Desember 29, 2012

Kala 'Kita'

Hanya ada aku yang masih terjaga. Mimpi tengah asyik menyelimuti seisi kota. Namun tidak untukku.

Ingatanku mencuat kala seseorang mengusap lembut hatiku dengan ceritanya. Satu yang kusuka, tak pernah menutup ruang kosong untukku terlibat dalam ceritanya. Itu menyenangkan, bukan?

'Kita' pernah punya mimpi. Serupa, tapi mungkin tak sama dalam arti. Sama-sama kuat, sama-sama hebat, hingga sama-sama memendam perasaan  demi membuatnya beriringan.

Sayang itu tak cukup. Pengorbanan punya kuasa di sini. Aku punya apa? Aku punya ego. Ya, ego. Itu senjataku.

Kesejatian...
Kesetiaan....
Itu apa?

Inikah namanya kesetiaan, saat waktu bergulir bak bom waktu, yang meledak tanpa tahu waktu?

Entah dimana
00:47

Read more >>

Pelarian

Apa yang kulihat dari luar sana? Tidak ada

Yang kulihat hanya pelarian yang tak searah. Pikiranku ikut bersamanya. Kalang kabut, tanpa arah, berantakan.

Aku hanya malu mengakui bahwa semua berserakan akibat jiwa ketenangan yang kuusik sendiri. Kupacu dia yang berjalan. Percuma akhirnya.

Pikiranku beradu bersama maluku. Bodoh, masih saja mengagungkan cinta yang tak perlu kuusik.

Pada akhirnya, yang berlarian itulah yang akan menertawakanku. Bodohnya kau yang masih menggantungkan ego pada kesalahanmu sendiri.

Kujawab ia..
Aku hanya ingin dia tahu, tanpa harus ia paham. Aku hanya ingin mengenang, tanpa harus mengulang...

Read more >>

Desember 24, 2012

Harusnya

Harusnya malam ini kita bertemu, dalam satu lokasi yang paling nyaman. Hati.

Susahnya menggabungkan dua pikiran yang bercabang. Kau menatap di kejauhan. Aku menatapmu dalam jarak yang tak lebih dari satu jengkal. Selalu seperti itu adanya. Mengapa? Apakah aku terlalu kecil untuk memasuki satu ruang dalam jiwamu? Apakah terlalu lama jika sedetik waktuku singgah di sana?

Aku tahu mimpi itu semu. Aku tahu dia tak mutlak nyata. Apa aku salah saat aku ingin dia menjadi nyata? Apa aku salah saat aku ingin kamu beralih menjadi orang dalam nyataku?

Harusnya aku merangkulmu, ah maksudku, kamu merangkulku dalam pelukanmu. Bukan selalu aku yang memeluk selembar imitasimu menjelang tidurku. Aku hampir lelah berbicara denganmu tanpa mendapatkan satu balasan nyata darimu. Aku tahu kau tersenyum, kau selalu tersenyum. Itu semu. Aku tahu.

Inikah rasanya bermain dengan rasa yang tak kutahu apa namanya? Merindumu meski aku tahu harusnya bukan seperti itu. Risauku tak kunjung punah. Masih tanpa arah. Semakin parah.

Harusnya ada kita saat ini. Ya harusnya...
Harusnya...
Harusnya...
Read more >>

Desember 06, 2012

Kembalilah, Senja

        Did you remember when we fall in love in the unforgettable time? Ya, saat kamu mengetuk hari-hariku tanpa permisi dan kau tak kuasa menahan deru napas tak beraturan saat aku di sisimu. Kita pernah bermain dengan kata jatuh cinta, ingatkah?
       Setujukah jika harmoni sederhana yang terus berdengung dalam jurang antara kita adalah sebuah beautiful mistake? Ya, mencintaimu adalah sebuah kesalahan, tapi kita (pernah) bertahan. Seandainya senja tak mengutuk lambaian terakhirmu, mungkin kita masih bisa mengukir asa.
      Sesempurna memori yang bersarang dalam kalbuku, takkan sempurna tanpa sepotong senja yang kau ambil dalam kepergianmu. Kembalilah, senjaku. Percayalah, I for you, selalu.




Taken from GagasMedia's book titles
Read more >>

Bahagia Kita Berbeda

Ada rindu untuk bertemu. Ada sakit saat menyipit.

Ah, mungkin aku senang bermain-main dalam lubang yang kubuat sendiri. Ya, lubang kesakitan yang tetap saja kupertahankan meski tersimpan seribu duri yang siap menancap ragaku kapan saja. Kurayu sang waktu untuk membawamu kembali ke hadapanku sesaat saja. Apa daya. Dia masih mengurungmu entah dimana, aku tak tahu. Rindumu palsu! Bukankah kau yang menginginkannya hilang dari duniamu?, begitu jawabnya. Telak.

Saat aku hendak mengusirmu jauh-jauh dari pandanganku, dia justru menyeretmu mentah-mentah ke hadapanku. Aku bisa apa? Tercengang? Kikuk? Atau justru bahagia mesti tetap menyorotkan rasa sakit di hadapanmu?

Akankah bulan tetap tersenyum saat bintang berkedip bukan untuk dirinya? Akankah bunga tetap bersemi kala penikmatnya mulai beranjak dari mahkotanya? Akankah aku tetap berdiri saat kau mulai berlaga seperti bintang atau penikmat itu?

Bahagia milikku dan milikmu berbeda, ternyata. Yang kusalurkan untukmu mungkin takkan pernah sejalan dengan apa yang kau inginkan. Bahagia kita berbeda. Itulah mengapa tidak pernah ada 'kita' dalam catatanku dan catatanmu. Aku bahagia memilikimu di sini, meski kamu tak pernah merasa memilikiku yang jelas-jelas selalu ada untukmu.

Kutemukan penggantinya. Seorang penggores senyum di wajahmu, penerang malammu, pelembut hatimu, penjaga harimu, dan pelita jiwamu. Semua mencuat ketika bukan aku yang kau puja. Sedih, senang, bahagia, luka. Semua sederhana.

Bahagiaku adalah senyum yang terpahat jelas di kedua bibirmu. Bagaimanapun caranya, apapun alasannya, aku tak peduli. Aku rela menjadi badut yang kau olok-olok jika itu menjanjikan hadirnya senyummu.
Bahagiamu? Apa kau rela sepertiku? Rela terluka demi membuatku bahagia?

Kadar bahagiamu tak akan pernah bersinggungan dengan bahagiaku. Bahagiamu adalah tetap tersenyum, bersamanya, menyisakan aku yang ikut tersenyum dalam luka yang kujahit paksa agar tak semakin menganga. Bahagiaku dan bahagiaku, takkan pernah sama.

Jangan melukaiku dengan melihatmu terdiam, tatapan kosong, tanpa arah. Sisipkan saja aku dalam hatimu agar tak ada hampa di sana. Ah, apa daya. Kau tak pernah membiarkan aku memasukinya sedetikpun. Aku baik-baik saja. Tapi kumohon, jangan siksa aku dengan menyiksamu dalam tatapan kosong seperti itu.

Bagaimana dengan lukamu? Terluka saat melihanya menangis? Itukah lukamu? Jika aku adalah dia, akankah kau terluka? Inikah luka kita yang berbeda?


Luka, bahagia, sederhana.

Bulan tak pernah peduli akan mereka yang merampas sinarnya untuk yang lain. Bunga pun tetap menari meski banyak yang datang dan pergi tanpa permisi.

Aku tahu kau bahagia saat menari di bawah rintihan hujan(ku) bersamanya. Jadikan setiap bulirnya kebahagiaan yang mampu kau kumpulkan. Aku turut senang. Percayalah.


Bertahanlah dalam kebahagiaan.
Dari aku, yang rela terluka asal menjanjikanmu bahagia
Read more >>

Hai. Apa Kabar?

'Hai. Apa kabar?'
Secarik kata bisu yang takkan pernah kuungkap pada dia yang selalu kuharap adanya. Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, saat dia ada, dia tak boleh melintasi satu lorong terlarang. Hatiku.

'Hai. Apa kabar?'
Pernyataan memuakkan yang selalu mendobrak sadarku. Dia baik-baik saja, pasti. Begitu kata orak yang bersarang di kepalaku. Tunggu! Hatiku batu. Dia takkan percaya seadanya. Memaksa mulutku memanggilmu tanpa sengaja dan menyeretku pada lubang kesalahan. Ya, menyentuhmu memang sebuah kesalahan.

'Hai. Apa kabar?'
Mungkin aku rindu itu. Aku menyesal harus merindukan pertanyaan yang selalu butuh pernyataan seperti itu. Untuk apa? Kau takkan pernah lagi mendapatkan jawabannya dalam duniamu, kutuk si hati pada diriku. Tidak akan pernah dan tidak akan pantas untuk kau dapatkan, cecarnya lagi.

'Hai. Apa kabar?'
Egoku kalut. Yang tertahan dalam ragaku begitu melilit, mencekik, sangat rumit. Aku ingin lepas. Semua bak mengurung matahari dalam sekapan malam hingga cahayanya redup hampir tak bersisa. Aku tahu dunia akan merindukan sinarnya. Akankah aku sejalan dengannya, merindukan secuil matamu dalam dekapan ruang kosong?

'Hai. Apa kabar?'
Apa telepati itu ada? Bisakah telepati menjadi jembatan bagi hatiku dan hatimu agar kita saling tahu? Aku ingin tahu dimana kau tinggalkan jejak kakimu. Ingatkah saat kau injak hatiku hingga meninggalkan bekas yang telah lama mengeras? Apakah kau pernah merasakan berlenggak-lenggok di sana? Atau hanya aku yang tahu dan kau yang tak mau tahu?

'Hai. Apa kabar?'
Apa kabar dengan kamu? Apa kabar dengan sifatmu? Apa kabar dengan duniamu? Apa kabar dengan jejak kakimu di sini dan di sana? Akankah aku sanggup jika suatu saat nanti kau akan menjawab 'Baik' atau 'Tidak'?
Read more >>