itu tak cukup. Pengorbanan punya kuasa di sini. Aku punya apa? Aku punya ego. Ya, ego. Itu senjataku.

Kesejatian...
Kesetiaan....
Itu apa?

Inikah namanya kesetiaan, saat waktu bergulir bak bom waktu, yang meledak tanpa tahu waktu?

Entah dimana
00:47

Read more >>

Pelarian

Apa yang kulihat dari luar sana? Tidak ada

Yang kulihat hanya pelarian yang tak searah. Pikiranku ikut bersamanya. Kalang kabut, tanpa arah, berantakan.

Aku hanya malu mengakui bahwa semua berserakan akibat jiwa ketenangan yang kuusik sendiri. Kupacu dia yang berjalan. Percuma akhirnya.

Pikiranku beradu bersama maluku. Bodoh, masih saja mengagungkan cinta yang tak perlu kuusik.

Pada akhirnya, yang berlarian itulah yang akan menertawakanku. Bodohnya kau yang masih menggantungkan ego pada kesalahanmu sendiri.

Kujawab ia..
Aku hanya ingin dia tahu, tanpa harus ia paham. Aku hanya ingin mengenang, tanpa harus mengulang...

Read more >>

Desember 24, 2012

Harusnya

Harusnya malam ini kita bertemu, dalam satu lokasi yang paling nyaman. Hati.

Susahnya menggabungkan dua pikiran yang bercabang. Kau menatap di kejauhan. Aku menatapmu dalam jarak yang tak lebih dari satu jengkal. Selalu seperti itu adanya. Mengapa? Apakah aku terlalu kecil untuk memasuki satu ruang dalam jiwamu? Apakah terlalu lama jika sedetik waktuku singgah di sana?

Aku tahu mimpi itu semu. Aku tahu dia tak mutlak nyata. Apa aku salah saat aku ingin dia menjadi nyata? Apa aku salah saat aku ingin kamu beralih menjadi orang dalam nyataku?

Harusnya aku merangkulmu, ah maksudku, kamu merangkulku dalam pelukanmu. Bukan selalu aku yang memeluk selembar imitasimu menjelang tidurku. Aku hampir lelah berbicara denganmu tanpa mendapatkan satu balasan nyata darimu. Aku tahu kau tersenyum, kau selalu tersenyum. Itu semu. Aku tahu.

Inikah rasanya bermain dengan rasa yang tak kutahu apa namanya? Merindumu meski aku tahu harusnya bukan seperti itu. Risauku tak kunjung punah. Masih tanpa arah. Semakin parah.

Harusnya ada kita saat ini. Ya harusnya...
Harusnya...
Harusnya...
Read more >>

Desember 06, 2012

Kembalilah, Senja

        Did you remember when we fall in love in the unforgettable time? Ya, saat kamu mengetuk hari-hariku tanpa permisi dan kau tak kuasa menahan deru napas tak beraturan saat aku di sisimu. Kita pernah bermain dengan kata jatuh cinta, ingatkah?
       Setujukah jika harmoni sederhana yang terus berdengung dalam jurang antara kita adalah sebuah beautiful mistake? Ya, mencintaimu adalah sebuah kesalahan, tapi kita (pernah) bertahan. Seandainya senja tak mengutuk lambaian terakhirmu, mungkin kita masih bisa mengukir asa.
      Sesempurna memori yang bersarang dalam kalbuku, takkan sempurna tanpa sepotong senja yang kau ambil dalam kepergianmu. Kembalilah, senjaku. Percayalah, I for you, selalu.




Taken from GagasMedia's book titles
Read more >>

Bahagia Kita Berbeda

Ada rindu untuk bertemu. Ada sakit saat menyipit.

Ah, mungkin aku senang bermain-main dalam lubang yang kubuat sendiri. Ya, lubang kesakitan yang tetap saja kupertahankan meski tersimpan seribu duri yang siap menancap ragaku kapan saja. Kurayu sang waktu untuk membawamu kembali ke hadapanku sesaat saja. Apa daya. Dia masih mengurungmu entah dimana, aku tak tahu. Rindumu palsu! Bukankah kau yang menginginkannya hilang dari duniamu?, begitu jawabnya. Telak.

Saat aku hendak mengusirmu jauh-jauh dari pandanganku, dia justru menyeretmu mentah-mentah ke hadapanku. Aku bisa apa? Tercengang? Kikuk? Atau justru bahagia mesti tetap menyorotkan rasa sakit di hadapanmu?

Akankah bulan tetap tersenyum saat bintang berkedip bukan untuk dirinya? Akankah bunga tetap bersemi kala penikmatnya mulai beranjak dari mahkotanya? Akankah aku tetap berdiri saat kau mulai berlaga seperti bintang atau penikmat itu?

Bahagia milikku dan milikmu berbeda, ternyata. Yang kusalurkan untukmu mungkin takkan pernah sejalan dengan apa yang kau inginkan. Bahagia kita berbeda. Itulah mengapa tidak pernah ada 'kita' dalam catatanku dan catatanmu. Aku bahagia memilikimu di sini, meski kamu tak pernah merasa memilikiku yang jelas-jelas selalu ada untukmu.

Kutemukan penggantinya. Seorang penggores senyum di wajahmu, penerang malammu, pelembut hatimu, penjaga harimu, dan pelita jiwamu. Semua mencuat ketika bukan aku yang kau puja. Sedih, senang, bahagia, luka. Semua sederhana.

Bahagiaku adalah senyum yang terpahat jelas di kedua bibirmu. Bagaimanapun caranya, apapun alasannya, aku tak peduli. Aku rela menjadi badut yang kau olok-olok jika itu menjanjikan hadirnya senyummu.
Bahagiamu? Apa kau rela sepertiku? Rela terluka demi membuatku bahagia?

Kadar bahagiamu tak akan pernah bersinggungan dengan bahagiaku. Bahagiamu adalah tetap tersenyum, bersamanya, menyisakan aku yang ikut tersenyum dalam luka yang kujahit paksa agar tak semakin menganga. Bahagiaku dan bahagiaku, takkan pernah sama.

Jangan melukaiku dengan melihatmu terdiam, tatapan kosong, tanpa arah. Sisipkan saja aku dalam hatimu agar tak ada hampa di sana. Ah, apa daya. Kau tak pernah membiarkan aku memasukinya sedetikpun. Aku baik-baik saja. Tapi kumohon, jangan siksa aku dengan menyiksamu dalam tatapan kosong seperti itu.

Bagaimana dengan lukamu? Terluka saat melihanya menangis? Itukah lukamu? Jika aku adalah dia, akankah kau terluka? Inikah luka kita yang berbeda?


Luka, bahagia, sederhana.

Bulan tak pernah peduli akan mereka yang merampas sinarnya untuk yang lain. Bunga pun tetap menari meski banyak yang datang dan pergi tanpa permisi.

Aku tahu kau bahagia saat menari di bawah rintihan hujan(ku) bersamanya. Jadikan setiap bulirnya kebahagiaan yang mampu kau kumpulkan. Aku turut senang. Percayalah.


Bertahanlah dalam kebahagiaan.
Dari aku, yang rela terluka asal menjanjikanmu bahagia
Read more >>

Hai. Apa Kabar?

'Hai. Apa kabar?'
Secarik kata bisu yang takkan pernah kuungkap pada dia yang selalu kuharap adanya. Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, saat dia ada, dia tak boleh melintasi satu lorong terlarang. Hatiku.

'Hai. Apa kabar?'
Pernyataan memuakkan yang selalu mendobrak sadarku. Dia baik-baik saja, pasti. Begitu kata orak yang bersarang di kepalaku. Tunggu! Hatiku batu. Dia takkan percaya seadanya. Memaksa mulutku memanggilmu tanpa sengaja dan menyeretku pada lubang kesalahan. Ya, menyentuhmu memang sebuah kesalahan.

'Hai. Apa kabar?'
Mungkin aku rindu itu. Aku menyesal harus merindukan pertanyaan yang selalu butuh pernyataan seperti itu. Untuk apa? Kau takkan pernah lagi mendapatkan jawabannya dalam duniamu, kutuk si hati pada diriku. Tidak akan pernah dan tidak akan pantas untuk kau dapatkan, cecarnya lagi.

'Hai. Apa kabar?'
Egoku kalut. Yang tertahan dalam ragaku begitu melilit, mencekik, sangat rumit. Aku ingin lepas. Semua bak mengurung matahari dalam sekapan malam hingga cahayanya redup hampir tak bersisa. Aku tahu dunia akan merindukan sinarnya. Akankah aku sejalan dengannya, merindukan secuil matamu dalam dekapan ruang kosong?

'Hai. Apa kabar?'
Apa telepati itu ada? Bisakah telepati menjadi jembatan bagi hatiku dan hatimu agar kita saling tahu? Aku ingin tahu dimana kau tinggalkan jejak kakimu. Ingatkah saat kau injak hatiku hingga meninggalkan bekas yang telah lama mengeras? Apakah kau pernah merasakan berlenggak-lenggok di sana? Atau hanya aku yang tahu dan kau yang tak mau tahu?

'Hai. Apa kabar?'
Apa kabar dengan kamu? Apa kabar dengan sifatmu? Apa kabar dengan duniamu? Apa kabar dengan jejak kakimu di sini dan di sana? Akankah aku sanggup jika suatu saat nanti kau akan menjawab 'Baik' atau 'Tidak'?
Read more >>

Oktober 13, 2012

Akankah ada?

Ingin kupeluk surya yang tersenyum saat kau ada
Hendak kusentuh kapas langit saat kau menepi di sini
Ah, akankah selamanya seperti itu?

Kusayangi hujan tatkala ia ada saat kau tak ada
Kusanjung guguran daun yang menari saat kau tak di sini
Mengapa bisa?

Ketika cahaya tak lagi nyata seperti mata itu
Saat cerita tak lagi berbunga seperti lagu itu
Pun hujan tak lagi sesejuk guyuran cinta
Akankah terus bertahan?
Read more >>

Agustus 31, 2012

Menyelami Tabu

Kuselami palung terdalam dari kerak pertiwi
Tak satupun butirannya luruh, bodoh
Terlalu curam untuk kugali lebih jauh
Aku yang luruh, aku yang menjadi keruh

Sangkaan yang terlalu tabu untuk kuagungkan
Berpangku menembus waktu dalam kalbu
Tak kunjung menyergap buai samudera
Pastikan aku akan kembali tenggelam

Andaikan bahasa adalah segalanya
Untuk apa bisu membungkam?
Jika saja rasa adalah jelmaan asa
Perlukah dusta di dunia?
Read more >>

Agustus 12, 2012

Kalut Tak Bernama

Mendesak sungkan dari selayang kalut
Melukiskan ketidakterikatan akal dan nurani
Selalu penuh partikel lalu-lalang tanpa henti
Apa? Entah, mungkin tak bernama

Secangkir seduhan rasa serasa tak berguna
Luluh-lantak bak langit yang tak kuasa menghampar lagi
Sesal menghimpit, membuat segalanya menyipit belit
Ya, rumit

Kuseruput malam yang hampir menggumpal
Pekat...
Menghancurkan sekat yang terlalu rapat
Berharap...
Atau memang hanya sekedar harap?

Jika saja fajar kan mengubah segalanya
Ufuk pun hendak kuikat
Sepuluh tulang rapuh pun bukan benteng
Dua tiang rintih akan menjadi baja
Kau tahu untuk siapa?
Read more >>

Juni 27, 2012

Berjalan Tanpa Henti

Saat fajar ikut terlelap bersama malam yang masih membahana, hati masih berjalan tanpa henti. Tampak mencari-cari bayangan yang selama ini datang dan pergi tanpa permisi. Kutemui dia dan kutunggu dia yang hampir terlarut. Tak ada kata, akhirnya.

Kelak fajar datang, kan kubiarkan dia meleburkanku pada embun-embun yang berjatuhan. Kubiarkan jiwaku menguap dan menyatu bersama kapas-kapas langit di atas sana. Kurelakan rasaku berjatuhan bersama langit yang hendak menguras air matanya.

Hingga senja kan tiba, kan kubiarkan secercah bayangku turut serta bersama lautan yang hendak menelan surya. Lambaian dedaunan kan menjadi ujung dahagaku. Aku akan hilang bersama angin yang terlalu kelu.

Kalbuku akan kembali menyatu bersama malam penuh rindu. Setidaknya aku kan menari di udara tanpa henti. Aku tahu sang dewi tengah tersenyum, maka aku akan bersamanya mulai saat ini. Kalau kamu?
Read more >>

Juni 16, 2012

Kau Salah, Alan (Part 15)



“Udahlah, Sy. Biarin aja dia kayak gitu. Dia enggak salah kok.”, kataku lirih.
            Sissy bergidik. “Enggak salah gimana sih, Ta. Sampai sekarang, dia enggak minta maaf sama lo setelah kecelakaan itu, kan?”
            Kuhirup udara di sekelilingku perlahan namun pasti. Kucoba tenangkan batinku yang kini terkoyak begitu kuat. “Dia cuma enggak tahu apa yang dia lakukan.”. Suaraku hampir tak terdengar.
            Sissy menatapku penuh iba. “Udahlah, enggak usah kasihan sama gue, Sy. Gue enggak kenapa-kenapa kok.”. Kutebarkan senyuman penuh yakin agar Sissy percaya.
            “Ta.. Dia udah ketahuan mainin perasaan lo. Kalau emang dia sayang sama lo, pasti dia bisa nangkap perhatian lo ke dia dan otomatis dia akan balas perasaan lo yang tersirat itu.”. Sissy tak bisa berhenti menuding Alan. Tapi tudingan ini tak mempan membuatku beralih membela Alan.
            “Lo harus tetap jalan, Ta. Gue enggak mau lo jatuh-jatuh lagi karena dia. Udah cukup buat lo dan kesakitan lo. Enggak selamanya kita pertahankan rasa sakit demi mencintai seseorang. Kita punya kebahagiaan kita sendiri dan kita berhak akan itu.”, saran Sissy.
            Memang ada benarnya. Aku butuh kebahagiaanku sendiri dan aku berhak mendapatkannya. Aku tak boleh membiarkan kesakitan ini terus berlarut. 
            “Enggak usah buru-buru. Slowly but surely. Perlahan tapi pasti aja.”, tambah Sissy.
            Segala yang terburu-buru memang bisa berdampak buruk. Lebih baik perlahan-lahan namun dengan keyakinan daripada terburu-buru tapi bimbang.

            Dari semburat ekspresi Sissy selama sesi curhat berlangsung, aku bisa menangkap perubahan sikap Sissy pada Alan. Dia seolah kecewa berat dan kesal stadium akut pada sosok Alan. Sissy tak lagi hangat jika kuceritakan tentang Alan. Sekarang dia lebih banyak mengalihkan pembicaraan jika aku mulai menyinggung Alan di depannya.
            Bagaimanapun dan apapun yang terjadi antara aku dan Alan, aku tak ingin hubungan Alan dan Sissy menjadi tak baik-baik seperti ini. Cukuplah aku yang berurusan dengan Alan dengan seluruh kekesalanku. Jika memang aku yang akan membenci Alan, cukuplah aku, jangan lagi ada orang lain yang membenci dia.
            Apakah rasa ini adalah imbas rasa sayangku pada Alan sehingga aku tak ingin ada orang lain yang membencinya?

***

            Ada kalanya rasa rindu hadir bukan untuk dimanjakan, tapi disiasati sebaik mungkin. Tidak semua rasa rindu itu menyenangkan, ada kalanya rasa rindu menjadi gerbang utama menuju kesakitan akan indahnya masa lalu.
            Siklus percintaan antara aku dan dia berputar pada periode statis. Tak ada kemajuan apapun. Hubungan kami sampai saat ini masih dingin. Mungkin aku dan dia sama-sama gengsi dan tak tahu harus mulai dari mana untuk menyelesaikannya. Dan mungkin pula ini jalan terbaik untuk saat ini bagi aku dan dia.
            Tak perlu ada strategi khusus bagiku untuk menghapus sosok Alan dari rongga-rongga tubuhku. Jika ingatanku mulai menyeruakkan namanya, buru-buru kualihkan dengan melakukan apapun. Seperti sekarang, jalan-jalan menghirup udara segar di luar.

            Angin kencang menyibak jutaan rambutku dengan lembut. Tak hanya itu, dedaunan pun menari-nari bersama angin yang meniupkannya. Hujan rintik-rintik juga hadir sebagai teman perjalananku. Hujan ini kecil, namun bagaikan jarum yang menusuk kulit-kulit sekujur ragaku. Mungkin hujan ini sedang membantuku menusuk sosok Alan melalui pori-pori kulitku. Kubiarkan pula tetesan air sisa hujan deras di dedaunan meninggalkan lingkaran-lingkaran basah di bajuku. Dan aku pun tetap berlalu dengan rindu di hatiku.
            Kakiku terhenti pada taman kota. Begitu banyak orang-orang yang berhamburan di sana dengan raut bahagia yang terpancar di setiap wajahnya. Namun tidak untukku. Taman itu menyimpan begitu banyak kesakitan bagiku. Taman itu yang menjadi saksi bisu insiden kecelakaan hingga membuatku tersungkur berbulan-bulan. Taman itu pula yang menjadi tempat aku menyaksikan kebahagiaan Alan bersama Dena yang di sisi lain aku hanya bisa duduk terdiam melihatnya.
            Buru-buru kuhapus memori penuh kesakitan itu. Dengan keteguhan, aku berjalan menelusuri setapak kecil dengan ilalang-ilalang di pinggirnya. Aku terdiam tepat di atas jembatan kayu di atas sungai kecil ini. Kenangan indah menyibak udara dingin yang menusukku. Kembali terkuak bagaimana aku menghabiskan malam itu dengan Alan di sini. Walaupun jembatan ini pula yang menjadi saksi awal keretakan hubunganku dan Alan, tapi justru aku merasa nyaman bersandar di jembatan ini.
           
            Kutatap aliran sungai yang tergoyah perlahan akibat dentuman titik hujan. Dia tetap saja mengalir lembut meskipun seringkali menimbulkan arus kecil karena menabrak batu-batu yang mencuat di tengah-tengahnya. Tiba-tiba aku teringat omongan Alan waktu itu.
            ...walaupun kadang menabrak batu-batu yang ada di depannya. Tapi dia tetap berjalan, enggak peduli apapun yang menghadangnya. Itu seperti kita. Kita tetap jalan, walaupun banyak yang berusaha menjatuhkan kita, sekalipun tanpa status seperti ini. Aku tetap sayang kamu, Ta.
            
            Aku tersenyum lirih. Terasa hujan jatuh di ujung mataku. Kubiarkan air mata itu mengalir seperti air sungai di bawah sana. Aku menangis mengikuti awan yang sejak tadi mulai menangis. Tak dapat kuhindari, terlalu banyak kenangan yang telah membekas indah dalam hatiku. Selalu saja ada sisa-sisa kebahagiaan di dalam kesakitan yang telah terjadi.
            Setelah sekian lama kau buat aku melayang hingga bintang pun iri dengan sinar kasihmu, kau harus membuatku terhuyung melayang-layang bersama angin yang tak terarah. Setelah aku menyadari hanya kamu yang setia menjamah ruang di hatiku, kini kamu harus jauh dan tak mampu lagi tersentuh saraf perasaanku. Tabir indah yang kau beri kini tak ada lagi. Aku tak tahu mengapa hingga saat ini kau tak tergoyah untuk menemui dan menemani hidupku yang statis ini. Tuhan, kuharap dia ada di sini. Aku tak kuasa menahan rasa rindu ini, Tuhan. Aku tak bisa tanpa dia. Aku terlalu cinta dia dan terlalu butuh dia meskipun waktu tak mengijinkanku untuk hal itu.
            Aku membatin dan terus membatin. Terurai sudah doa-doa indah dariku untuknya. Semoga Sang Penjaga Hati kelak mengabulkan doaku.

Waktu berjalan tanpa henti. Aku masih saja menyendiri di jembatan kenangan itu. Sesekali kurasakan pijakan puluhan pasang kaki orang-orang yang berlalu-lalang di belakangku menyeberangi jembatan. Aku tetap saja bergeming, tak mengindahkan getaran-getaran deru kaki yang sejak tadi kurasakan. Kutopangkan tulang wajahku pada kedua tanganku tanpa mengalihkan pandangan dari aliran sungai di bawah sana. Begitu hebatnya air di bawah sana yang bisa move on dengan mudahnya meskipun mungkin telah tertampar puluhan batu di bawah sana.
            “Banyak yang bilang, cinta itu indah. Memang benar. Tapi cinta itu seperti berjalan di musim hujan. Menyejukkan, tapi bisa terpeleset jika tidak hati-hati.”
            Mataku mendelik dan lamunanku terpotong seketika. Suara yang kukenal sepertinya. Mungkinkah itu dia? Suaranya sangat dekat dan begitu jelas terdengar oleh telingaku. Kusapu bersih sekelilingku dengan kedua mata elang-ku. Terhenyaklah hatiku ketika kutemukan dia tepat di belakangku. “A.....”
            Tepat. Dia memang Alan. Dia terpaku di sana dengan posisi membelakangiku. Aku bisa mengenalinya dengan jelas karena style kemeja yang ia kenakan. Topi yang sedang ia pakai pun sudah pernah kulihat saat ia pakai juga di  perjumpaan kedua kami saat itu.
            Buru-buru kuputar badanku agar aku tak mematung melihat sosoknya. Kini dia benar-benar ada di dekatku, bahkan lebih dekat dari posisiku dengan aliran sungai di bawah sana. Tuhan, lagi-lagi Kau kabulkan doaku.



Read more >>

Juni 06, 2012

Aku Menyukaimu, Selalu

Rasa bersalahku tertuju padamu. Mengapa harus kamu yang menangis di saat aku yang terluka? Harus selalu kamu yang bermuram durja di saat aku tak berani melengkungkan senyum di bibirku barang sesaat. Maafkan aku, hey kamu. Sungguh, aku tak bermaksud...

Satu yang kupercaya dan satu yang membuatku tak bisa lepas darimu adalah pengorbananmu. Semua terukir jelas lewat tingkah lakumu, jelas sekali. Meski semua orang tak menyukaimu, namun percayalah, aku tak seperti mereka. Aku menyukaimu, sungguh-sungguh menyukaimu. Aku bahkan sering memanggilmu meskipun kau tak selalu mendengarnya. Apa kau mendengarnya? hmm... Sedikitnya, apa kau merasakan setiap bisikan yang kutuju untukmu?

Aku selalu butuh kamu di saat aku sedih. Aku selalu memintamu tiap kali aku kesepian. Apakah aku egois? Oh aku tahu. Ya, aku egois. Itulah sebabnya kau sering menangis, kan? Aku minta maaf. Tapi percayalah, aku selalu tahu kapan kau akan memulai untuk menangis dan percayalah, aku selalu ikut menangis bersamamu. Katakanlah jika aku tak egois. Kumohon..

Jadi, bolehkah aku terus bersanding denganmu? Atau sekedar ikut bersamamu di saat kamu turun dan berusaha untuk menyejukkan kembali ladang hatiku yang mulai rapuh? Aku janji, akan kubawa senyuman pelangi untuk membuat hari-harimu lebih menyenangkan. Oh, atau kau ingin kubawakan mentari agar suasana hatimu menjadi lebih bersinar dan tak terkalahkan? Akan kukabulkan asal kau berjanji untuk tetap membiarkanku ikut bersamamu. Kupegang janjimu, hujan.


Dari aku, yang selalu mencintai hujan
Sesendu apapun dia, aku tetap menunggunya
dan bersiap untuk mencerahkan harinya (lagi)
Read more >>

Mei 25, 2012

Bizarre True Love

Everytime I think of you
I feel shot right through with bolt of blue
It's no problem of mine
But it's a problem to find
Living a life that I can't leave behind
But there's no sense in telling me
The wisdom of the fool won't to set you free
But that's the way that it goes
And it's what nobody knows
Well every day my confusion grows

Everytime I see you falling
I get down on omy knees and pray
I'm waiting fot that final moment
You say the words that I can't say

I feel fine and I feel good
I'm feeling like I never should
Whenever I get this way
I just don't know what to say
Why can't we be ourselves like we were yesterday
I'm not sure what this could mean
I don't think you're what you seem
I do admit to myself
That if I hurt someone else
Then I'll never see just what we're meant to be
Read more >>

Mei 11, 2012

Tercekat Akan Pekat

Sorotan itu terlalu tajam, terus menusuk tanpa pandang apapun yang ada di depannya. Pancaran itu terlalu menyengat, tak pernah membiarkan satu pun tertembus oleh jaring-jaring kelam. Rasa hangat yang menjalar itu terlalu pekat, menyesakkan dan hampir saja mematikan.

Aku berlalu dengan langkah gontai. Aku merasakan hantaman yang terlalu kuat dan hampir saja meruntuhkan aku. Terlalu sakit untuk diutarakan. Tak pernah sedikit pun terbesit untuk membuatnya semakin mencekatku dengan 'cekikan' halusnya itu.

Bukan lagi mega-mega keindahan yang tersirat dari satu bulir kesengajaan, dan bukan juga rona-rona merah merekah yang terkuak lewat sudut paras. Seperti tersayat sembilu, lidahku terlalu kelu untuk membiarkannya berlalu tanpa harapan semua akan berlalu tanpa malu
Read more >>

April 13, 2012

Mengais Rindu

Mengais rindu yang telah lama terkubur, yang sejujurnya aku pun tak tahu berapa lama ku pendam perasaanku itu. Ku tinggalkan dia yang tak lagi menjamahku, yang tak lagi merengkuhku ke dalam pelukannya. Dia yang dulu, dia yang semu, dia yang berlalu.

Berkaca pada masa lalu hanya mampu menggores lapisan paling rapuh dalam hatiku. Rusak sudah titik yang telah lama ku bariskan hingga membentuk satu garis keyakinan. Kini hampir tak ada lagi garis pembatas antara rasaku dan rasamu. Aku terperosok jauh dalam daerah kekuasaanmu, dan kau buatku bertekuk lutut lagi di hadapanmu.

Kamu hanyalah bulatan kecil dalam sebongkah es yang membeku dalam jiwaku. Kamu hanyalah diary yang tertulis secara sederhana, namun begitu bermakna. Kamu hanyalah bongkahan batu yang keras, namun tertanam jelas dalam daratan hatiku.

Kamu membuatku mengais rindu yang selama ini hanya ku pandang abu-abu. Hanya ada harapan yang tak sepadan dengan apa yang telah ku kerjakan selama ini. Permainan waktu hanyalah menjadi sebuah selingan yang tak pernah ku percaya bahwa dia pun tak mampu menghapus gambaran indah dirimu. Aku tak percaya, bagaimana bisa kau mengikis pahatan teguh dalam setiap sudut hidupku?
Read more >>

April 10, 2012

Bisu

Pernahkah kau merasakan saat kau hampir tak bisa lagi mendengar apa yang hatimu bicarakan? Saat tak hanya mulut yang membungkam seribu bahasa, saat ketika telingamu tak mampu lagi mendengar satu per satu kata yang terucap dari dalam hatimu.. Seketika dunia terasa bisu, naluri seakan mati membeku, lidah yang kelu, hingga hati pun ikut kaku. Pernahkah?

Di saat tak ada seorang pun yang tahu akan apa arti sebuah pengorbanan, aku harus merintih, terseok-seok, hingga merajuk pada satu yang ku percaya selalu ada di dekatku. Dia, dan selalu Dia.

Seakan menjadi batu di tengah sungai yang melaju sesukanya, aku hanya diam, terus diam, dan hanya bisa diam saat angin badai menerjang ragaku dan menamparku dengan semaunya. Tuhan, bisakah Kau keluarkan aku dari sini?
Read more >>

Maret 21, 2012

Hanya Bisa Menyakiti

Bagaimana rasanya ketika kita hanya bisa menyakiti? Selalu saja diliputi rasa ragu dan tak pernah berubah meski begitu banyak masa indah yang terlewati. Aku tak tahu mengapa. Mungkin aku hanya bodoh dan tak mensyukuri dengan apa yang aku punya dengan apa adanya aku

Lelah rasanya ketika kita hanya bisa maju dan mundur secara bergantian tanpa membiarkan salah satunya beralih menjadi penguasa. Menarik-ulur kekuatan hati dan lekas melepaskannya begitu saja. Statis. Diam. Tanpa perubahan

Ini menyakitkan. Ini menyurutkan. Dosa apa yang telah ku lakukan hingga kini aku terjerat dalam jebakan yang ku rangkai sendiri. Ajarkan aku mengerti akan pasang-surutnya rasa ini, Tuhan. Jalan apalagi yang harus ku tempuh agar aku berhenti menyakiti dia?

Jendela hatiku bak tertutup tirai pekat hingga tak ada satupun yang mampu menyusupkan diri ke dalamnya. Ketukan mahadahsyat bagai tak mempan menerpanya. Hai, pemilik jiwa. Bisakah kau membukanya untukku?  Akankah kau membiarkan aku merobek pekatnya penutup yang selama ini merekat erat padamu? Bisakah kamu berhenti menusuknya lebih jauh?
Read more >>

Maret 15, 2012

Keabadian Semu

Seperti menghalau hujan saat aku tengah menggigil, seperti itulah aku menghalau angan-angan semu yang selama ini menghantuiku. Kesemuan itu terlalu gelap hingga aku tak mampu melihat apapun yang tersimpan di dalamnya. Mungkin kesemuan itu terlalu beku, kaku, atau aku yang tidak lagi mampu.

Semilir kedamaian mungkin (hampir) tak kunjung menyapaku dalam waktu yang aku mau. Semua hilang, perlahan, pasti, dan menuju abadi. Lembayung senja memudar dan terlelap dalam tidur abadinya. Menguncup tanpa kecup kehangatan. Antara kesesatan, atau penyesalan.

Kerlingan mata memanja, namun hati merana. Pori-pori naluri merona, namun jiwa merana. Semua berbalik dengan sejuta pelik. Mata melirik, tapi luka itu tetap apik


Read more >>

Maret 01, 2012

Dinamika Satu Waktu

Hari...
Aku hanya butuh satu hari untuk merasakan bagaimana indahnya kehidupan tanpa kesakitan.
Aku sadar, setiap senyuman yang mengembang setulus apapun pasti (pernah) tertimbun kesakitan.
Aku hanya butuh satu hari, tak lebih, untuk merasakan bagaimana nikmatnya berlenggok mengarungi lautan tanpa harus takut tenggelam
Aku hanya butuh satu hari, tak lebih, untuk merasakan terbang hingga langit tak berujung tanpa harus terjatuh
Aku hanya butuh satu hari, tak lebih, untuk merasakan kebahagiaan tanpa harus takut terperosok jauh dalam keterpurukan

Minggu...
Satu minggu ternyata enggan meninggalkanku ketika aku membiarkanmu di sana
Hatiku ternyata hanya butuh satu minggu untuk mencapai klimaks perputaran roda di masanya
Sekujur sarafku memberontak saat tak sedetikpun ku biarkan mereka menangkapmu dan memaksamu untuk memasuki setiap rongganya
Selebihnya, aku harus membiarkan mereka menguasaiku dan berujung lagi di kamu
Ya, seminggu berlalu tepat di hari Minggu, pilar kekuatanku hancur berantakan hanya karena sosok mingguan
Read more >>

Februari 25, 2012

Karena Tak Mungkin

Tlah ku sadari, percuma mencintaimu
Karena aku tak mampu menjadi seperti yang kau harapkan

Cukup bagiku melihat air matamu
Ketika rasa tak lagi berarti dan mimpi telah terhenti

Ku lepaskan bayanganmu menjauh pergi dan tak kembali
Ku relakan cinta kita berlalu, karena memang tak mungkin


_Mario Ricardo_
Read more >>

Kemunafikan Rindu

Jika saja aku mampu melukiskan garis kebahagiaanku, mungkin aku takkan melukisnya. Itu takkan berarti jika kamu tak ikut merasakan kebahagiaan itu. Aku memilih untuk merana jika memang itu bisa membuatmu bahagia.

Aku berharap dunia akan terus berputar agar aku tak terjatuh akibat pudarnya gravitasi darimu yang selama ini menopangku.

Kau tak tahu rasanya saat ku putar (paksa) sudut pandanganku pada arah yang tak tentu saat tertangkap radar kehadiranmu. Kau pun takkan  pernah merasakan saat aku (terpaksa) membekukan rindu yang tengah hangat merambat untukmu. Sukmaku mulai melingkarkan tali rindu pada bayangmu. Seakan jadi benalu, aku mulai bergantung padamu.

Sejuta kerinduan yang menyesakkan mungkin sama besarnya dengan warna hitam yang menutupi pandanganku. Jika saja kau mampu membongkar gudang rahasia dalam hatiku, kau akan lihat hanya ada rasa sakit di sana. Jika saja kau bisa menelusuri lorong mataku, kau akan tahu bahwa hanya ada air mata di sana.

Begitu sulit saat rasa rindu dan egois datang secara bersamaan. Sama-sama menuju satu titik, tapi beda haluan.

Kita terlalu munafik untuk mengakui bahwa kita saling cari tahu. Tapi kemunafikan itu terlalu menyesakkan. Mungkin aku butuh donor lensa mata agar tak hanya kamu yang ada di mataku. Mungkin aku pun perlu robot agar aku bisa (benar-benar) pergi agar rasa egois ini ikut pergi.
Read more >>

Februari 24, 2012

Tersirat (Ter)Surat

Sepucuk surat bertengger di kotak pos halaman rumahku selama beberapa hari. Aku memang sengaja membiarkannya bernaung di sana. Aku takut surat itu darinya. Ya, dia yang kini bukan lagi pemilik tetap hatiku. Dia yang kini bukan lagi penghuni dimana ia tinggal dulu. Entahlah dia ada di mana. Mungkin di bumi bagian utara, bumi bagian selatan, hutan belantara, laut terdalam. Entahlah, aku tak tahu. Mungkin lebih tepatnya aku tak mau tahu.

Ku paksa hatiku menggulung lembar namanya. Namun mungkin semua itu takkan mempan. Rongga jiwaku justru memberontak mengharapkan bayangmu menjamahnya. Tidak mudah mempertahankan sesuatu yang sudah rapuh. Sekalipun dieratkan oleh beberapa tambalan di sana-sini, mungkin hanya sebagai penyanggah saja, bukan sebagai penguat atau perekat abadi. Seperti itulah hatiku, semua hancur berantakan ketika dia pergi tanpa pesan hingga sekarang kau justru meninggalkan pesan tanpa rasa bersalah. Memang berguna sebagai penambal rindu, namun tetap saja masih ada sisa lubang kesakitan di sana.

Dia menyilaukan, dia menggetarkan, dia menyiratkan, tapi dia pula yang menyurutkan semua yang ku rasa.
Read more >>

Februari 21, 2012

Hanya Dari Tanda Tanya

Saat itu aku duduk terdiam dengan lautan tanda tanya di dalam benakku. Semua bergejolak justru di saat aku ada tepat di sampingmu. Entah, aku pun tak mengerti apa maksudnya. Semua mengalir begitu saja. Aku terdiam dan terhanyut dalam pikiranku sendiri. Kau pun begitu. Kau diam seribu bahasa seakan tak membiarkan satu huruf pun keluar dari mulutmu.

Perlahan, ku coba membelah hutan kebingungan dalam otakku. Tak satupun jawaban yang tampak di sana. Muara sungai pun tak kunjung mengalirkan jawaban untuk setiap tanda tanya yang ada di benakku. Dari hulu ke hilir, ku putar balik semua rasa yang ada, aku tetap saja menemukan jalan buntu. Aku tersesat. Tuhan, tolong beritahu aku apa maksud dari semua ini.

Bisakah aku keluar di saat aku telah memasuki dan terperosok jauh ke dalam jurang dimana aku harus bermain dengan perasaan setiap harinya?

Meskipun dedaunan membelaiku manja dan memberikanku arti kesejukan yang sesungguhnya, justru aku tak mampu menangkap keindahannya dengan sempurna. Entah, mungkin ada yang salah denganku.

Aku butuh ruang hampa udara. Aku tahu, itu akan membuatku terkapar dan mungkin aku akan mati di sana. Aku tak peduli. Aku hanya ingin berhenti mengindahkan kesejukan dan kemanjaan yang selama ini menyelimutiku, namun aku tak mampu merasakan kehangatan yang terpancar secara terus-menerus. Aku hanya ingin melepaskan apa yang telah melekat erat di tubuhku, namun aku tak mampu menggenggamnya untuk waktu yang lebih lama. Aku hanya ingin tanda tanya itu berhenti mengikis pilar keteguhanku. Aku ingin tanda itu lenyap dari rongga otakku.

 Aku tak bisa merasakannya. Aku hanya mati rasa. Ya, semua hanya dari tanda tanya.
Read more >>

Februari 20, 2012

Love Is Understanding

When I can't survive, I prevent to hurt you. I'll let you know that love isn't only about finding your own happiness
When I have to say a good bye, what you want is only to be with me. I surely know it, dear. But I'm sorry, we come to the end
I love you, that's why I have to go
I care of you, that's why I want you to think
Love isn't blind, but love is understanding
I pray for life to be more blessed even we have to be far each other..
Read more >>

Februari 18, 2012

It's Wrong To Stop at You

Finally we're in a hurting ends. I realized we have walked so far. I realized we already conquered the forbidden. It's not possible for me to fight for our love that we started incorrectly. i can't keep any secret between our love. You don't know that my heart is tortured when i always have to be lie in a wrong story. You may keep this hidden secret. I'm so sorry if it lasts for now.

Everytime i hear your voice, i think i wanna say 'yes, i forgive you, i accept you for twice'. I know you regret that, and i'm imperfect, too. nothing could replace our story.
But one thing that surely happends, my heart loves you but it either doesn't want to come back to you anymore or repeat all. I don't wanna hurt you. My soul needs you but my feeling can't be like a moment ago. i'm breaking down..
If i remember it for a moment, dear. My heart will stop at you. Nothing could replace our story.
Read more >>

(Tak Sekedar) Bunga Kecil

Tuhan..
Terimakasih untuk bunga kecil yang kau tiupkan untukku
Bunga kecil yang tak segan kau suruh ia untuk melembutkan jiwaku yang selama ini keras akan egoku
Bunga kecil yang tak lupa kau suruh ia untuk mengantarkanku pulang pada tempat dimana seharusnya aku berada

Tangan jahilku seringkali merusak kelopak yang mungkin memang rapuh
Tanpa ku sadari, aku menyakitinya
Sekawanan binatang bersayap kerapkali melindunginya dengan menyengatku
Aku tahu, aku salah padanya, Tuhan

Kau tahu, dia bukan hanya bunga kecil
Kadang dia berubah menjadi pohon besar yang siap menutupiku dari sengatan mataharimu
Kemudian dia berubah menjadi duri yang melindungiku dari gangguan dunia luar
Dia pun pernah berubah menjadi awan yang memberikan aku kelembutan tiada tara

Kini aku terlalu banyak berhutang budi padanya, Tuhan
Aku tak mampu membayar untuk setiap bulir peluh yang ia punya untukku
Aku hanya bisa menyerahkannya dia kembali untukMu, Tuhan
Ku mohon jaga dia

Aku melepaskan bunga itu agar ia mampu tumbuh pada ladang yang lebih permai di sana
Aku merelakan dia pergi agar ia bisa tumbuh menjadi bunga besar yang lebih kuat
Aku rela melepasnya agar dia tak lagi tersakiti seperti saat dia ada di genggamanku
Aku melepasnya karena aku menyayanginya
Read more >>

Februari 10, 2012

Kelabu Rindu

Februari. Bulan yang bagi sebagian orang merupakan bulan saat pink, merah, dan putih mendominasi seluruh belahan dunia. Saat ketika cinta bertebaran menyelimuti setiap jiwa hingga raga manusia tanpa pandang bulu. Bulan ini pula yang menjadi bulan ketika para remaja saling berlomba merebut hati tanggal 14 agar bersedia menjadi tanggal bermakna bagi dunia percintaan mereka.

Berbeda denganku. Ya, tak jauh berbeda sebenarnya. Hanya saja aku tak ikut berebut menggaet tanggal 14 agar menjadi tanggal penuh makna bagiku. Selebihnya, ya, jiwa ini memang sempat dipenuhi oleh ladang bunga bermekaran. Saat remaja seusiaku malu-malu bersinggungan dengan kisah cinta mereka, aku pun begitu. Ya, tapi itu dulu. Setahun silam. Saat ada dia. Dia. Dia. Dan cuma dia.

Saat lagu menjadi pembuka gerbang memori terindah hingga terpahit, aku harus tersandung saat aku tengah berdiri tegak dengan apa adanya aku. Aku tak ingin memalingkan wajahku ke arah belakang, itu hanya akan membuatku jatuh dan mungkin tak akan bisa bangun lagi. Separah itulah masa lalu meruntuhkan aku dengan mudahnya. Begitu berbanding terbalik. Saat aku butuh tenaga ekstra agar aku tak menatap apa yang ada di belakangku, tapi justru sisi belakangku itu dengan mudah merayuku dan seketika aku lumpuh dalam genggamannya.

Semua ini memang berawal dari kegoyahan suatu masa yang tengah bermain dengan perasaan. Awalnya, semua sisi hidupku hanya ada warna oranye. Ya, cerah, ceria, gembira, suka. Semua berjalan begitu indah hingga berbagai halangan pun tak terasa ku lewati dengan mudahnya. Tapi mungkin waktu takkan pernah rela melihatku berada di atas dengan segala kesenangan yang melingkupi hidupku. Hingga akhirnya aku harus bertemu dengan awan putih di hadapanku. Putih yang suci, sejuk, lembut. Namun tahukah kamu jika itu tak berlangsung lama. Seketika dia berubah menjadi awan kelabu yang tersimpan berbagai kejutan di dalamnya. Kejutan itulah yang telah merubah hidupku, yang telah menggoreskan kenangan di benakku, dan pencetus kelamnya sisi belakang dalam hidupku..

*to be continued*
Read more >>

Januari 13, 2012

Kau Salah, Alan (part 14)

Aku berharap rasa sakit ini takkan bertahan lama demi mencintaimu. Aku merindukan genggaman sehangat mentari. Aku menginginkan pelukan sesejuk guyuran hujan. Aku mengharapkan sapaan yang mampu membangunkanku dari tidur panjangku. Aku merindukan, menginginkan, dan mengharapkan jari-jemarimu mengisi kekosongan rongga-rongga jariku di setiap kita bertemu. Aku..rindu..kamu.
Aku terduduk di bangku taman rumahku. Tatapanku menembus serabut awan di atas sana. Warna oranye bercampur kemerahan mulai mewarnai hamparan langit tak berujung. Senja menjelang, menunggu kehadiran bulan yang tak lama akan datang. Tanpa ku sadari yang tersisa hanya aku dan patah hatiku.
Sepulang dari rumah sakit, entah mengapa selera makanku langsung tertuju pada kue tiramisu yang cukup lama tak terjamah olehku. Tanpa ku sadar, sekarang hanya tersisa buah cherry yang tersemat cantik di antara krim-krim manis ini.
Aku teringat pada kebiasaan Alan saat senja menjelang. Setiap kali dia makan kue tiramisu bertabur krim putih dan cherry di atasnya, selalu saja bagian kuenya saja yang dia lalap habis. Dia selalu menyisakan buah merah merona itu di atas krim-krim manis yang sengaja dia sisihkan.
Dia tak begitu menyukai buah kecil namun manis itu. Tiap kali ku tanya mengapa, dia hanya berkata, "Buah itu tidak manis sama sekali. Menurutku semua buah pun tidak ada yang manisnya semanis dirimu."
Wajahku memerah padam seketika. Dia senang sekali membuatku tersipu malu dengan gombalan khasnya itu. Ah, lagi-lagi aku merindukanmu, Alan. Bagaimana bisa benda-benda di sekelilingku ini selalu menghantarkan bayang-bayangmu di batas rinduku?
Hari semakin senja dan aku masih saja terpaku dengan piring bersisakan cherry dan krim putih yang meliak-liuk di sekujur lapisannya. Ku ambil krim putih yang tersisa dengan ujung jariku. Aku teringat akan ritual colek krim antara aku dan Alan. Kapan lagi aku bisa menikmati buaian cherry dan colekan krim putih di kala senja bersamamu, Alan?
                                                           ***
            Balada kerinduan menghujam jantungku di setiap malam menyisir bumi. Aku lelah berkutat dengan rasa rindu yang menggebu, tapi tak pernah mampu terungkap. Ku lirik bintang-bintang yang semakin genit di atas sana, merayuku untuk tak lagi bersedih. Ku balas kedipan mereka dengan senyum seadanya. Tersenyum pada bintang membuatku teduh menerima radiasi cahaya kelembutannya.
            Sesungguhnya aku tak ingin dia tahu bahwa di pikiranku hanya ada dia. Aku takut dia berubah setelah dia tahu itu. Lebih baik aku terkurung dalam sel malarindu sampai kapanpun daripada aku harus kehilangan dia seutuhnya. Ketika cintanya tersebar indah di sekujur ragaku, aku percaya malaikat surga dunia itu nyata. Malaikat itu kamu, Alan. Kamu yang mengubah hampir seluruh masa hidupku dengan kristal kebahagiaan yang kau beri.
            Merindukan seseorang itu seperti merindukan sinar bulan pada hujan seharian. Tak bisa diprediksi kapan tepatnya sinar itu muncul, menerangi hati setiap jiwa yang pekat. Masih terbayang dengan jelas senyum terakhirnya itu. Hingga bulan sabit di atas sana pun memeragakan senyuman khas Alan yang tiada duanya di hatiku. Mata hatiku sembab sudah. Ia lelah menangisimu karena kau tak kunjung kembali, Alan.
Read more >>

Januari 05, 2012

Kau Salah, Alan (part 13)

Tak mampu berdiri
Rapuh..
Sakit..
Atau mungkin aku tlah mati


Seakan tak bernyawa
Ketika aku harus kehilangan satu keping yang begitu berarti
Kepingan yang mungkin tlah kau bawa saat kau pergi
Dan mungkin takkan pernah kau kembalikan lagi


Bunga gladiolus menjadi saksi kesembuhanku dari cengkraman retak pada kakiku. Namun semua terasa takkan sempurna tanpa kehadiran dia. Ya, mungkin dia telah mencampakkanku jauh-jauh sejak pertengkaran  yang tak berujung itu. Berapa lama rasa rindu itu harus memainkan hidupku?

Selalu ada pelangi di balik hujan, maka akan ada senyuman di balik tangisan. Aku percaya itu. Lagipula, mungkin ini yang terbaik untukku dan untuknya. Mungkin di sana, dimana saja dia berada, dia tengah tersenyum dengan jalan hidupnya yang baru, tanpa aku. Di sini, radar kerinduanku menguat. Aku merasakan kehadirannya dalam radius kurang dari semeter dariku. Sejauh sorotan mataku, aku tak bisa membidik liuk tubuhnya. Lalu, dimana dia? Ah, mungkin ini adalah salah satu permainan masa yang mengharuskan aku menuju pencapaian akhir, mengejarnya atau melepaskannya.
***
Rasanya sakit ketika hatiku mulai menyeret namamu di dalam daftar orang-orang yang aku rindukan saat itu. Aku seperti bulan, sendiri di sana, dikelilingi gelap, namun aku berusaha untuk tetap bersinar. Dengan kebangkitan ini, aku tengah menjahit sayatan luka kerinduan pada bilah jantungku. Itu luka, namun aku merindukan luka itu. Aku merindukan luka yang kau hujam, namun ragaku masih bisa mengendus tubuhmu. Sekarang, semua inderaku terasa mati, terkurung terpenjara dalam nistanya luka kehilanganmu.

Aku merindukan genggaman sehangat mentari. Aku menginginkan pelukan sesejuk guyuran hujan. Aku mengharapkan sapaan yang mampu membangunkanku dari tidur panjangku. Aku merindukan, menginginkan, dan mengharapkan jari-jemarimu mengisi kekosongan rongga-rongga jariku di setiap kita bertemu. Aku..rindu..kamu, Alan..
***
Aku berharap rasa sakit ini takkan bertahan lama demi mencintaimu. Aku tak mengenal waktu. Tanpa ku sadari yang tersisa hanya aku dan patah hatiku. Tanpa ku sadar pula, hanya tersisa buah cherry yang tersemat cantik di antara krim-krim manis ini. Seperti itu kebiasaan Alan. Setiap kali dia makan kue, selalu saja bagian kuenya saja yang dia lalap habis. Hingga tersisa buah merah merona itu di atas krim-krim manis yang sengaja dia sisihkan. Dia tak begitu menyukai buah kecil namun manis itu. Tiap kali ku tanya mengapa, dia hanya berkata, "Buah itu tidak manis sama sekali. Menurutku semua buah pun tidak ada yang manisnya semanis dirimu.". Wajahku memerah padam seketika. Dia senang sekali membuatku tersipu malu dengan gombalan khasnya itu. Ah, lagi-lagi aku merindukanmu, Alan. Bagaimana bisa benda-benda di sekelilingku ini selalu menghantarkan bayang-bayangmu di batas rinduku? Hari semakin senja dan aku masih saja terpaku dengan piring bersisakan cherry dan krim putih yang meliak-liuk di sekujur lapisannya. Kapan lagi aku bisa menikmati buaian cherry dan colekan krim putih di akhir jamuan santai denganmu di kala senja, Alan?
***
Dipikir-pikir, siapa yang mengirimiku bunga gladiolus itu ya? Yang ku tahu, bunga itu tak banyak beredar di pasaran. Lagipula, tak banyak yang tahu jika aku begitu terpikat akan keindahan bunga itu. Seingatku memang hanya ibu dan Alan yang tahu akan itu. "Bagaimana bisa kau mengenal bunga gladiolus? Apalagi kau begitu menyukainya. Bukankah lebih banyak bunga lain yang memiliki keistimewaan dibanding gladiolus?", kata Alan ketika pertama kali aku memberitahunya. Jika saja kau tahu, aku ingin seperti bunga gladiolus. Tak perlu iri dengan keistimewaan bunga lain karena setiap bunga memiliki pemikat tersendiri bagi sekitarnya.

Kadang aku menyesal mengapa aku bisa begitu terbukanya dengan orang-orang yang jelas-jelas tak mengerti perasaanku. Keterbukaanku ternyata bisa kau manfaatkan untuk menjatuhkan hatiku. Kini gravitasi seakan berpusat padanya. Dengan adanya bunga gladiolus ini justru semakin menyeret bayang-bayang Alan untuk terus menghantui setiap detikku. Bukan diriku yang menginginkannya, tapi perasaan ini yang tak mau beranjak dari singgasananya. Jika hal terindah ini yang terakhir darimu, aku akan menolaknya mentah-mentah karena aku tak ingin ada akhir di antara kita. Jika memang semua harus berakhir, aku ingin menjadi akhir yang tak mampu kau lupakan, Alan. Aku tak peduli seberapa besar rasa sakitku. Yang ku tahu, aku mencintainya.
Read more >>

Januari 02, 2012

Another Quotes

Aku tak berharap untuk menjadi orang yang terpenting dalam hidupmu
Itu permintaan yang terlalu besar bagiku
Aku hanya berharap suatu saat nanti jika kau melihatku
Kau akan tersenyum dan berkata, "Dia selalu menyayangiku."


Aku memang bukan orang yang kuat
Tapi aku juga tak selemah kapas yang bisa dengan mudah kau tiup agar aku menjauh

Aku memang tak baik
Namun aku juga tak sejahat orang yang dengan mudahnya menyakiti orang lain

Aku memang bukan suatu hal yang berharga
Namun aku juga tak serendah orang-orang yang memandang sesuatu dengan sebelah mata
Read more >>

Januari 01, 2012

Kau Salah, Alan (part 12)

Seperti berusaha menenggelamkan sesuatu yang hanya bisa terapung
Seperti menginginkan adanya kehidupan kepada yang telah lama mati
Seperti berusaha menggenggam angin yang semakin lama semakin menjauh
Berperang dengan hati
Yang kian lama kian tersesat dalam kesunyian jiwa


Aku terus menulis dan terus menulis sambil sesekali ku lirik Alan dan Dena yang tengah asyik berdua. Aku mengharapkanmu mengajakku kembali ke duniamu lagi, Alan. Salahkah aku bila aku menginginkan rasa sayang itu masih betengger di hatimu? Aku, hanya bisa terduduk di kursi roda, termangu melihat canda tawa mereka. "Fuh..", desahku pelan sambil tersenyum. Alan, sosok yang tak pernah bisa marah lebih dari sehari. Kini dia kembali lagi bersamaku, maksudku bersama aku dan Dena dengan alasan yang sama. Canda tawa Alan kembali lagi. Mungkin kepergiannya kemarin untuk membeli kegembiraan di toko sebelah. Keceriaannya menjadi pemancing senyumanku. Aku percaya, takkan ada yang bisa membiarkan keceriaan orang yang disayanginya lenyap meskipun orang itu pula yang sedang dibencinya saat itu. Sekalipun aku harus tak melihatmu tersenyum atau hingga membenciku, itu jauh lebih baik daripada aku membiarkanmu menangis ketika aku ada di sisimu. Aku memilih tuk diam dalam sedihku, lebih baik melihatmu tertawa meski tanpa kehadiranku di sisimu. Terimakasih, Tuhan. Kau pautkan senyuman manis di bibirnya.

Decitan bunyi pintu terdeteksi oleh indera pendengaranku. Wajah polos ibu melongok dari balik pintu. Aku merasakan kehadirannya, namun aku tak menoleh sedikitpun padanya. Aku takut ibu memergokiku yang tengah berkaca-kaca menahan segumpal sesak di dada. Tapi bukan rahasia umum jika batin seorang ibu begitu kuat pada anaknya. Saat itu ibu masuk ke kamarku hingga membuat Alan dan Dena menoleh ke arahnya secara bersamaan. "Asta, Alan, Dena. Kursus hari ini kita sudahi saja yuk. Ibu mau ajak kalian ke taman.", kata ibu bersemangat. Hah? Ada angin apa nih? Aku, Alan, dan Dena sama-sama berputar dengan pikiran masing-masing. Tak ada respon apapun dari kami. Ibu malah tertawa melihat tingkah kami. "Kenapa malah bengong? Ayo cepat turun, kita berangkat sekarang.".
***
Aku hanya bisa duduk memandangi hiruk-pikuk taman kota siang itu. Matahari sedang enggan untuk menusuk jiwa-jiwa manusia dengan sengatan cahayanya. Yang ku rasa hanya kesejukan di sana. Aku duduk di bangku taman bersama ibu di sampingku. Tingkah Alan dan Dena memenuhi layar panjang di depan mataku. Mereka bersenda gurau dengan sepeda yang mereka sewa. Tuhan, haruskah aku menangis untuk yang kesekian kali? Bukan kesedihan yang harusnya membuatku menangis. Tapi kebahagiaanlah yang harusnya membuatku menangis. Ya, mengapa aku harus bersedih jika orang yang ku sayang tengah bahagia dengan malaikat penggantiku di sana? Aku percaya, setiap orang pasti akan mendapatkan kebahagiaannya. Hanya saja waktunya yang berbeda. Semoga semua ini hanyalah fatamorgana semata.

Pandanganku buyar seketika melihat Dena jatuh dari sepeda. Ragaku spontan ingin bergerak menolongnya, tapi segera ku sadari, apa daya kakiku belum mampu bekerja seperti yang seharusnya. Dengan cepat Alan mengangkat tubuh Dena yang terjatuh. Tawaan mereka kembali menguak. Dena hanya tersenyum jail dan Alan membalasnya dengan cubitan. Kuatkan aku melihatnya, Tuhan..

Sinyal kegelisahanku tertangkap sudah oleh radar ibu. "Asta.. Kamu mau main sepeda juga? Yuk nanti ibu yang bonceng kamu..", ajak ibu tiba-tiba. Aku hanya menggeleng dengan senyum pahit tergambar di pucuk bibirku. "Tidak, Bu. Asta di sini saja. Kalau ibu mau main, main aja..", kataku mengalihkan. Ibu berdecak iba. "Oh iya, ibu baru ingat kamu ada jadwal terapi ya? Ini terapi terakhir kamu kan? Yuk berangkat sekarang.", ajak ibu. Syukurlah, terimakasih, Tuhan, Kau bawaku pergi dari pandangan menyakitkan ini. "Tapi, Bu. Alan sama Dena.." "Sudahlah, nanti ibu tinggal SMS Alan saja", potong ibu sambil mendorong kursi rodaku menuju mobil.
***
Aku mencarimu dalam kehampaan hati
Mengejarmu untuk mencari sandaran hati
Sandaran hati? Sekejap? Atau untuk selamanya?
Apa daya ingin menahanmu jika aku tak memiliki andil untuk itu

Hatiku resah. Seakan sembuh enggan, sakit pun tak mau. Mataku menyorot tajam pada lorong rumah sakit mengharap sosok pengisi hatiku muncul di sana. Hingga waktu terapiku tiba, tak ku lihat tanda kehadirannya. Itu semakin menyakiniku bahwa dia (memang) takkan datang. Sejam berlalu, tersisa 30 menit menuju akhir terapiku. Sebentar lagi aku sembuh! Ketukan pada daun pintu ruang terapi mengundang sorotan mataku dan orang-orang di dalam ruangan. Ah, itu pasti Alan! Ku mohon semoga itu kamu, Alan. Aku ingin dia melihatku sembuh dan berharap dia akan memelukku dan berkata, "Asta! Akhirnya kau sembuh!". Namun angan-angan kehadiranmu sirna, menguapkan bayanganmu di benakku. Office boy ternyata. "Permisi, pak, bu. Ada titipan untuk Asta..", katanya. Asta? Itu namaku. Titipan untukku? Dari siapa? "Dari siapa, pak?", tanya ibu sambil mengambil titipan berupa... Bunga gladiolus! Bunga kesukaanku! Dari siapa itu? Tak banyak yang tahu tentang bunga favoritku, kecuali ibu dan.....
Read more >>

Kau Salah, Alan (part 11)

Dia membentakku. Di depan mataku. Di saat hatiku tercekat begitu hebatnya dengan tangis yang tak kunjung reda. Segala perasaan menyelubungi benakku, mencerna kata-kata yang beterbangan di ruang sekeliling otak rapuhku. 'Aku..egois?' semakin terngiang-ngiang bagai sirine ambulans yang berhenti menunggu kedatanganku. Dia berjalan meninggalkanku begitu saja, membiarkan aku bergulat dengan perasaan yang bahkan tak ada yang mampu mengungkapkannya dengan kata-kata. Semua bercampur, namun tak beraduk. Aku berharap dia akan berhenti dan menoleh padaku sejenak saja, agar rinduku tak lekas menguap meninggalkan embun-embun pengharapan. Detik demi detik ku hitung tanpa mampu ku lewatkan, dia terus berjalan dengan mantap. Hilang, dia hilang dari pandanganku. Segala doa yang ku panjatkan tiap detik saat itu tak terjamah. Dia pergi, benar-benar pergi. Dengan emosi termakan ilusi, dia jauh dan meninggalkan peluh di sini.
***
Ada kalanya membiarkan kepergian dia menjadi bukti abadi rasa sayang yang takkan tergantikan. Aku tak bisa mencintaimu seperti yang aku mau dan aku juga tak bisa mencintaimu seperti yang kamu mau. Aku cinta kamu, tapi aku tak sanggup mencintaimu. Rinduku menguap akan kita, yang sama-sama mengharap, yang sama-sama bertatap, yang sama-sama mantap. 
***
Pertengkaran hebat kami saat itu tak menyurutkan nyali Alan untuk berhadapan langsung denganku. Dia tetap ada di sini, bersamaku, meski atas dasar profesionalitasnya sebagai pendampingku dalam mengajar kursus seni yang telah berjalan sebulan ini. Tak banyak yang berubah darinya. Hanya saja kepribadiannya yang ku rasa berbeda. Dia kaku seperti batu, dia dingin seperti es beku di utara antartika, dia diam seperti malam kelam. Tak banyak senda gurau yang biasa dia celetukkan di saat aku dan Dena mulai tersentuh rasa jenuh. Sebagai orang yang telah lama mengenalnya, aku mampu memahami sekecil apapun perubahan yang terjadi padanya. Namun satu yang paling tidak ku sukai dari perubahannya itu. Dia menjadi sedikit arogan dan pemarah! Satu kali aku menegurnya ketika ia tak sabaran menghadapi Dena yang ku rasa bukanlah hal fatal yang terjadi karenanya. "Dena, aku sudah bilang sama kamu. Kalau warnanya ga boleh tabrakan seperti ini. Gimana mau bagus kalau kau main menabrak-nabrakkan warna, dikira mobil tabrakan.". Jleb. Raut wajah Dena berubah menjadi pucat pasi, putih hampir seputih kertas. Aku mampu merasakan getaran ketakutan Dena karena sikap Alan. "Alan, dia kan masih belajar. Ga perlu marah-marah. Namanya juga pemula.", sentak aku padanya. Api emosi masih menyelubungi raganya. Dia bangun dengan cepat dan bergegas pergi meninggalkan aku dan Dena yang terperangah melihat sikap dinginnya itu. Hanya tersisa aku dan Dena, saling bertatapan keheranan. Rasa khawatir dan takut masih ada di dalam diri Dena. Matanya yang mulai berkaca-kaca membuatku iba. "Sudahlah, dia hanya sedang banyak pikiran", kataku menenangkan.
***
Sifat tempramen Alan itu tak bisa ku pungkiri. Sekali saja dia marah, rasanya seperti membangunkan macan yang tengah tertidur pulas dan bersiap untuk memangsa siapa saja yang ada di dekatnya. Mengerikan. Itu adalah salah satu sifat yang paling ku benci dari Alan. Oleh karena itu, seringkali aku mengalah ketika aku mulai mencium segala macam keberatan di hati Alan. Ya, aku hanya tak ingin kami bertengkar. Tepukan pelan mendarat di pundakku, membangunkanku dari lamunan kerinduan akan Alan. Dena. "Kak Asta..", sapanya. Aku hanya tersenyum. Hari ini hanya ada aku dan Dena di kamarku saat kelas seni berlangsung. "Kakak kenapa melamun?", tanyanya. Aku hanya menggeleng perlahan. "Tidak apa-apa, Dena.", jawabku singkat. Dena bisa menangkap pancaran kebohonganku. "Mikirin Kak Alan ya, kak?". Deg. Apa raut wajahku menggambarkan hal itu? Tertunduk lesu aku dibuatnya. "Kak Alan kenapa, kak? Ada hubungannya denganku ya?", tanyanya lagi. Sepertinya dia sedang beraksi seperti tamu baru yang banyak bertanya. Dia hanya terpaut 1 tahun denganku, tapi sifatnya terkadang masih saja kekanak-kanakan. Polos. Belum banyak menerima polesan dari lingkungan sepertinya. Kini aku berpikir, dia hanyalah anak polos yang seringkali menjadi tancapan kecemburuanku atas kepolosannya. "Bukan, sayang. Dia hanya lagi banyak pikiran. Kita lanjutin garis konturnya aja yuk.", ajakku dengan isyarat tak ingin membahasnya lebih lama.
***
Lebih cepat, lebih baik. Lebih cepat tersakiti, lebih cepat waktu kesembuhan yang akan terjadi. Mungkin aku buta karena cinta. Cinta mudah membutakan indera perasaanku secara membabi buta hingga aku tak bisa membedakan antara rasa egois dan rasa sayang. Kepergian Alan membuat hatiku nelangsa. Ingin melihatnya, namun aku tak ingin dia melihatku. Ya, dia seperti bawang, melihatnya saja bisa membuatku menangis.

Seharusnya bukan dia yang pergi, tapi aku. Biarkan aku yang pergi, Alan, karena aku tau kau takkan menahanku sejauh apapun aku melangkah. Jangan biarkan aku melihatmu pergi karena ku pastikan ragaku akan berlari dan memelukmu erat sampai kau tetap singgah di sini.

Biarkan aku yang sakit karenamu, Alan. Karena aku tau, kau takkan mengobati dan menutup semua luka yang ada. Ku mohon jangan sakit karenaku. Ku pastikan tanganku takkan segan untuk mengurai semua virus yang menggerogoti lukamu. Aku terlalu sayang kamu hingga aku rela berkorban agar kamu  bahagia dengan jalanmu sendiri.

Read more >>