Desember 30, 2011

Kau Salah, Alan (part 10)

Peribahasa bilang, keluar mulut harimau, masuk mulut buaya. Sama-sama nyesek, sama-sama salah. Keluar dari kesakitan akibat tragedi berdarah pagi itu, dan sekarang aku harus bertemu kaku dengan Alan. Harusnya kami bekerja sama dengan embel-embel 'guru seni' bagi (calon) murid kami nanti. Bagaimana bisa inderaku bekerja sama jika sumbernya di hati menolak begitu kuat? Aku dan dia sama, tak jauh beda. Seperti kutub magnet yang sama, akan terus bertolakan, tidak akan bisa menyatu atau bahkan mendekat meski dipaksa sekuat apapun.

Bumi gonjang-ganjing menggelegar tak karuan. Cobaan apa lagi ini, Tuhan? Sosok di balik pintu pada hari pertama kursus itu, aku harus menerima kenyataan bahwa.. "Asta, ini Dena, murid kamu. Nah, Dena. Silakan belajar dengan Kak Asta ya.", kata ibu tanpa melepaskan rangkulan di pundak gadis itu. Dena, oh namanya Dena. Ku coba mengontrol diriku yang sejujurnya gatal ingin menjambak dia kuat-kuat. Namun... Cantik. Rambut hitam legam yang tergerai lurus mengkilat begitu indahnya. Pintar juga Alan melirik sosok anggun ini. Dia mengagguk malu sebagai sapaan pertama kami. Dia ramah juga. Oke, aku tak pantas membencinya. Semua tak ada sangkut pautnya dengan dia sedikit pun. Kau selamat dalam scan orang-orang asing di hidupku, Dena.

Cobaanku belum berakhir. Alan, dia datang dengan sekeranjang buah yang katanya dia belikan untukku. Rasanya posisiku ini hanya seperti boneka dalam kardus saja. Tak dianggap. Selesai aku menerangkan tentang teknik dasar seni lukis, selanjutnya Alan yang turun tangan. Lagi-lagi dia harus mengumbar kemesraan di depanku. Ya, di depan kedua mataku. Sok menggenggam jemari gadis itu dengan alih mengajari mengarsir indah lah. Setelah bosan, dia menyogok kecemburuanku dengan mengupas buah-buahan yang dia belikan tadi pagi. Aku bukan boneka yang bisa kau peluk jika kau butuh dan kau buang jika kau bosan, Alan. Bukan juga penghapus untuk menghapus rasa jenuhmu selama ini dan kau buang setelah habis masaku di masamu. Kau salah, Alan! Kau egois! "Ergh!", aku mendesah keras. Seketika mereka berdua menatapku. "Kenapa, Ta?", tanya Alan dengan tatapan bodohnya. Kau ini pura-pura bodoh atau memang bodoh sih? Jika saja hatimu dan hatiku berhubungan sehat, sinyal-sinyal kegelisahanku harusnya bisa kau tangkap dengan sempurna. "Nope. Maaf. Silakan dilanjutkan. Tolong bantu Dena ya, Lan. Aku mau keluar sebentar.", kataku meninggalkan mereka berdua. Berdua? Jalan bodoh apa yang aku lakukan? Sama saja aku meninggalkan mereka dengan lem perekat untuk hubungan mereka. "Lho, mau ngapain? Biar aku yang ambilkan jika kau butuh sesuatu.". pinta Alan. Aku terus berjalan tanpa menengok. "Tidak perlu, aku bisa sendiri."
***
Sedetik bersamanya seperti satu windu berlalu bagiku. Seakan ku paksa waktu untuk berhenti sejenak agar keadaan ini tak mampu berlalu seperti yang seharusnya. Meski aku dan dia harus terlarut dalam pikiran kami masing-masing, entahlah, aku begitu menikmatinya. Kadang waktu pun malu mengungkap kejujuran hati kita. Aku dan kamu. Kita.

Untuk apa kau kembali jika kau tak singgah dalam waktu yang lama?
Untuk apa kau menoleh padaku jika kau akan berpaling dalam waktu yang tak singkat?
Untuk apa kau cinta aku jika cinta itu tak hanya untukku?

Mempertahankanmu tidak semudah meraihmu. Mengapa cinta datang begitu mudahnya ketika aku tak memintanya? Namun cinta pergi begitu sulitnya ketika aku benar-benar memintanya pergi. Inikah aturan alam yang harus berlaku pada jiwa setiap insan yang mengarungi mahligai cinta monyet?
***
Aku baru ingat akan wanita yang tengah menjadi gosip warga jejaring sosial Alan waktu itu. Dia itu Dena, kan? Iya, Dena, yang berlari bersama Alan di bawah siraman hujan, yang rambutnya dibelai begitu hangat oleh tangan Alan, yang kini menjadi murid kursus seniku. Sosok orang ketiga itu tengah ku perdebatkan begitu hebatnya dengan Alan. Alan terus berdalih bahwa dia hanyalah teman baiknya, dia hanya adiknya, dan bla bla bla. Beribu alasan pun takkan berarti bagiku sejak aku tau dia berubah menjadi sosok yang tak jujur. "Kau masih mencemburui Dena? Dia hanya muridmu, murid kita. Dia hanya teman baikku. Aku bertemu dengannya di pentas kesenian Glorious yang kita kunjungi waktu itu.", jelasnya panjang lebar. Bau pengkhianatan begitu pekat merasuki rongga tubuhku. "Oh, jadi sejak itu kau dekat dengannya? Kau dekat dengannya di saat kau dekat denganku? Licik sekali kamu. Egois!", jelasku tak kalah panjangnya. Dan seperti biasa, dia menolak mentah-mentah tuduhanku itu. Sejuta buaian serta alasan yang entah bisa dimasuki akal itu dia tebaskan langsung di depan mataku. Sejuta alasan takkan pernah berguna setelah sekali saja terucap kata palsu.

Aku kembali angkat bicara meski sebenarnya mulutku ini telah enggan untuk beradu argumen dengan si kepala batu itu. "Lalu, mengapa kau tak mengenalinya padaku? Setelah sejauh itu kita berdua, dan kenapa baru sekarang menceritakan panjang lebar tentang dia di hadapanku? Kenapa? Kau kira ini tak sakit, Lan?". Aku kembali menangis di hadapannya. Sosok sekeras apapun seperti Alan pasti akan luluh juga ketika melihat seorang wanita menangis di hadapannya. "Aku sengaja tak memberitahumu, Ta. Aku hanya tak ingin kau berpikir macam-macam kepadaku.", kata Alan. "Oh, jadi setelah ini kau kira aku tak akan berpikir macam-macam? Kau ini manusia egois tingkat apa sih, Alan??". Tingkat kesabaranku jebol sudah hanya karena alasan tak logisnya itu. Seorang wanita akan begitu mempertimbangkan masalah yang ada berlandaskan perasaan dan nurani. Alan berdiri tiba-tiba. Ditatapnya aku yang masih membiarkan air mata mengalir begitu saja melewati kedua pipiku. "Kau yang egois, Asta!". Alan, kau bentak aku?
Read more >>

Desember 29, 2011

Kau Salah, Alan (part 9)

Puing-puing hati yang mungkin tlah lama berserakan
Kini memang tak tahu arahnya kemana
Tapi bukan berarti puing-puing itu tak mampu berdiri
Dia hanya (masih) mencari tempat di mana dia akan abadi di dalamnya


Sangat menyakitkan ketika Tuhan membiarkan kita merasa kehilangan sosok yang telah terpahat dan mengeras di nurani. Separuh waktuku yang hanya dihabiskan dengan berbaring di kasur kesakitan itu ku berikan air mata sebagai penghias yang baru. Menangis bisa menjadi hal yang biasa terjadi ketika kita menyayangi seseorang. Bulir-bulir hujan mulai membasahi jendela di sisi kanan tempatku berbaring tak berdaya. Tatapanku terpaku pada setiap tetes yang mengalir perlahan namun pasti itu.

Setiap butiran air dalam genggaman hujan
Membawa satu kisah manis dalam kerahasiaan suatu masa


Tanganku tak hentinya menuliskan apa yang tersirat begitu saja dalam benakku. Pikiranku melambung jauh, merasuki memori ketika hujan menjadi saksi kesakitanku. Sosok wanita itu terdiam dan bergeming di dalam otakku. Siapa dia, Alan? Kau belum sempat menceritakan tentang wanita itu dan sekarang kau pergi begitu saja meninggalkan jejak penasaran dalam diriku.
***
Kondisiku mulai drop. Aku tak mau menelan satu butir pun makanan yang disogokkan padaku. Sekujur tubuhku menegang hingga jarum suntik tak mampu menembus lapisan epidermis kulitku. "Asta, jujur aku tak mengenal siapa wanita itu. Alan tak menceritakannya padaku. Tolonglah, kamu makan ya sekarang.", bujuk Sissy dengan sepiring jatah makan siangku. Aku tetap saja diam. Ku hiraukan semua omongan Sissy yang mungkin hanya 10% terserap oleh gendang telingaku. Mataku menyorot hal kosong sebagai gerbang lintas otakku. 

Sissy menatap dokter dan suster yang sejak tadi menungguku hanya untuk sekedar membuka mulut. Dokter itu hanya menggeleng heran, seakan hampir menyerah dengan sikap patungku. Harusnya setelah ini jadwal terapi terakhirku, namun semua hancur berantakan karena kondisiku yang hampir saja seperti mayat hidup. Aku tak peduli. Aku hanya butuh suntikan Alan. Aku butuh dia. Rasa inginku ini telah mencekat hingga ke tenggorokanku. Kau hampir buatku mati, Alan. Muncullah sekarang atau kau akan melihatku terbujur kaku!
***
Ingatkah kamu padaku
Aku yang pernah ada di sana, di lubuk hatimu
Sejauh apapun jarak yang terbentang antara aku dan dia takkan mampu membunuh rasaku padanya
Yang ku tahu, aku mencintainya
Yang ku rasa, aku menyayanginya
Sungguh, aku memintanya

Aku mulai bangkit dari keterpurukanku. Tak ada lagi mayat hidup, tak ada lagi daging yang tak bertulang. Ku pupuk (lagi) semangat hidupku yang dulu dia ambil mentah-mentah dalam kepergiannya. Dia hanya masa laluku. Biarlah ku juluki dia pahlawan kesiangan meskipun dia datang detik ini juga. Meskipun menahan rasa rindu dan sayang ini begitu mencekat, mencekik, dan menjerat batinku begitu hebatnya, aku akan berjalan. Begitu menyakitkan ketika kita harus merindukan seseorang yang telah menyakiti kita terlebih dahulu. Rasanya begitu sakit ketika hatiku mulai menyeret namamu di dalam daftar orang-orang yang aku rindukan saat ini. Gubahan air mata menyeruak tak lagi terbendung. Kamu memang menyakitkan, namun kamu yang buatku bertahan.

Dokter membolehkanku menghirup udara bebas layaknya tahanan yang telah habis masa kurungnya. Aku bebas! Ingin ku pamerkan pada Alan jika aku bertemu dengannya nanti. Ingin ku teriakkan di telinganya kencang-kencang, "Aku bisa sembuh tanpa kamu, Alan!". Ya meskipun aku harus terus duduk kursi roda yang menjadi pengganti fungsi kedua kakiku untuk sementara waktu. Keluar dari ruang rawat inap, aku dan Sissy menelusuri lorong rumah sakit. Tak ada percakapan di antara kami. Aku terus terpaku dengan tulisan-tulisan di diary ungu kesayanganku. "Ini semua aku yang tulis, Sy? Demi apa?", tanyaku pada Sissy. Dia hanya menggeleng-geleng dan menepuk pundakku. "Haha iyalah itu tulisanmu. Ceker ayam yang ada di buku diarymu itu siapa lagi kalau bukan tulisanmu.", canda Sissy. Sial..
***
Sampai saat ini, Alan tak juga menunjukkan batang hidungnya. Ah mungkin bumi telah menelannya hidup-hidup atau membuangnya ke luar angkasa sana. Aku semakin terbiasa dengan keadaanku sekarang. Keadaan hampa, keadaan kosong, keadaan tanpa udara, tanpa dia. Mungkin dia hanya setengah hati padaku. Aku pun juga hanya setengah padanya. Ya, aku rindu setengah mati padanya. Setengah hati & setengah hati. Sama-sama setengah, tapi beda makna. Untung saja dia tak menambal setengah mati rindunya padaku. Bisa-bisa aku mati beneran karenanya.

Tiba-tiba ibu masuk ke kamarku. "Astaa.. Ibu punya kabar bagus untuk kamu.". Wajah ibu berseri-seri tak seperti biasanya. Aku bisa merasakan hangatnya mentari keki seketika, tersaingi oleh senyuman ibu yang jauh lebih hangat darinya. "Ada anak teman ibu yang mau belajar seni sama kamu. Berhubung kamu di rumah ga ngapa-ngapain, nanti dia kursus sama kamu di sini, di kamar kamu. Jadi kamu ga usah susah-susah turun ke bawah. Kamu mau?". Wow, tawaran bagus. Tapi apa aku sehandal itu tiba-tiba dinobatkan menjadi guru kursus seni? Belum sempat aku menjawab, "Aha! Karena kamu diam, ibu anggap kamu setuju. Oh iya, ibu juga sudah telepon Alan untuk membantumu selama menjadi guru kursus dan dia menyetujuinya. Kita mulai kursus besok ya, sayang.". Ibu kecup keningku dan segera meninggalkanku yang melongo. Alan? Dia lagi? ARGHH! Besok?? Tuhan, bisakah kau bangunkan aku dari mimpi buruk ini?
Read more >>

Desember 28, 2011

Kau Salah, Alan (part 8)

Hujan yang ku nobatkan menjadi teman bermain, sahabat karib, pasangan setia, kini menjadi saksi tumbangnya ragaku. Hantaman mesin berjalan itu melempar tubuhku hingga aku tak lagi merasakan sakitnya berlari untuk menghindar. Bercak-bercak merah bercampur air hujan mengguyur ragaku. Aku tak bisa merasakan apa-apa. Yang ku tahu hanya dunia berubah menghitam, kelam, gelap gulita. Tuhan, kau kabulkan doaku..

Alan. Dia meneriakkan namaku keras-keras. Aliran darahku merasuk ke sela-sela kemeja birunya. "Asta.. Bangun.. Astaaa", katanya seraya menepuk-nepuk kedua belah pipiku kencang-kencang. Aku hanya bisa merasakan getaran kerinduan yang selama ini terkurung rapat-rapat dalam palung hatiku. Alan.. Aku rindukan kehadiranmu seperti ini, Alan. Hanya sekejap aku mampu mendengar apa yang terjadi saat itu. Selebihnya, serasa dunia ini bisu bagiku.
***
"Apa??? Jadi Asta melihatmu berdua dengan wanita lain? Kau gila, Alan! Bisa-bisanya kau begini! Kau tau sikapmu itu..." "Aku tau. Tapi dia hanya sebatas rekan kerjaku. Ga lebih.", sela Alan di tengah adu cekcok dengan Sissy di depan ruang UGD. Seperti macan yang tengah meronta begitu hebatnya, Sissy tak segan-segan mendaratkan tangan kanannya pada pipi Alan yang masih basah. "Kau tau apa yang telah kau perbuat, Alan? Aku bisa melakukan apapun padamu jika terjadi sesuatu yang buruk atau lebih buruk dari ini. Ingat itu, Alan. Aku tak main-main denganmu.", bentak Sissy tak kenal ampun seraya meninggalkan Alan yang hanya bisa tercengang.

Hanya Alan yang tersisa di barisan kursi depan UGD. Dia begitu meresapi semua yang terjadi siang ini. Rasa bersalah bercampur aduk mengelilingi otaknya tanpa henti. Bagaimana bisa Asta melihatku di sana, batinnya. "ARRGGHH!!". Tembok menjadi sasaran empuk untuk meluapkan kekesalan Alan. Kakinya melemah. Menghiraukan kursi yang berbaris di hadapannya, Alan bersender dan duduk beralaskan lantai dingin yang menjadi saksi kekecewaan pada dirinya sendiri. Tuhan, apa yang telah aku perbuat? Separah inikah?
***
Untunglah Tuhan masih menyayangiku. Hantaman keras mobil sedan hitam yang masih begitu menempel di ingatanku. Aku harus menderita beberapa keretakan pada bagian lengan kiri, tulang rusuk, serta kedua kakiku. Tak sampai lumpuh, syukurlah. Cukuplah hati ini yang lumpuh mengingat semua rekaman yang telah ku ambil pagi itu. Laksana drama kehidupan yang menuntutku untuk bergantung pada skenario yang ada, semua ini lambat laun terjadi juga. Seperti sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Aku harus menanggung kesakitan yang luar biasa dan tak pernah ku pikirkan selama ini.

Kedua mataku tertutup, tapi tidak hatiku. Dia terus mencari sinyal keberadaanmu. Dan dia menemukannya. Aku bisa merasakan kau ada di sana, menungguku, menunggu sang waktu untuk membiarkan mataku melihatmu duduk terpaku, tepat di hadapanku. Kedua mataku masih saja tertutup, namun aku harus melewati getir kerinduan yang selama ini hanya sebatas bayang-bayang ilusi. Aku tahu kau di sana, Alan. Seakan tak bertulang, kedua tanganku tak mampu ku gerakkan. Semua kaku dan tak berdaya. Tolong bantu aku, Alan, bantu kedua tanganku untuk menggapai jemarimu di samping ragaku itu.
***
Sang waktu membuka gerbang mataku untuk melihat kembali dunia yang sempat ku tutup beberapa waktu. Aku mampu membuka mataku, meski aku harus bersusah payah untuk menoleh ke arahmu. Tunggu. Mengapa bibirku seakan terkunci? A..aku tak bisa mengucap sepatah kata pun. Aku hanya bisa melirik katup oksigen yang menempel di batas hidungku yang menjadi penopang napasku saat ini. Namun, apapun keadaanku, aku bersyukur. Kau adalah sosok pertama yang ku lihat, Alan.

Alan tersenyum seakan tak percaya melihatku siuman. Dia tersenyum bahagia, tanpa mengucap sepatah kata pun. Dentingan waktu seakan berhenti sejenak. Aku menunggumu, Alan. Tidakkah kau ingin memelukku sebagai tanda kebahagiaanmu? Menunggu dentingan waktu yang berputar hanya membuatku lelah menanti. Itu sepertiku yang lelah menanti kamu bicara, Alan. 
***
Sejak saat itu kau diam
Hingga tak ada lagi kata yang mampu membuatku hidup
Semua terasa tak berguna
Ketika kediamanmu menusuk relungku

Ku sisihkan diary ungu yang telah ku bubuhi tulisan tangan pribadiku di pinggir vas bunga ruang rawat inapku. Aku meminta Sissy membawanya karena aku telah kehabisan akal untuk membunuh rasa jenuhku di ruangan berbau infus ini. Keadaanku semakin pulih. Hanya tinggal menjalani beberapa terapi untuk memulihkan lengan kiri, rusuk, serta kedua kakiku agar bisa berjalan sesuai tugasnya lagi. Namun tidak bagi hatiku. Ku rasa tak akan ada terapi yang mampu memulihkan puing-puing hati yang sedang berserakan tak beraturan. Keadaan pulihku membawa dia pergi. Ya, Alan. Sosok yang (masih) ku cinta dan ku kasihi kini tak tau dimana. Aku ingin memakinya atas sikap menduanya pagi itu. Tapi aku tau batasanku. Aku tak berhak akan itu. Tapi taukah kamu, Alan? Ya, aku cemburu. Aku cemburu buta dengan wanita yang kau usap dengan lembut itu. Tapi aku butuh kamu. Aku butuh kamu yang semalam suntuk menjaga aku hingga waktu siumanku tiba. Aku butuh kamu yang rela terpaku berjam-jam hanya untuk melihatku. Dalam hati tak henti ku panggil namamu. Semoga saja kau merasakannya, Lan.. Kamu dimana, Alan?
Read more >>

Desember 26, 2011

Sentuhan Terakhir

Aku menanti datangnya sang waktu
Sembari melukiskan semua rasa yang pernah ada
Titik keceriaan, ombak senyum
Hingga percikan air mata

Ku gambarkan satu masa
Hingga ku tarik puncak kisahku
Ada guratan kebimbangan di sana

Karet kepercayaan tak mampu menghapusnya
Tinta kebimbangan itu telah mengering
Kering..
Dan semakin kering..

Ku berikan arsiran jariku
Sebagai sentuhan terakhir dari palung hati
Antara noda-noda bimbang dan ragu itulah
Ada lengkungan senyum simpul kecil pembawa ketenangan di sana
Read more >>

Desember 25, 2011

Kau Salah, Alan (part 7)

Lain di mulut, lain di hati. Munafik. Kata-kata apa lagi yang pantas untuk ditancapkan dalam-dalam di depan kedua mataku dan perlu disorot tajam untukku. Mulut memang mudah untuk berdusta. Seringkali aku berjanji (palsu) untuk tak lagi bersinggungan dengan hal-hal yang berbau tentangnya, tapi nyatanya hati ini seakan meronta secara tak sadarkan diri. Otak dan hati memang terkadang tak sejalan. Bukan hanya keduanya, tangan pun nyatanya berkoalisi dengan si otak yang masih saja mencari informasi tentang dirinya. Bahasa keren jaman sekarang sih 'stalker'. Rasanya seperti haus akan informasi mengenai apa yang dia lakukan seharian.

Tapi memang kadang kita tak perlu memaksakan kehendak yang bisa dibilang hanya kesemuan belaka. Jika saja penyesalan itu muncul dari awal sebagai peringatan agar manusia tak bersikap gegabah akan sesuatu. Meski aku tlah terjatuh dan terpuruk dalam lubang penyesalan, tapi egoku rasanya tak kapok. Memang sakit, tapi kenapa rasanya sekujur rasaku mengindahkannya dan tetap memihak pada sosok abu-abu itu?
***
Aku tak menyangka sosok sederhana seperti dia ternyata digandrungi banyak kalangan. Bisa dibilang dia memang famous. Aku akui dia memang sosok yang friendly dan ga neko-neko. Ya tak jarang banyak gadis-gadis yang (mungkin) mencoba mendekatinya. Aku tak tau rasa ini harus ku sebut apa ketika sebal, bahagia, sedih bercampur menjadi satu. Gosip itu semakin beredar seperti si jago merah yang melalap suatu rumah tak kenal ampun. Begitu cepat merambat dan menyebar. Dia sedang dikaitkan pada satu sosok gadis yang tak ku kenal. Awalnya aku berpikir dia ada 'sesuatu' dengan Sissy. Hati kadang terlalu sensitif dalam menangani suatu masalah yang justru begitu sepele. Mereka hanya berteman dan akrab karena aku, katanya. 

Tak bisa dipungkiri perasaan lega menyeruak, tapi sekejap kandas ketika aku tau warga jejaring sosialnya tengah memasangkan dia dengan gadis yang tak ku kenal itu. Siapa lagi dia? Tolong tahan aku untuk tak bertanya tentang sosok itu lagi. Ingin sekali tutup mata dengan apapun yang terjadi pada dia kini, hingga nanti. Tapi apa yang bisa diperbuat jika rasa masa bodoh mampu dikalahkan oleh rasa penasaran pada orang yang disayangi (dulu)?
***
Asta | Wow. Selamat ya. Semoga berbahagia..

(Lagi-lagi) tanganku tak sopan mengetik, menekan tombol send hingga terciptalah status baru di akun jejaring sosial favoritku. "Tak apa. Biarkan mengalir apa adanya", kata hati. Aku hanya berdecak heran. Kenapa ya, laki-laki itu lebih cepat menemukan pengganti ketimbang para wanita yang seringkali larut pada perasaannya? Bagaikan bunga yang tengah menari-nari dengan sekerumunan lebah penikmat pesonanya, sedangkan kontras denganku bagai ikan yang terjerembab di dalam jaring kehampaan menunggu keajaiban datang. Inikah suatu keadilan hak asasi perasaan bagi kaum hawa seperti aku?
***
Alan
08xxx
Tolong jangan salah paham, Ta. Itu hanya gosip murahan
Aku tetap sayang kamu, bukan untuk yang lain

Hey, para wanita dimanapun kalian berada. Apa hati kalian takkan luluh lantak ketika seseorang berkata dia sayang padamu? Salahkah jika aku bahagia menerimanya? Tapi.. Rasa bahagia ini tak seharusnya memanjakan kesemuan di baliknya. Itu (mungkin) hanya sementara. Sudahlah, Alan. Aku lelah untuk bertemu pikiran, hati, dan perasaan denganmu.
***
Balkon tanpa kursi ini menjadi tempat favoritku untuk menyendiri dengan hati. Di sini seringkali aku tumpahkan segala emosi yang melonjak di hatiku. Ku tatap sekelilingku. Damai dan tenteram. Dedaunan pun damai bersama angin yang membawanya menari-nari dengan percikan lagu dari gesekan dedaunan itu sendiri. Aku ikut terhanyut dalam kedamaian itu. Ingin rasanya aku bertukar tempat dengan satu helai daun itu. Bebas menari, tak ada yang menghalangi. Atau menjadi angin yang mampu berhembus kemanapun ia mau, bisa dengan mudah meniupkan kesesakan, bisa juga menarik kebahagiaan. Simpel kan?

Siapa yang sebenarnya menggantungi dan digantungi ya? Aku yang menggantungi? Atau dia? Fase ini ingin ku sebut dengan 'fase jemuran', saling gantung-menggantungi, dan tak tau kapan jemuran itu akan diambil dan disisipkan ke dalam lemari.
***
Alan
08***
Pagi, Asta. Bagaimana harimu? Kangen kamu, sayang kamu, cinta kamu

To : Alan
Pagi, Lan. Hariku? Menyenangkan seperti biasa. Kangen aku?
Ga salah orang? Nyasar kali

Alan
08***
Ya ga lah, Ta. Jelas-jelas aku sebut nama kamu di awal pesanku tadi.
Aku kangen Asta, sayang Asta, cinta Asta.

Gombalan di pagi hari. Wajahku memerah padam seperti kepiting berbalut lipstik yang baru saja diangkat dari panggangan. Aku sebal, tapi senang. Aku terbuai (lagi). Kenapa kau selalu mampu melumpuhkan aku, Alan?
***
Taman kota terlihat ramai tak seperti biasanya. Biasanya karena imbas car free day, sehingga warga kotaku seringkali beralih ke taman kota sebagai tempat persinggahan. Jogging di taman itu jauh lebih menyenangkan dari yang ku kira. Kamera mataku merekam berbagai kejadian yang menarik perhatianku. Lucunya melihat anak-anak kecil berlarian dikejar-kejar ibunya karena menghindari suapan makanan untuknya. Ada pula yang ikut jogging denganku, atau sekedar duduk-duduk di bangku taman hanya untuk menghirup aroma-aroma embun pagi semerbak di atmosfer taman. Pandangan menyejukkan itu tak bertahan lama. Hujan datang menyerbu dan menyapu habis seluruh aktivitas di taman kota. Orang-orang berlarian mencari tempat teduh, begitupun aku. Tapi dimana tempat teduh yang ada? Ini kan taman kota. Ku lihat sekelilingku, orang-orang tadi membawa kendaraan pribadinya ternyata.  Yang senasib denganku? Tak ada.

Sekujur tubuhku basah sejadi-jadinya. Ku lanjutkan berjalan pulang dengan membiarkan hujan mengguyur seluruh tubuhku. Aku hanya berharap sakit tak merajai ragaku setelah ini. Astaga! Dengan rasa dingin yang semakin membekukan aku, mimpi yang ku harap takkan jadi kenyataan ternyata terjadi di depan mataku. Haruskah segala langkah kecil move on ku harus dihalangi oleh dia (lagi)? Dia menyusuri jalan menuju sebuah resto di seberang taman kota dengan... Dengan seorang wanita? Siapa dia? Aku tak bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu. Tapi jelas sekali tangan Alan merangkul pundaknya.

Ku buntuti mereka dan berencana akan menyemprotkan semua kekesalanku tepat di depan wanita penggaet hati Alan itu. Hingga mereka duduk di salah satu kursi outdoor di resto. Duduk bertatap-tatapan. Sangat akrab ku lihat. Tangan Alan mengusap lembut rambut basah wanita itu. Sang wanita itu pun tak melawan perilaku Alan itu. Ku biarkan butiran hujan jatuh menampar saraf sekujur tubuh di saat aku melihatnya bercengkrama dengan wanita itu. Semakin pedih, semakin perih, seperti sayatan silet pada nadi yang mengucurkan darah tak berhenti. Semakin terisak, semakin sesak.

Tanpa sengaja wanita itu melihat dan menyadari keberadaanku dan segera memberitahu Alan tentang keberadaanku. Aku panik, aku berlari. Aku akui, aku menangis (lagi). Ku hindari dia yang ternyata mengejar di belakangku. Ingin rasanya ku tabrakkan diriku pada mobil yang berlalu-lalang di jalan agar aku tak merasakan sakit yang begitu dalam ini. Ingin ku peluk ribuan hujan saat itu yang tlah menutupi air mata yang jatuh beriringan dengannya hingga tak seorangpun tau saat itu aku sedang menangis. Kata-katamu itu memang hanya gombalan belaka, Alan. Buat apa kau mengejarku jika ada yang lain? Dunia seakan berputar. Kaki di kepala, kepala di kaki. Pandanganku kabur. Tubuhku terlempar jauh dan tersungkur. Sakit seketika dan aku tak mampu merasakan apa-apa setelahnya. Dunia menghitam. Gelap gulita memasuki peralihan alam sadarku.
Read more >>

Desember 22, 2011

Kau Salah, Alan (part 6)

Ku lempar ponselku ke tempat tidur dan segera turun ke lantai 1 menghampiri tamu yang mencariku.

"Sissy! Haaii! kapan sampai??". Ku peluk Sissy yang tengah duduk di ruang tamu menungguku. Dia sahabat karibku sejak SMP. Namun pendidikan harus memisahkan kami. Dia melanjutkan studinya ke Kalimantan mengikuti profesionalisme ayahnya. "Kau masih ingat rumahku ternyata. Ku kira kau akan berubah menjadi nenek-nenek pikun di sana. Haha.", goda-ku seraya mengacak-acak rambut pirang sahabatku itu. Dia hanya tertawa mendengarnya dan membalas perlakuanku dengan cubitan lebah khasnya itu. "Oh iya, Ta. Kau pernah berjanji padaku untuk menceritakan pangeran berkuda itu. Ayo ceritakan sekarang.", pintanya tiba-tiba. Pangeran berkuda? Aku hanya memasang muka bingung mendengar permintaannya. Sissy bergidik. "Sudah ku kira kau akan lupa tentang itu. Seharusnya kau menjuluki dirimu sendiri sebagai nenek-nenek pikun tau. Huh". Sissy sok mengambek. Ku putar otakku mencoba untuk mengingat-ingat janji yang katanya telah kuucapkan padanya. Pangeran berkuda.... Ah! Astaga...

"Hey, kenapa kau malah melamun? Cepat ceritakan!", kata Sissy mulai protes. Aku mendesah. "Oh iya. Aku ingat sekarang. Hmm.. Lebih baik kita tak usah membahasnya lagi, Sy.". Dia menatapku bingung. Kenapa tak usah dibahas lagi ya, katanya dalam benaknya. "Dia bukan lagi pangeran berkuda-ku.", lanjutku. Sissy hanya diam. Sepertinya dia tau jika aku tak ingin membahasnya lebih lama lagi. 

Ku ceritakan semua yang telah terjadi padaku dan 'pangeran berkuda'ku itu. Sissy memang pendengar yang sangat baik. Dia juga penasehat yang baik untukku. Meskipun dia beberapa bulan lebih muda dariku, tapi kedewasaannya benar-benar jauh melampaui kedewasaanku itu. Aku terhanyut sendiri dalam ceritaku hingga tak kuasa membiarkan air mata membasahi pipiku. Semua mengalir apa adanya.
***
Sejak aku menceritakan tentang sosok Alan pada Sissy, ternyata Sissy tak hanya tinggal diam. Dia nekat menjadi stalker dan tanpa basa-basi langsung menghubungi Alan. Sahabat gila dan nekat! Mau ku taruh dimana mukaku. Entah ini suatu penyesalan atau kebodohanku yang sudah menceritakan semua tentang cowok itu pada sahabatku. Yasudahlah, semua sudah menjadi bubur. Aku membiarkan Sissy menghubungi Alan, dengan satu syarat, jangan biarkan aku bertanya apapun tentang Alan padanya.
***
Bunyi mouse menghiasi kamarku. Hampir mati saja mataku ini menatap laptop selama hampir 5 jam karena kehabisan kerjaan. Liburan ini memang membunuhku. Pada salah satu status di dalam akun jejaring sosialku..

Alan | Sissy : haha.. bisa saja kau ini. Oh iya, smsku masuk kan? Maaf terlambat membalas smsmu
Sissy | Alan : smsmu masuk kok. Tapi ponselku error. Lanjut nanti malam saja ya

Glek.. Ternyata mereka berhubungan terus. Ada apa ya di antara mereka? Ah sudahlah. Buat apa aku mengurusi mereka? Toh aku pun sudah tak memiliki hubungan apapun dengan Alan dan Sissy itu sahabat karibku. Buat apa aku curiga pada mereka? Oh aku ingat. Aku sempat bercanda pada Alan tentang Sissy. "Ku rasa kau jodoh dengan Sissy, sahabatku. Buktinya kau suka makan, dia suka makan. Kau suka warna merah, dia pun begitu. Kau suka mengoleksi jam tangan, dia juga. Jodoh sekali yaa. Haha.". Alan selalu sebal jika aku berkata seperti itu. Dia seperti tak suka jika dia disama-samakan atau dijodoh-jodohkan dengan orang lain. Dia ingin dijodohkan denganku, katanya. Hampir saja aku tak bisa bedakan rasa bahagia atau rasa sedih ketika aku mengingatnya.
***
Angin malas, suntuk, bete, uring-uringan, ogah-ogahan, dan perasaan semacamnya semakin menggelayuti tubuhku tiap kali ku jalani rutinitas wajib yang ku sebut autisme jejaring sosial. Apa yang terjadi padaku, ya? Apa karena kejadian kemarin? Masa iya aku cemburu? Tak mungkin lah. Namun hingga suatu saat, aku mendelik ketika....

Sissy | Hey bangun! Jadi ketemuan ga??
Alan | Heh aku sudah bangun sejak ayam pun masih terlelap. Jadi.. Sampai bertemu ya


Ketemuan? Mereka ketemuan? Kenapa.... Sissy berkhianat? Oh tidak tidak. Ini bukan suatu pengkhianatan. Alan bukan siapa-siapa untukmu, batinku. Tapi.. Kenapa mereka dekat sekali? Ada hubungan apa di antara mereka?
Read more >>

Aku Telah Melakukannya, Ma

Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir-bibir manusia. Dan 'ibuku' merupakan sebutan terindah. Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa. - Kahlil Gibran


11 Desember 2010. Jarum jam menunjukkan pukul 23.58. Ku tatap barisan kata dalam folder pesan di ponselku. Haruskah ku tekan tombol send dengan tujuan 'Mama'. Aku ingin, tapi aku sangsi. Aku ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan ini kepadamu, Mama. Tapi aku ragu, atau mungkin aku malu mengatakannya. Mungkin noda-nodaku telah banyak tertempel pada dirimu hingga aku malu untuk menjadi bidadari kecilmu, Ma.

Exit. Ku mainkan jemariku yang hampir bergetar, yang entah karena udara AC yang begitu kuat menembus selimut tebalku atau perasaan grogi yang tak menentu, beralih menuju akun jejaring sosialku.

Putridev | Happy Mother's Day, Mama. I love you more than anything xoxo


***

Secercah energi merasuki setiap sudut tubuhku. Ku lirik ponsel yang tergeletak di samping lampu kamar. 22 Desember 2010. "Hari Ibu? duh". Ku hela napasku panjang-panjang. Entah kenapa rasa deg-deg-an ini semakin menyesakkan. Tidak mungkin jika aku hanya diam saja mengingat hari ini. Apa yang bisa ku berikan untuk Mama? Bunga? Ah klasik sepertinya. Kue buatan sendiri? Hey aku takkan sempat membuatnya. Kartu ucapan. Aku tak berjiwa seni dan aku pun tidak kreatif. Lalu apa??

***

"Ma, Putri pergi ke luar sebentar ya."
"Loh, mau kemana kamu, nak?"
"Mau jalan-jalan aja, Ma. Ga sampe siang kok."
Ku kecup punggung tangan mama yang tak lagi semulus di masa remajanya. Ku cium pipi kanan dan pipi kiri, setelah itu lekas pergi. Aku tak tau ingin pergi kemana saat itu. Ku biarkan angin membawaku kemana saja ia mau.

Seperti orang tersesat di kota yang tak pernah dikenal, aku tetap saja berjalan tanpa arah. Hingga ku temukan tulisan,

| Menu spesial : Kasih untuk Bunda |

Kasih untuk Bunda? Apa maksudnya ya? Dengan rasa penasaran, ku masuki cafe yang memuat menu spesial bin aneh tapi unik tersebut.

***

"Loh, ngapain, put?"
"Udah, mama kesini aja sekarang ya, ma. Penting banget, ma. Sebelum terlambat."

Sebelum terlambat? Apa yang sebenarnya terjadi?, batin sang mama. Tanpa berpikir lebih lama lagi, sang mama bergegas menuju tempat yang diarahkan Putri.

***

Akhirnya sang mama sampai juga. Cafe Lefrine. Mungkin ini pertama kalinya mama menginjakkan kaki di cafe seperti ini. Nuansa serba pink dan girlies. Ya, memang cafe ini bisa disebut sebagai markas cewek-cewek abg untuk sekedar bersantai di dalam ruang yang memang 'mereka banget'.

"Ibu Wina?", kata pelayan menghampiri mama yang kebingungan di balik pintu. Mama hanya mengangguk malu. "Oh, Ibu silakan duduk di meja 19 ya, bu.", ujar pelayan sembari mempersilakan sang mama duduk di kursi. Tak lama, pelayan-pelayan yang lain seakan memburu sang mama. Mama terlihat ketakutan, namun seketika berubah menjadi heran. Bagaimana tidak, pelayan yang satu membawa serangkaian bunga berwarna putih kesukaan mama, pelayan yang lain memberikan kartu ucapan, yang lainnya lagi menghidangkan soto ayam kesukaan mama. Mama yang tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat itu, kembali dikejutkan dengan lampu yang tiba-tiba meredup..

Ibu adalah ratu. Ratu yang melahirkan seorang putri, tak teristimewa, tapi selalu mengistimewakan putrinya
Ibu adalah sosok sederhana, tidak mewah, namun mampu mengubah segalanya menjadi mewah untuk buah hatinya.
Ibu memang bukan matahari. Tapi percayakah jika cahaya ibu mampu mengalahkan cahaya mentari ketika cahaya sang buah hati gelap gulita.
Ibu adalah bintang, bintang terdekat, bintang yang paling bersinar, bintang yang mampu mengabulkan semua keinginan anaknya mengalahkan keajaiban bintang jatuh di atas sana
Ibu memang bukan bidadari. Beliau tidak bersayap. Tapi kelembutan kasih sayangnya mengalahkan seribu bidadari bumi.
Ibu mampu mengalahkan buku sebagai gudang ilmu, karena kata-kata yang terucap darinya mampu membuka gerbang wawasan, meskipun tak semua orang menyadarinya
Ibu adalah segalanya, bukan sesuatu

Mama.. Putrimu ini tak lagi sangsi di hadapanmu. Mungkin Putri memang harus memutuskan urat malu Putri untuk bisa berdiri di sini, di hadapanmu, di hadapan orang banyak. Semua Putri lakukan untuk mama. Putri bukan pujangga, Putri bukan juga seorang putri kerajaan, Putri juga bukan penggombal masa kini. Tapi Putri harus bilang, mama itu jantung Putri, napas Putri, hidup Putri. Mama segala-galanya buat Putri. Selamat Hari Ibu, Mama sayang. Putri sayang mama. Putri cinta mama. Putri mengasihi mama. I love you, Mama. It's more than anything. You're my everything, Mama..

Seketika Putri lari menuju sang mama. Isakan tangis yang ia tahan kuat-kuat di main lounge tumpah sudah. Putri memeluk sang mama dengan kuat, sekuat keberaniannya tadi. Aku telah melakukannya, Ma, aku bisa, Ma, batin Putri. Suasana berubah menjadi begitu mengharukan. Ditambah pula alunan lagu-lagu cinta untuk mama di hari spesial untuk seluruh ibu di dunia. "Kamu hebat, nak. Mama tersanjung. Kamu bisa juga ya menggombal seperti tadi", goda mama di dalam keharuannya. "Semua buat mama. Maafin Putri, Ma. Putri telat ngucapin ke Mama. Putri suka malu ngomong langsung ke mama..", kata Putri dengan nada tersengal-sengal. Mama hanya tersenyum, dan perlahan melepaskan pelukan Putri. Jari lembut mama menelusuri pipi Putri dan menghapus air mata yang berlinang di kedua belah pipi putrinya itu. "Ga apa-apa, sayang. Kamu selalu menjadi putri kecil mama, Putri yang selalu mama sayang, putri kebanggaan mama, putri raja yang manja-nya mama, dan Putri juga segala-galanya buat mama. Tapi...tunggu. Kapan kamu mempersiapkan ini semua?". Putri hanya tersenyum nakal dan balik menggoda sang mama,"kapan yaa? Kapan aja boleehh.. Haha". Sang mama terpancing untuk mencubit pipi gembul putri semata wayangnya itu. Tangan lembut sang mama ikut mengacak-acak rambut hitam bergelombang putrinya itu. "Aduh mama jangan diacak-acak. Tuhkan berantakan.", kata Putri sebal. "Eh canda deng, Ma. Hahaha", tambahnya lagi. Mereka berdua tertawa bersama. Gelak tawa mereka mengundang tawa para pengunjung lainnya yang tanpa disadari telah memasang mata pada dua sosok dominan hari itu.


Selamat Hari Ibu untuk Seluruh Ibu, Mama, Bunda, Mami, Mbok, Mom, Mam di dunia
Kami Selalu dan Semakin Sayang, Cinta, serta Mengasihi

Read more >>

Desember 18, 2011

A Part Of Me Just Won't Let Go

Sometimes, it's not the person you miss
It's the feelings and moments you had when you were with them


I still have feelings for you
No matter how many times I tell myself that I'm better off without you
A part of me just won't let go


Sometimes you hurt yourself more than anyone could hurt you
It's only for keeping your feelings hidden


Sometimes, all you can do is hold on
No matter how painful it's gonna be
Cause you know, it's more painful when you lose it
Read more >>

Desember 14, 2011

Kau Salan, Alan (part 5)

Seminggu berlalu sejak dia menanggalkan kacamata hitamnya. Kesan? Hmm.. Lega memang, tapi menyisakan sedikit puing-puing perih yang masih saja menumpuk di kantung beban. Haduh, harus bagaimana caranya memusnahkan puing-puing itu? Aku tak memiliki cukup bahan bakar untuk menghabisinya. Sudahlah, biarkan puing-puing itu tertiup dengan sendirinya oleh waktu. Tak perlu dipikir panjang atau dibawa beban. Rumit memang, tapi bukan berarti harus dipersulit, kan?

Sejak itu, pesan-pesan bualan menyerbuku tanpa kenal waktu. Hhh.. Kau pikir aku ini kotak pos, hah?, batinku. Gagasan-gagasan yang menurut ia benar adanya dikerahkan secara bertubi-tubi, mencoba untuk membuatku diam. Halo, kamu salah orang, Alan. Aku tak semudah itu kau lumpuhkan dengan teori-teori yang sudah bisa ku terka itu. Kau kira aku mengenalmu hanya satu-dua hari?

From : Alan
Tolonglah, percaya padaku. Semua hanya di luar keterbatasanku. Aku memang melakukannya dan aku menyesal. Bisakah kita kembali seperti dulu?

Hhh.. lagi-lagi hanya itu yang kau katakan, Alan? Simpel sekali ya, tapi aku tak se-simpel itu.

To: Alan
Kau takkan pernah mengerti. Kepercayaan itu bukan hanya buaian semata. Sekali kau rusak kepercayaan itu, tak hanya aku, siapapun itu pasti takkan lagi mudah tuk mempercayaimu. Kembali seperti dulu? Tentu saja. Kita hanya kembali sama seperti dulu, kan? Tapi hatiku tak semudah itu tuk kembali. 

Derasnya hujan yang mengguyur bumi menjadi penari latar dalam drama kehidupanku hari itu. Ku tatap jam weker antik di samping tempat tidurku. Pukul 23:00. Sudah larut malam ternyata. Ku harap ponselku tak lagi berdering malam itu. Kau tahu maksudku, kan?
***
Waktunya shopping! Ah, berapa tahun sudah ku tinggalkan kebiasaan hura-huraku itu ya? Semenjak hari-hariku dipusingkan dengan deadline di sana-sini yang tak kunjung berhenti, perlahan-lahan aku mampu meninggalkan kebiasaan burukku itu. Karena hari ini toko tempat aku bekerja libur, aku bisa jalan-jalan sepuasnya. Mula-mula mataku tertuju pada boneka besar teddy bear yang terpajang di depan salah satu toko. Ah, mataku memang selalu saja haus akan beragam jenis boneka. Hal pertama yang selalu ku lihat adalah...harga. Memang mental mahasiswi ya. Oke, tanpa berpikir panjang ku beli boneka besar itu dan segera beranjak pulang. Hey, inikah yang ku sebut shopping? Kenapa terkesan hanya 5 menit terbuang untuk berbelanja setelah itu kembali pulang (lagi)? Sudahlah, mungkin julukan 'nona hura-hura' fix terlepas dari hidupku.
***
"Asta, lagi-lagi kau beli boneka? Kamarmu mau se-sesak apa lagi kamarmu dengan kedatangan boneka barumu itu?", kata ibu yang tengah merapikan dekorasi ruang tamu ketika melihatku datang. Hufh. Ibu memang selalu menjadi orang pertama yang mengomentari barang-barang yang ku beli. Yang selalu menjadi bahan terpaan untukku itu masalah umur. Beliau beranggapan bahwa umurku sudah tak pantas lagi untuk membeli barang khas anak kecil itu. "Ga apa-apa, bu. Sekali ini aja kok. Ya?", kataku berjanji. Ya, lagi-lagi janji yang keluar dari mulutku (mungkin) tak bisa dipercaya. "Kata-kata itu sudah yang ke 847634 kali, Ta.", kata ibu. Huh, sudah ku tebak ibu akan berkata seperti itu. Aku terus melangkah meninggalkan ibu yang masih saja terpaku membenarkan letak pigura besar di ruang tamu menuju kamar.
***
Baru ku sadari, ternyata ruangan ini pantas untuk disebut toko boneka. Berbagai macam boneka dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi bertebaran di berbagai sudut. Ada boneka kucing kesayangan pemberian dari ayah sebulan yang lalu di sudut tempat tidurku, ada boneka winnie the pooh pemberian ibu di hari ulang tahunku 6 bulan yang lalu, ada juga boneka kodok hijau yang ukuran jumbo di sudut lemari sana dan masih banyak lagi. Lalu, harus ku letakkan dimana boneka teddy bear yang ku beri nama 'clossy' ini?

Sedang apa dan dimana dirimu yang dulu ku cinta.. Ponselku berdering. 

Ibu calling..
+6281295xxx

Hah, ibu? Kenapa tiba-tiba telepon? Bukannya ibu sedang ada di bawah?

Ibu : "Asta, cepat turun ke bawah. Ada yang mencarimu"
Asta : "Hah, siapa, bu?"
Ibu : "Sudahlah, cepat turun ke bawah. Jangan buat dia menunggumu"
Asta : "Iya iya, bu. Tapi kenapa ibu harus meneleponku?"
Ibu : "Iya, ibu malas naik menuju kamarmu, Nak. Sudah cepat jangan lelet."

Ibu... Memang selalu saja ada 'kejutan' di dalam dirinya. Terbesit tiba-tiba di pikiranku. Ada yang mencariku? Siapa?
Read more >>

Desember 12, 2011

Ajari Aku, Tuhan

Tuhan..
Ajari aku untuk menatap masa yang telah menunggu di depanku
Bawa aku, Tuhan..
Ajak aku kemana pun Kau mau
Aku ingin hilang tuk sementara, sekedar untuk membuat semua ini bersih kembali
Noda itu tak kunjung sirna, Tuhan
Coretan tak beraturan itu tetap tinggal
Hadirkan sosok yang mampu menghapus itu semua, Tuhan
Ku mohon...

Kuatkan hati ini tiap aku membuka mataku menyongsong hari
Tegarkan aku saat aku harus menatap satu mega penghias duniaMu itu
Tamankan rasa ikhlas dalam diriku dan hapuslah memori yang selama ini mengecam sisi positifku, Tuhan

Aku mencoba tuk melawan hasrat yang tersisa
Aku relakan berpeluh dengan egoku yang tak bisa jauh dari salah satu bintang ciptaanMu di sana
Asaku dibawanya
Sebagian asaku dia bawa ke tempat yang tak ku tahu dimana
Aku tak tahu apa ia akan kembali untuk menyempurnakan asaku, Tuhan
Tak juga dirinya
Tak juga asaku
Read more >>

Desember 11, 2011

Kau Salah, Alan (part 4)

Ku tarik napasku kuat-kuat. "Fuuh... tenanglah, Asta. Kamu kuat.. Kamu kuat..", kataku menenangkan diri. Ya, pesan itu dari Alan. Jujur saja, Alan. Aku tak mengharapmu membalas pesanku. Cukuplah kau baca dan pahami tanpa harus membalasnya. Kau buatku sakit (lagi), Alan..

From : Alan
Hai, Asta. Kabarku baik. Aku senang bisa kembali ke Indonesia. Dan kau tau, aku merindukanmu, sama halnya kamu yang merindukan aku. Aku minta maaf, Ta. Aku menyadari bahwa aku kehilangan separuh jiwaku ketika kau tak ada di sini


Haha.. Konyolnya, air mataku terangsang untuk membanjiri pipi gembulku. Hah, omong kosong, Alan. Kau rindu padaku? Omongan klasik, Alan. Isakanku malam itu ternyata mengundang hujan tuk turun secara bergerombolan ke bumi. Alan, lihatlah. Alam saja memahami aku, mengapa kamu tidak? Padahal jelas-jelas kau memiliki hati, bukan?
***
Dia membuka seluruh kedoknya malam itu. Aku pun melakukan hal yang sama. Ku utarakan semua uneg-uneg yang telah lama menumpuk dan menjulang tinggi di daratan hati. Akhirnya kau lepaskan juga kacamata hitammu, Alan.

From : Alan
Aku sengaja menjauhimu agar kau tau bahwa aku menginginkan kamu yang dulu, Asta. Kau tau, tak hanya kamu yang merasakan sakit yang begitu hebatnya. I did, too, Asta. Kau harus tau, aku terluka dengan caraku sendiri. Aku baru menyadari bahwa aku tak sanggup kehilanganmu

Banjir semakin merajai pipiku hingga meninggalkan lingkaran-lingkaran hitam di bajuku. Aku tak tahu harus ku sebut apa tentang rasa ini, Alan. Mungkin aku telah terlanjur sakit karena sikap egoismu waktu itu. Ya, amarahmu membakar segalanya, termasuk hatiku. Rasaku kosong. Kau tau, sejak itu rasanya aku tak mampu percaya lagi kamu. Aku tau semua kau lakukan demi aku, demi kita. Tapi apa kau tau kalau semua itu sama saja kau lakukan hanya demi kamu. Ya, demi kamu, bukan aku, bukan juga kita. Itu egois, Alan. Ku rasa kau belum tahu benar tentang apa makna dari kata egois.
***
To : Alan
Bukan hari ini harusnya kau kembali
Terlalu lama engkau menyadari
Karena hari ini tak akan ada lagi tersisa penyesalan dalam hatiku selamanya

Lagu itu benar untukku. Bukan hari ini harusnya kau kembali, Alan. Kau terlalu lama menyadarinya. Aku terlanjur sakit karenamu. Semua terlanjur pedih dan hatiku terlanjur takut denganmu. Aku takut kau jahat lagi, Alan. Aku takut kau memberikan tanda goresan di hatiku lagi. Aku terlanjur lelah, Alan. Sadarkah kau telah menguras air mataku hingga aku sulit untuk memancingnya keluar? Semua terasa nestapa, buta, dan beda.
***
Semudah itu kau ucapkan kata maaf, kekasihku. Setelah kau lakukan lagi kesalahan yang sama..

Ya, semudah mengedipkan mata, betapa entengnya kata maaf itu keluar dari mulutmu. Haha.. Aku sama sekali tak menyangka ternyata semudah itu kau menganggap suatu persoalan yang jelas-jelas begitu rumit bagiku. Aku heran, mengapa aku sama sekali tak mampu melihat kata penyesalan di lubuk hatimu, ya? Apakah hatimu telah buta sepenuhnya, Alan? Hingga tak ada lagi sesal yang harusnya menjeratmu rapat-rapat?

Setelah begini pun, tetap saja kau mampu melemahkan aku, Lan. Entahlah, begitu mudahnya hatiku lemah hanya karena sebagian kecil darimu menghipnotisku begitu dalamnya. Jadi, kau ini anak seorang magician? Pintar sekali kau menyihirku dan mengubah hidupku sesuka kelakuanmu. Dan kau tak mencariku saat aku berusaha menghindarimu, kan? Oh aku tahu. Dengan aku hilang pun, sudah biasa bagimu, begitu? Lantas, mengapa hari itu kau pergi mencariku jika kau tak menahanku ketika aku pergi (lagi)? Ketika angin membawaku menjauh, kenapa kau hanya memandangku dan tak menggenggamku untuk singgah di daratan bersamamu? Kau ini anggap aku apa, Alan? Pujaan? Atau mainan? Apa cinta itu harus bermain dengan kata 'mainan'?
***
Maaf, Alan. Aku takkan lagi mencarimu. Dan ku mohon kau harus melakukannya juga untukku. Mau tak mau, kau harus mau, Alan. Jalanmu bukan jalanku. Jalan kita tak bersimpangan. Kau tau, matahari dan bulan diciptakan di satu dunia, tapi tak ditakdirkan untuk bersanding. Mungkin itu bisa diibaratkan dengan kita. Apa aku boleh kecewa terhadapmu, Alan? Kau tak benar-benar memahamiku. Kau hanya memikirkan kamu dan segala yang ada pada dirimu. Kau memikirkan aku? Aku tau itu dusta. Harusnya kau meminta maaf pada Tuhan atas itu. Kau tak perlu meminta maafku, Alan. Aku sungguh-sungguh tak butuh itu. Jika kau bertanya tentang kebutuhanku, aku takkan jawab apa-apa. Tuhan telah memenuhi kebutuhanku dan ku rasa itu semua lebih dari cukup. Kata maafmu itu takkan mampu merubah segalanya, Alan. Perubahanmu itu telah merubahku juga. 

Oh iya, pernahkah kau dengar pepatah bilang, "kata-kata kasar dapat membuat aku pergi" ? Ku rasa itu akan terjadi padaku. Tenanglah, aku pergi darimu bukan berarti aku marah padamu. Tidak, Alan. Aku pergi karena memang ini suatu keharusan bagiku. Kau tak perlu memohon kata 'aku memaafkanmu' dariku, karena kau tau, aku telah mengucapkannya dengan ikhlas jauh sebelum kau menginginkannya. Biarkan aku pergi, Alan. Kadang, rasa sayang itu tak harus selalu bersama, bukan? Jika rasa sayang itu mengharuskan aku pergi, aku akan melakukannya. Janjilah, kita akan bahagia dengan pemberian Tuhan apapun bentuknya. Tuhan sayang kita, Alan. Kita harus sayang dengan jalan yang telah Dia gariskan untuk kita.
***
Tanganku gemetar begitu hebatnya. Malam sendu itu begitu biru untukku. Apa kau rasakan hal yang sama di sana, Alan?
Read more >>

Kau Salah, Alan (part 3)

Gatal rasanya kedua tanganku ini hingga mereka mengepal dirinya sendiri. Hey, simpan amarahmu, Asta. Tenanglah, semua akan baik-baik saja, batinku. Ingin rasanya ku balas status yang ia pajang saat itu. Ah, tapi entah mengapa, jari-jariku rasanya tak bertulang. Aku tak mampu membalasnya. Oh, Alan. Selemah inikah aku terhadapmu? Mungkin inilah yang disebut dengan 'air susu dibalas dengan air tuba'. Aku tak mampu membalas kejahatanmu itu, Alan. Betapa beruntungnya menjadi dirimu.
***
Sejak kepulangan Alan dari tempat bersemedinya di negeri kangguru itu, aku semakin tak mampu membendung rasa rinduku. Ya, aku kangen kamu, Alan. Aku kangen kita yang dulu. Aku rindu kamu yang dulu. Kamu yang perhatian dan menyenangkan. Entah angin apa yang telah menyihirmu hingga kau berubah 180 derajat dalam waktu kurang dari 5 menit itu. Huh. Ingin rasanya ku timpuk pawang angin yang telah mengubahmu seperti itu. Tapi sudahlah, aku mampu mengatasinya. Ini hanya kesemuan belaka. Aku tau ini hanya bertahan sementara. Semua akan kembali seperti semula, kan?
***
Malam yang biru, malam yang sendu. Aku termenung di balkon rumahku dengan ditemani oleh satu bintang di atas sana. Angin malam membawa pikiranku menelusuri memori yang mengalir begitu saja. Alan. Lagi-lagi pikiranku bermuara di kamu. Ah, rasa rindu kembali merayuku dan menyelimutiku begitu eratnya. Oh Tuhan, tolong jangan hari ini. Sesak mulai merajai relung jiwaku. Ah, rindu yang menggebu telah menyelimuti hatiku secara menyeluruh. Aku beku, Alan. Harus ku akui, aku rindu kamu. Tanpa ku sadari, seperti terkena jampi-jampi mantra alam, ku raih ponsel di kantong celanaku dan....

Hey, Alan. Bagaimana kabarmu? Ku lihat kau baik-baik saja. Atau malah semakin membaik ku rasa. Oh iya, kau pasti kaget menerima pesan ini. Iya, pesan ini dariku, Alan. Aku Asta. Haha. Terdengar aneh, bukan? Bagaimana kehidupanmu di Australia selama sebulan itu? Sudah menemukan wanita yang lebih baik dong? Haha. Maaf, harusnya aku tak mencampuri urusan pribadimu lagi. Maaf juga, aku harus mengatakan padamu di sini karena aku tau kau ganti nomor. Seharusnya aku tak perlu tau atau bahkan tak perlu diberitahu. Aku pun tak akan menanyakan alasanmu mengganti nomormu karena itu bukan urusanku. Mungkin terdengar aneh bagimu. I've to say that i'm missing you, Alan. Haha, sudahlah jangan menertawaiku. Aku tau kau tertawa aneh di sana. Ini memang aneh, Alan. Tapi ingatlah, aku janji ini adalah keanehanku yang terakhir untukmu. It's for my last time, Alan. Believe me, I won't disturb you anymore. Sorry for the disturbance and thanks for caring.

Ku tekan tombol 'send' setelah aku selesai mengetiknya. Hah, apa yang kau lakukan, Asta? Apa kau sudah gila? Untuk apa kau kirim pesan itu kepadanya? Dimana letak malumu? Ah sudahlah. Lagipula ini yang terakhir bukan? Berjanjilah ini untuk yang terakhir kalinya, Asta.
***
Sejujurnya, aku tak mengharapkan balasan apapun darinya. Dengan ia membacanya pun sudah cukup untuk menghapus rasa rinduku padanya. Ya meskipun ada rasa penyesalan yang menyelubungi pikiranku setelah pengiriman hal tak penting itu.

Pagi menjelang. Aku terbangun oleh ayam yang berkokok dari luar sana. Ah, lagi-lagi aku harus dikalahkan oleh ayam yang lebih dahulu bangun daripada aku. Drrttt.. Seperti ada yang bergetar dari meja di samping tempat tidurku. Ya, ponselku bergoyang. Halo, siapa pula yang berani menggoyangkan ponselku sepagi ini? 

1 message

Ku buka pesan itu sembari mengumpulkan nyawa yang masih berlalu-lalang di gerbang mimpiku. "Hah? A...lan..."
Read more >>

Desember 10, 2011

Kau Salah, Alan (part 2)

21 Januari 2009. Tepat satu bulan hati ini kosong tanpa kehadiran sosok manapun. Ya, aku rasa aku belum menemukan sosok pengganti Alan. Huh, sampai kapan aku terus begini ya? Semakin waktu bergulir, semakin aku tahu dan paham arti dari kekuatan. Ya walaupun terkadang air mata yang bersarang di dalam kantungnya itu keluar tanpa permisi dariku, aku bisa memaklumi itu. Aku belum sepenuhnya melupakanmu, Alan. Apa kamu di sana ikut merasakan hal yang sama? Atau bahkan kamu sudah menemukan sosok penggantiku di sana, Alan? Let me know, Alan.
***
Aku mulai terbiasa sejak kepergian tanpa permisi-nya itu. Aku tak tahu selama ini ia 'kabur' ke Australia dengan dalih berlibur di sana. Kau tau, ini menyakitkan, Alan. Apa kau sengaja pergi untuk melupakanku? Haha.. Aku sempat tertawa kecil meski pipiku telah dibanjiri oleh genangan air dari mataku. Semudah itu dia melakukannya di saat aku yang sedang bersikeras untuk menghapus dirinya sampai ke akar-akarnya di otakku. Oh, tak hanya di otakku, namun juga di hatiku. Ya, aku sedang berusaha untuk mencari penghapus yang ampuh untuk melenyapkan dia dari hidupku. Namun ku rasa, stok penghapus itu sedang habis di pasaran, hingga akhirnya aku harus menanggung resiko untuk jatuh bangun (lagi) untuk yang kesekian kalinya.
***
"Halo, hai apa kabar kamu?.... Oh kau ingin berkunjung rupanya?.... Kapan?.... Silakan, saya sedang ada di ruangan. Oke saya tunggu. Sampai bertemu.". Suara Pak Hilmi menggema di ruangan persinggahannya. Hmm.. Ada yang ingin berkunjung? Siapa? Ah sudahlah, bukan urusanku. Aku kembali menyentuh tumpukan file-file yang siap menunggu untuk dirapihkan. "Oh, dia ganti nomor ternyata.". Ganti nomor? Siapa? Kenapa Pak Hilmi seketika memandangku? Apa ada hubungannya denganku? Ah entahlah. Mungkin hanya kebetulan saja mata beliau tertangkap oleh radar mataku. 

Selang setengah jam berlalu, pintu ruang Pak Hamid terketuk oleh seseorang di luar sana. "Permisi", ujar sosok itu. "Ya, silakan masuk.", ujar si pemilik ruangan. Aku bergeming dari tumpukan file-file yang masih saja bertumpuk. Hey, kenapa tumpukan ini tak menyurut sedikitpun? Siapa yang menambahinya?

"Hai, Alan. Apa kabar kamu?". Hah? Apa yang barusan dikatakan? A..lan? Seketika tanganku berubah jadi beku seakan terendam oleh lelehan batu es di musim salju. Oh Tuhan, ku mohon jangan biarkan aku menoleh ke arahnya sedikitpun. Ku mohon semoga itu bukan....

"Wah, mana oleh-olehnya buat saya? Harusnya saya mendapatkan satu bayi kangguru ya. haha..". Aku hanya bisa mendengar celetukan sang guru dan tawa yang bersahut-sahutan dari orang-orang di dalam ruangan itu. Hanya aku yang seakan tuli, tak memberikan respon apapun terhadapnya. Ya, aku tak ingin mengalihkan perhatianku dari tumpukan-tumpukan ini. Terimakasih telah menyibukkan aku, hey tumpukan.
***
Satu jam berlalu dan akhirnya tugasku dengan tumpukan-tumpukan itu selesai juga. Ah! Alan.. Kenapa kamu masih di sana? Kenapa kau tak pergi saja? Apa aku perlu memanggil satpam untuk mengusirmu dari sini? Astaghfirullah, pikiran macam apa ini. Kenapa dia malah duduk di sana dan asik berbincang-bincang dengan guruku? Bagaimana bisa mereka saling kenal? Mataku tertuju pada jam dinding putih di ujung sana. Hey, waktu. Katakan padaku bagaimana bisa mereka saling kenal? Semua karenamu, bukan?
***
Entah aku harus menyebut ini dengan suatu anugrah atau bencana bagi kehidupanku. Bagaimana tidak, baru saja aku mampu berjalan setelah merangkak terseok-seok dari sosok yang membuatku jatuh berkali-kali itu. Dan kini? Kenapa dia harus kembali di saat aku tak butuh bertemu dengannya? Inikah suratan dariMu, Tuhan? Ku tarik napasku dalam-dalam dan ku hempaskan secara perlahan. Ku banting tubuhku di tempat tidur dengan sprei Winnie The Pooh kesukaanku dengan handphone di genggamanku. Ku buka satu jejaring sosial favoritku dan......

Alan | Senangnya kembali ke Ibukota. Namun, ah.. Kenapa harus ada yang membuatku sebal di hari pertamaku?

Ergh. Ingin rasanya ku banting hpku saat itu. Siapa yang kamu maksud, Alan? Aku? Kenapa kau tak katakan secara gamblang saja jika itu memang aku? Kau malu mengatakannya? Apa perlu aku ketik namaku sendiri di statusmu itu? Bolehkah tanganku mendarat di salah satu pipimu, Alan?
Read more >>

Kau Salah, Alan

Parade kesenian itu membuka pintu ingatanku pada satu waktu yang telah lama ku lalui. Ya, waktu itu, sekitar satu tahun yang lalu di Senin senja. Masih melekat sekali di benakku bagaimana ia membawaku bertemu dengan Alan


Alan, pria berpostur tinggi dan rambut pendek namun rapi, menyenggol lenganku saat aku tengah menyaksikan parade itu berlangsung. Haha.. Seringkali aku tersenyum kecil ketika aku mengingat es krim yang ia tumpahkan ke blus hijauku waktu itu. Lucunya, dia meminta maaf kepadaku dengan es krim yang memenuhi mulutnya, belepotan. Namun, es krim itu lah yang menjadi saksi perkenalan kami. Singkat memang. Tak ada kecanggungan di antara kami saat dia mengucapkan kata, "Sorry. Siapa namamu?" sembari mengulurkan tangannya. Aku hanya tersenyum malu. "Oh hai, aku Astari. Cukup panggil aku dengan Asta.", jawabku.
***
Sejak perayaan parade itu usai, aku tak lagi bertemu dengannya. Hmm.. mungkin ini hanya pertemuan singkat dan unik menurutku. Suatu malam di pertengahan bulan, aku mengunjungi pertunjukkan kesenian lainnya, di lain tempat tentunya. Aku melihat sosok pria cool dengan topi yang menutupi kepalanya sedang asik menunjuk-nunjukkan tangannya mengarahi beberapa orang di sekitarnya. Sepertinya aku mengenalinya. Hey, iya, dia Alan! Loh, apa yang sedang ia perbuat?, batinku. Tau begitu, aku tak lekas memanggilnya. Aku mengalihkan pandanganku pada tari papua yang sedang berlangsung saat itu. Entah, aku memang begitu menyukai seni. Mungkin sifat lembut ibu menurun padaku. Ya, beliau memang menyukai seni, seni apapun itu.

Entah berapa banyak aku mengunjungi berbagai pertunjukkan seni di bulan itu. Saking seringnya, aku tak ingat berapa jumlah pastinya. Mungkin karena aku begitu menikmatinya. Malam itu, setelah acaranya selesai, aku duduk di halte menunggu bus yang akan mengantarkan aku pulang. Aku merogoh kantong celanaku dan ku raih handphone di dalamnya. 21.30. Malam sekali ini. Kapan aku bisa pulang? Kemana bus yang hendak mengantarku pulang? Sudah jam berapa ini? Semua pertanyaan menggeluti pikiranku sendiri. Hampir saja aku kesal dibuatnya. "Huh..", aku mendesah keras. "Tenang saja, sebentar lagi busnya datang kok". Buru-buru aku menoleh mencari asal suara itu. Alan! "Tunggu 5 menit lagi ya.", ujarnya lagi. Hey, apa dia sudah lama di sampingku? Bagaimana bisa aku tak melihatnya? Apa dia mendengar keluhanku sejak tadi?
***
Sejak pertemuan singkat kami di halte ujung jalan itu, kami bertukar nomor hp. Sejak saat itulah aku dekat dengannya. Dia mulai sering mengirimiku pesan singkat, seperti jadwal rutinitasnya ku rasa. Ia kerapkali menanyaiku tentang apa yang ku lakukan seharian, jadwal makanku, hingga mengajakku ke pertunjukkan seni  yang ada. Dia pakar seni buatku. Bagaimana tidak, dia tahu benar seluk-beluk seni. Jarang sekali aku menemukan laki-laki yang gemar akan beberapa seni di negeri sendiri. Namun sekarang aku menemukannya. Ya, sosok seniman yang telah mengubah hidupku. Seringkali aku merasakan jantungku berdegup secara tak wajar ketika aku ada di dekatnya. Inikah...
***
Perhatian-perhatian yang ia beri membuatku semakin nyaman. Baru kali ini ada orang yang baru saja ku kenal namun mampu menarik atensiku begitu cepatnya. Dia pribadi yang unik. Hingga pada suatu malam di akhir tahun, handphone yang saat itu ku tindih di tempat tidur bergetar. 1 new message. Alan. Mataku terbelalak membaca pesannya saat itu. Dia memintaku untuk menjadi pacarnya? Bagaimana mungkin? Baru satu bulan lebih aku mengenalnya, apa harus secepat ini? Apa yang harus ku lakukan?
***
Seperti ada yang merubahku sejak saat itu. Aku tak lagi merasa bebas berada di dekatnya. Canggung. Ya, aku canggung terhadapnya. Belum ada jawaban yang keluar dari mulutku tentang permintaan Alan itu. Oh Tuhan. Aku harus bagaimana? Aku harus jawab apa padanya? Aku benar-benar tak tahu. Apakah cinta itu harus secepat ini? Jika memang cinta begitu cepat datang padanya, kenapa hal yang sama tak terjadi padaku? Inikah cinta di waktu yang berbeda?
***
Berbulan-bulan berlalu begitu cepatnya. Ya, ini sudah bulan ketiga setelah aku mengenalnya. Hubungan kami baik, walaupun kadang kami sering bertengkar karena banyak hal, dimulai dari hal yang super sepele, hingga hal yang cukup serius. Tentu saja ini karena hubungan kami. Entah kemana hubungan ini akan aku bawa. Aku tahu keinginannya, namun aku tak mampu mewujudkannya. Aku sayang, saking sayangnya, aku tak ingin menyakitinya sedikitpun. Ya, aku mulai sayang dia, walaupun tanpa status yang berarti. Hingga tibalah saat dimana aku menghabiskan waktu banyak dengannya. Dia terlihat begitu menikmatinya. Jika kau tau, Alan. Aku pun sangat menikmatinya. Meskipun aku tau, orang-orang di sekitar kami menggunjingkan kami akan banyak hal, aku berusaha untuk tak memperdulikannya. Aku bahagia dengan kita saat itu, Alan. Sungguh.
***
Setahun berlalu. Jika kami meresmikan hubungan ke arah yang lebih baik, mungkin kami sudah merayakan hari jadi kami yang pertama. Happy Anniversary, Alan. Aku tak percaya kita bisa menginjak satu tahun, mengingat begitu banyak pahit dan manis yang telah kita lalui. Hidup itu seperti roda memang. Kadang kita bahagia ketika mencapai puncaknya, dan sebaliknya, kita bisa begitu terpuruk ketika mencapai titik terendahnya. Dinamika kehidupan membuatku semakin sadar bagaimana aku harus menghadapinya dalam berbagai kondisi. Setelah kesenangan dan kebahagiaan yang aku rasakan bersamanya, akhirnya aku harus terpuruk karenanya. Entah memang ini karena salahku atau salahnya, aku tak peduli. "Sudah berapa kali ku katakan, aku tak ingin kau menungguku, Alan. Aku tak ingin menyakitimu.", kataku. Ya, aku tak ingin menggantungnya lebih lama lagi, namun aku tak mampu lepas darinya. Labil. Ya, aku labil. Alan hanya tersenyum. "Sudahlah, aku tak apa-apa, Asta. Tak usah memikirkanku. Biar aku yang menanggung semua. Ini resikoku. Aku menyayangimu apa adanya.". Alan, apa kau tak memikirkan bagaimana perasaanku yang seakan menggantungmu? Aku tak ingin menyakitimu lebih dari ini. Apa kau mengerti itu?
***
Tibalah klimaks kesakitanku. Dia pergi meninggalkan aku begitu saja. Kau bilang, kau sayang aku, Alan. Apa ini yang kau bilang dengan sayang? Jika kau sayang aku, apa harus kau meninggalkan aku di saat aku membutuhkanmu? Apakah dengan meninggalkanku itu kau sebut dengan 'sayang'? Aku tau kau lelah denganku, Alan. Bukankah kau sendiri yang meminta? Kau memintaku untuk tak memikirkanmu. Kau salah, Alan. Aku tak semudah itu untuk mengacuhkan perasaanmu. Kau tau, aku menghabiskan separuh malamku hanya untuk memikirkan kamu dan kita? Kenapa? Aku sayang kamu, Alan. Aku memang tak bisa berbuat apa-apa dengan hubungan ini. Aku tak bisa memberikan garis jelas untuk itu dan kau pun tak masalah, bukan? Lalu, sebenarnya ini salah siapa? Salahku yang menggantungmu karena bukan mauku? Atau salahmu yang meninggalkanku karena termakan omonganmu sendiri? Apakah cinta itu harus mencari kesalahan?  Terimakasih telah membiarkanku terpuruk, dear. Satu tahun itu bukan waktu yang singkat bagiku untuk mengenal seluk-beluk sifat dan egomu. Kita saling kenal bukan satu-dua-hari kan? Kenapa kau tiba-tiba pergi dan memaksaku untuk ikut pergi dengan arah yang berlawanan jika hanya karena kau ingin membuatku lupa dengan kehadiranmu? Kau salah, salah besar, Alan. Semakin kau memaksaku pergi sama saja kau memaksaku untuk tetap tinggal.
***
Sudahlah, Alan. Aku tau maksudmu. Aku mampu merasakan kacamata hitam yang selama ini menutup pandanganmu dariku. Aku paham itu, Alan. Ini memang menyakitkan buatku, namun aku tau selama ini kau pun memendam sakit yang begitu hebatnya ketika bersamaku. Ingatlah, Alan. Setahun denganmu, 365 hari lebih di sisimu bukanlah waktu yang teramat singkat untukku. Mungkin memang benar, cinta yang dipaksakan tak akan pernah baik. Mungkin memang benar, cinta tak harus memiliki. Aku percaya kau pun sayang padaku, Alan. Rasa sayang bisa saja menjadi senjata untuk menyakiti, bukan? Tenanglah, Alan. Aku takkan menyakitimu seperti kamu menyakitiku. Aku takkan mampu seperti itu. Aku cukup bahagia ketika kamu bahagia dengan pemilik hatimu yang baru. Bahagialah bersamanya, Alan. Aku sedih, sejujurnya, namun tenanglah, aku bahagia melihatmu menemukan duniamu yang baru. Tangisku telah melekat karenamu, Alan. Tapi tenanglah, semua takkan bertahan lama. Aku takkan membiarkan kamu melihat kesedihan ini. Biar kau cukup melihatku tersenyum meski kau tak tau betapa besar kesedihan yang telah tertahan di benakku. Aku hanya tak ingin terlihat lemah di depanmu, Alan. Sungguh. Selamat berbahagia, Alan. Aku menyayangimu dari jauh, di sini, entah sampai kapan. Mungkin sampai Tuhan memberikan aku penggantimu dan mengijinkan untuk mengubah hatiku untuk sosok lain dari kamu.
Read more >>

Desember 09, 2011

Barisan Kata Cukup Makna

Aku ingin menjadi tetesan air yang membasahi dinding kaca pada jendela hati. Sejuk, damai, dan menghanyutkan.

Dalam keheningan malam, sinar kunang-kunang bertabur dengan titik cahayanya dalam setiap sudut kegelapan.

Dalam sendu, aku merindu. Dalam cahaya, aku mencinta. Dalam pesona, aku bahagia.

Gubahan air mata menyeruak tak lagi terbendung. Di sini, aku mati dalam keheningan hati, tersudut dengan lenyapnya sinar mentari

"Apa kamu butuh cahaya?"
"Tidak."
"Apa kamu butuh udara?"
"Tidak juga."
"Lantas, apa yang kamu butuhkan?"
"Aku hanya butuh pelukan abadi."


Garis cakrawala hanya sebatas pandangan belaka, buat kamu, bukan aku.

Hidup bukan ilusi yang perlu diisi. Hidup itu pilihan, bukan remehan.

Menulis itu tak perlu puitis. Hanya perlu teguh dan siap untuk berpeluh.

Udara dingin menusuk relungku. Tak ayal aku terbaring dan tak bergerak. Aku menghilang. Ya, aku terbawa olehnya.

Kupu-kupu itu indah, memang bisa menaburkan serpihan harapan bagi bunga tempat ia berlabuh. Sama seperti kamu.

Tanda tanya besar berputar mengelilingi otak mungilnya. Tanda serupa terjadi padaku. Kami butuh titik untuk mengakhirinya.

Petikan senar gitar memang mampu menarik perhatian. Aku bergumam, bagaimana bisa ketukan tubuhmu menarik perhatian?
Read more >>

Desember 08, 2011

Kau Sempurna, Tuhan

Cara Tuhan memang selalu sempurna. Ini menyiksa, namun aku tau ini yang terbaik untukku. Dia memberikanku jalan berduri agar aku tak lagi memanjakan egoku demi kepuasan tersendiri. Tuhan, Kau memang luar biasa! Luar biasa dalam menahanku, mengijinkanku, dan membahagiakanku.

Seolah mereka memancing rasaku dengan rasanya. Aku tak ingin munafik, aku memang terpancing, namun hanya secuil. Benteng yang semula kokoh ikut terkikis perlahan. Namun aku sadar, Tuhan. Ini caraMu untuk menambal lingkaran-lingkaran kecil di dinding hati. Ini menyakitkan, namun ini menguatkan.

Terimakasih, Tuhan. Kau begitu sempurna dalam menyempurnakan naluri kekuatanku. Semua sakit pada masanya. Semua indah pada waktunya.
Read more >>

Rindu Untuk Sesal

Aku tak menyesali pertemuan ini. Aku tak menyesali perubahan masa ini yang sejujurnya memang sempat mematahkan pilar keteguhanku. Aku tak menyesal dengan datangnya hari dimana aku tak lagi disandingkan denganmu. Aku tak menyesali dengan adanya kamu.

Aku hanya menyesali rasa rinduku yang seringkali mengguncang begitu hebatnya ketika aku menginginkan kamu di sini. Aku hanya menyesali rasa ibaku terhadapmu yang ternyata kamu tak lagi pantas tuk ku taruh rasa iba.

Rindu itu semu. Sesemu dirimu. Rindu itu lugu. Dia datang begitu polosnya tanpa penghantar rasa apapun. Rindu itu malu. Ya, rasaku malu yang selalu berujung pada penyesalan. Rindu itu ambigu. Rindu itu gagu. Rindu itu, bukan lagi kamu.
Read more >>

Desember 06, 2011

Rindu Itu..

"Melepas semua penat di jiwa ternyata tak membutuhkan waktu."
"Masa?"
"Ya, karena waktu pun ternyata tak pernah cukup untuk menghapus semua perih yang ada."

Aku tertegun mendengar kata-kataku sendiri yang tak terkontrol olehku. Semua seakan mengalir apa adanya. Otakku seakan beku, mati, dan terpenjara oleh emosi hati. Bibirku seakan terasuki oleh penguasa ego hingga ia sanggup melontarkan kata-kata takabur itu. Ya, semua di luar kendali. Tolong kencangkan mur dalam setiap sarafku, gumamku.

Entah mengapa, aku ingin memutar waktu yang kini bergelut di sekelilingku. Ingin rasanya aku kembali ke masa itu. Bukan, bukan masa ketika aku mengenal sosok itu. Aku ingin kembali ke masa ketika aku tak mengenal semuanya. Aku tak mengenal apa itu cinta, aku tak mengenal apa itu gundah, tak juga mengenal bagaimana rasanya tersakiti. Rasanya begitu indah untuk dikenang dan dirasakan. Namun sayang, waktu mendorongku untuk tumbuh berkembang menjadi perempuan yang harus mengenal apa itu cinta di masanya. Ya, ini memang indah, tapi tak seindah yang dibayangkan.

Rindu itu kelabu. Semua abu-abu. Semua bisu. Semua bersatu padu di dalam hatiku. Ternyata ini rasanya tersiksa rindu yang menggebu di malam penuh haru. Bahagia memang jika dipikirkan, namun rasa sakit yang muncul beriringan pun ternyata tak kalah hebatnya. Aku jatuh. Aku sakit. Aku rapuh. Semua itu membasuh sekujur tubuhku hanya karena keberadaan rindu.

Rindu itu hanya soal waktu. Benarkah? Tidak juga menurutku. Itu hanya soal pilu. Ya, menahan pilu yang dibumbui rasa ragu. Aku heran, rindu itu sebenarnya menyenangkan, atau menyakitkan ya?

Tak seharusnya aku merindu pada lagu yang tak lagi berkumandang menghiasi hari-hari panjangku. Rindu itu tak lagi singgah di sana, di tempat di mana ia mempu mendendangkan lagunya dengan begitu bebasnya. Ya, ia laksana burung kecil yang terbang bebas, kemudian dengan ramahnya disambut oleh belaian dedaunan yang rindang. Betapa indahnya masa itu ya?

Kini masa itu telah bergulir di bawah pulir-pulir reruntuhan. Hanya tersisa abu dalam ragu yang tak kunjung berlalu. Abu-abu. Ya, lagi-lagi harus bermuara pada ke-abu-abu-an masa. Rindu itu ragu? abu-abu? pilu? sendu? Bolehkah aku mengubah rindu itu menjadi lagu seperti sedia kala? Aku tak mampu lagi menampik. Aku rindu masa itu, masa dimana aku berlagu tanpa ragu. Aku merindukan hadirnya rindu di kalbu yang menggebu. Akankah rindu itu kembali? Atau memang rindu itu hanyalah abu sebuah ragu?
Read more >>

Kacamata Hitam

Kacamata hitam yang ia kenakan semakin luntur di hadapanku. Kini segala yang ia tutupi mulai terkuak secara perlahan, namun pasti. Semua semakin tampak jelas. Dia hanya berdusta. Bukan hanya untukku, tapi untuk dirinya sendiri pula. Kini tak ada lagi tirai hitam yang menyelimuti hatinya meski sekuat apapun ia berusaha untuk melilitnya rapat-rapat. Aku mampu melihatnya dengan jelas. Ku ulangi, sangat jelas.

Kenyataan itu tak kunjung membuat awan hitam di benakku lekas hilang. Seakan tak berpengaruh untuk kehidupanku. Justru semakin buatku penat dan sesak dibuatnya. Kau tau, segala usahamu itu hanyalah angin lalu bagiku. Aku bukan lagi aku yang dulu. Bukan lagi sosok yang mampu tersenyum kala kau memandangku dengan tatapan khasmu itu. Bukan lagi sosok yang mudah tertawa ketika kau bertingkah sesukamu itu. Aku berbeda. Semua perlakuanmu telah mengubahku menjadi sosok yang seakan tak mengenalmu. Meski semua itu hanyalah kepalsuan dengan dalih menutupi kekuatan hatimu, tetap saja tak membuatku mengubah cara berpikirku tentangmu. Mungkin karena kamu sendiri yang telah mengubahnya. Tanpa kamu sadari itu.

Pertemuan kali ini sedikit membuatku bertahan dari rasaku yang hampir saja runtuh (lagi). Aku berhasil lebih kuat sedetik lebih lama dari biasanya. Ya, aku telah tumbuh menjadi gadis kuat, gadis yang tak lagi rapuh dengan mudahnya. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Begitu mudahnya tiap wanita terjatuh ya, mengapa laki-laki tidak sama seperti kami, kaum hawa? Apa karena fisik mereka yang lebih kuat sehingga hati mereka pun lebih kuat dari kami?

Terimakasih, Tuhan untuk semua jalan cahaya yang Kau berikan padaku. Terimakasih untuk semua sinar yang menerangi setiap tapak perjalananku hingga aku menyadari akan segala kepalsuan yang telah ia berikan kepadaku. Terimakasih untuk angin yang kau hembuskan hingga ia tak lagi mampu mempertahankan kacamata hitamnya itu hanya demi menutupi segala rasa yang ada. Ini menyakitkan, Tuhan. Namun ini menguatkan aku dan semakin menguatkan aku sedetik lebih lama dari hari kemarin.
Read more >>

Desember 05, 2011

Menangis dan Lelah

Someone said, "you may cry for so long time. but once you stop crying, don't ever cry for the same reason".

Kata-kata itu menghentikan perjalanan panjangku mengarungi kesedihanku. Ya, tak seharusnya aku menangisi hal yang sama untuk waktu yang berbeda. Hanya akan semakin mengungkit rasa sakitku tentang satu masa yang harusnya ku buang jauh-jauh dari hidupku. Namun, jika aku tak harus menangisinya untuk yang kesekian kali, bagaimana caranya aku meluapkan rasaku jika memori itu kembali menguak dalam hati ini?

Menangis. Mungkin itu adalah cara terampuh bagiku untuk membuang segala sesak di dada. Mereka bilang aku cengeng. Aku tak menampik hal itu. Aku mengakuinya. Ya, aku memang cengeng terhadap semua hal yang berurusan dengan bagian kecil dari hidupku, hati. Aku memang cengeng untuk semua hal yang menyakiti aku, baik lahir atau batin. Itu manusiawi, bukan?

Kadang janji-janji palsu keluar dari mulutku. Kerap kali aku berjanji untuk tak menangisi semua yang telah terjadi. Entah karena memang aku yang pembohong atau proses alami, aku tak mampu membuktikan semua janji-janji itu. Itu sulit, sangat sulit. Mungkin harusnya kau menyebutnya dengan tidak mudah, bukan sulit.

Tangisan adalah salah satu caraku untuk melepas lelah dan penatku menghadapi serba-serbi luka kehidupan. Aku ingin mengganti caraku itu dengan hal lain yang lebih mudah. Tapi aku belum menemukannya. Hanya itu yang mampu membuatku terlepas dari segala cerita yang menyesakkan dada. Menangis itu lelah, tapi mampu melepaskan peluh di hati. Menangis itu mudah, tapi membuat kenangan yang ingin terlupakan menjadi susah. Menangislah sewajarnya jika memang kamu ingin menangis. Jangan biarkan tangisan berlarut-larut, biarkan ia menangis membawa kelut di hati.
Read more >>

Desember 03, 2011

Terimakasih, Luka

Terimakasih tuk luka yang kau beri
Ku tak percaya kau tlah begini
Dulu kau menjadi malaikat di hati
Sampai hati kau telah begini


Janji yang slalu ku ingat hingga mati, kau setia hingga ku kembali
Berkali-kali kau katakan sendiri
Kini ku tlah benci, cintaku tlah pergi


Pergi saja kau pergi tak usah kembali
Percuma saja kini hanya mengundang perih
Buang saja kau buang cinta yang kemarin
Perasaan tak mungkin percayamu lagi
Cukup tau ku dirimu
Cukup sakit ku rasakan kini
Tinggalkan saja diriku, semua kan percuma
(Geisha)

'Cukup tau ku dirimu, cukup sakit ku rasakan kini'. Penggalan lirik itu rasanya ingin ku tulis besar-besar di salah satu file di dalam otaknya. Gimana ga, setelah semua itu berjalan, tiba-tiba judge datang bertubi-tubi tanpa tahu diri. Mungkin kau lupa bahwa aku juga manusia, sehingga dengan mudahnya kau serbu aku dengan cibiran-cibiran versimu yang seenaknya itu. Aku punya mata, punya telinga, punya hati, juga perasaan. Aku bisa mengerti jika kau berikan aku itu semua secara baik-baik. Tak perlu dengan cara buruk itu. Ga pantas dipandang orang banyak. Sama saja kau mencoreng namamu sendiri di daftar orang-orang hebat dalam hidupku. Ya, kamu yang mencantumkan sendiri, namun kamu juga mencoret namamu sendiri. Betapa hebatnya kamu.

Ternyata mungkin belum ada puasnya dalam dunia nyata sehingga kamu merasuki alam mimpiku. Kau berhasil membuatku ketakutan hebat dengan sikap-sikapmu di waktu itu. 'Terimakasih, Tuhan. Ini hanya mimpi.", syukurku setelah aku tersadar. Masih belum puaskah kamu melahirkan air mata dari diriku? Masih belum puaskah kamu menyakiti aku sesuka kelakuanmu? Lakukanlah sampai kamu puas. Silakan, aku tak melarangmu.

Aku sempat berpikir semua ini hanyalah kesemuan belaka. Ya, aku mengira semua ini hanya skenario palsu belaka yang hanya ingin melibatkan aku sebagai boneka yang dengan mudahnya kau mainkan di dalam cerita. Bukan hanya aku, mereka pun satu pikiran denganku. Beruntungnya aku ketika ingatan akan satu tahun lalu membuatku tersadar bahwa ada unsur perjuangan dan keikhlasan di dalamnya. Bukan waktu yang singkat bagiku untuk mengenalmu lebih dalam. Hanya saja waktu itu nyatanya tak cukup bagiku untuk menghapus lukaku yang besarnya tak kan pernah kamu tau.

Kau tak kan pernah tau ketika aku diam, bukan berarti aku tak ingin kau tau. Aku hanya tak ingin terlihat lemah di matamu. Karena aku tau, itu hanya akan semakin menyakitkanmu. Tapi kau takkan pernah mengerti. Kau bilang aku terlalu tertutup padamu. Kau benar-benar tak mengerti. Ini sulit, ini tak mudah, it's hard, dear.

Semua antara percuma dan berharga. Semua yang ada memang berharga, tapi semua luka hanya percuma untukku. Kenapa? Karena ku tau, kau takkan pernah mengerti akan luka yang telah kau sayat begitu dalamnya. Terimakasih untuk semua luka, semua duka, semua sakit yang kau beri. Tenang, aku takkan pernah berusaha atau bahkan berniat untuk menyakitimu. Aku tak mampu menyakitimu atau siapapun. Aku hanya inginkan yang terbaik buat aku, kamu, dan kita.
Read more >>

Proses 'Lagi dan Lagi'

...Yang selalu membuatku mengenangmu
Terbawa aku dalam sedihku
Tak sadar kini kau tak di sini

....Mengapa kisah kita berakhir yang seperti ini
Hampa kini yang ku rasa
Menangis pun ku tak mampu...

(Sammy Simorangkir, cipt : Aladin Band)


Petikan lirik itu menusuk jantungku lebih dalam dan jauh lebih dalam dari yang ku bayangkan. Kenangan itu menyeruak lagi dan lagi memasuki alam bawah sadarku. Aku terhanyut, diombang-ambing nada yang mengalun lembut itu. Ya, terbawa aku dalam sedihku. Aku kembali mengenang semua masa termanis hingga terpahit dalam hidupku selama ini. Lagu, adalah salah satu media dalam hidupku yang dengan ampuhnya mampu menjadi mesin waktu bagiku untuk mengingat semua yang pernah ada di hidupku hingga setiap detiknya. Begitu hebatnya para musisi dunia yang selalu mampu membangkitkan ingatan kita akan satu kisah yang telah terlampau jauh terjadi itu.

Tak seharusnya aku begini. Tak baik bagi diriku untuk terlalu membiarkan hati ini terseret arus kesedihan. Mungkin aku hanya butuh waktu agar aku mampu sepenuhnya berjalan dengan tegak (lagi). Aku hanya butuh waktu untuk beralih dari masa A ke masa B yang sesungguhnya lumayan jauh berbeda keadaannya. Di masa inilah aku begitu merasakan betapa sulitnya bagiku untuk berdiri (lagi) ketika aku kembali jatuh (lagi). Semua berjalan lagi dan lagi, tak berubah.

Hey, aku bisa tersenyum kali ini. Perubahan ini semakin meyakinkan aku bahwa semua yang indah itu tak kan pernah abadi. Segala yang abadi hanyalah kenangan. Dan kenangan itu akan tetap singgah, seberapapun manis atau pahitnya itu. Itulah mengapa Tuhan menciptakan mata lebih depan dari otak. Karena Tuhan ingin kita untuk selalu melihat ke belakang dan tidak berlama-lama memikirkan penyesalan yang nantinya akan membuat kita statis. Semua butuh proses, tapi semua pasti ada jalan.
Read more >>

Desember 02, 2011

Pandangan Itu Menyakitkan

Aku tak tahu harus menyebutnya ini sebagai suatu kebetulan, keajaiban, atau siksaan untukku. Mataku menangkapmu di sudut sana, bersanding dengan satu sosok yang lebih dewasa dariku. Entah aku harus berkata apa. Intinya, aku tak bisa mengelak jika aku bahagia melihatnya. Tenang, aku tak sakit, aku hanya sedikit terguncang. Hanya sedikit, tak banyak.

Kehadirannya tak membuatku aneh terhadapmu. Aku hanya benci melihatmu menatapku dengan pandangan yang nyatanya tak jauh berbeda ketika aku dan kamu masih bisa disebut dengan 'kita'. Ya, aku tak suka. Aku benci ketika kamu menatapku dan membuat separuh ragaku lemah karenamu. Kau tanya mengapa? Semua telah berbeda, dear. Aku dan kamu bukan lagi kita. Tak seharusnya kamu menaruh pandangan sedetik itu padaku. Itu menyakitkan. Pandangan itu menyakitkan.

Semua semakin menguatkan satu persepsi dalam pikiranku bahwa semua itu bukan dalam kendalimu. Semua kesakitan, caci maki, amarah, dan egois yang telah kau hujam belakangan ini bukan maumu. Mungkin bukan juga suatu paksaan karena aku tau, kamu bersungguh-sungguh dalam hal itu. Labil. Ya, kamu labil. Kamu goyah menetapkan kemana hatimu harus menuju.

Semua memang menyakitkan. Semua memang perih. Tapi, tak ada sakit hati yang tak mampu dimaafkan. Tak ada pula amarah yang tak bisa dilupakan. Juga tak ada tangisan yang tak mampu dihapus. Cobalah untuk tak menoleh lagi. Cobalah untuk tak melemahkanku lagi. Aku capek. Aku lelah dengan semua air mata sia-sia ini. Aku lelah untuk jatuh lagi karenamu. Pergilah, aku takkan menahanmu. Aku telah berjalan dan ku mohon jangan lagi mencoba untuk menghentikanku.
Read more >>

Desember 01, 2011

Bukan Lagi Kita

Kasar. Aku tak pernah mampu melakukan itu meskipun rasa kesal ini telah menggunung melebihi tinggi Candi Borobudur di Indonesia. Ya, mungkin aku lebih memilih untuk diam dan bergelut dengan kekesalan yang selama ini mengguncang hidupku. Aku tahu, semua orang memiliki alasan dalam hidupnya ketika mereka melakukan hal apapun yang mungkin di luar akal sehatnya. Terlalu banyak alasan itulah yang kadang tak dapat diterima oleh sebagian orang sehingga membutakan dirinya.

Benci. Hal ini adalah hal yang paling kubenci pula. Namun aku tak ingin rasa itu menguasai akal dan tubuhku. Itulah sebabnya aku terlalu membiarkan orang lain mengetahui semua kekesalanku agar rasa itu tak terpendam lebih lama. Aku takut itu akan melahirkan rasa benci. Sekali benci, aku akan terus menerus benci. Ya, ini aku.

Marah. Tak berbeda jauh dengan dua rasa di atas. Aku tak mudah marah. Aku seringkali membiarkan orang lain melakukan apapun yang mereka mau terhadapku selama itu masih dapat ku tolerir. Jalan yang ku ambil hanya lewat kata. Ya, aku membiarkan semua kemarahanku lewat kata yang tak mampu ku ucap. Aku hanya tak ingin terlihat lemah.

Ketiga rasa itu akhir-akhir ini bersitegang berusaha menguasai ragaku. Oh Tuhan, tolong jaga hati ini. Aku tak benci, aku hanya kesal dengan apa yang telah ia perbuat kepadaku. Haruskah ketiga unsur tadi menguasai egonya? Aku tak marah, aku hanya risih dengan semua tuduhan-tuduhan aneh yang ia tujukan kepadaku. Ia tak tau, tak lagi tau, dan takkan pernah tau tentang apa yang terjadi.

Dia bilang, aku tak mengerti. Dia bilang, aku tak paham. Dia bilang, aku tak peka. Setelah sekian lama aku turuti segala kemauannya itu, apa itu dia bilang aku tak peka? Setelah sekian lama aku pertahankan semua yang telah di ujung tanduk itu menurutnya aku tak mengerti? Setelah sekian lama aku ikuti drama kehidupan yang ia ciptakan itu aku tak paham? Coba pikirkan, hey kamu

Kamu tau, aku diam bukan berarti aku tak ingin kau tau. Aku hanya tak ingin terlihat lemah di depanmu. Kau tau, aku lebih memilih tuk diam, bukan berarti aku melarangmu untuk mengetahui segalanya. Aku hanya tak ingin kau khawatir dengan apa yang terjadi padaku. Mampukah kamu memahami itu?

Aku tak sekuat kamu. Aku tak sekuat dia. Aku tak sekuat mereka yang dengan mudahnya bercerita dengan wajah penuh ekspresi seperti yang kamu kira. Aku bukan mereka yang dengan mudahnya menjalani skenario kehidupan yang di dalamnya hanya ada aku, kamu, dan Sang Sutradara. Ya, hanya aku dan kamu. Ya, kita.. Aku tak bisa. Kamu masih belum mengerti?

Lepaskan aku jika kamu mau. Aku tak kan menahanmu. Aku akan membiarkan kamu untuk mengambil jalanmu sendiri. Aku akan membiarkan kamu melakukan apa yang ingin kamu lakukan. Bukan hanya kepadaku, tapi kepada kita. Mungkin tak lagi pantas aku menyebutnya dengan kata 'kita'. Kini hanya ada kata aku dan kamu. Bukan lagi kita.
Read more >>

November 29, 2011

Bukan Lagi Kamu

Lagu itu alunan ungkapan hati. Apa yang tak mampu terucap, kadang disalurkan lewat lagu. Nada demi nada beresonansi merasuki saraf pendengar dalam hatiku di malam kelabu itu.

Kata-kata itu begitu menusuk sampai ke akar jantungku. Hey, it hurts you know! Aku kira air mata akan menemaniku malam itu, tapi nyatanya kali ini dia absen membanjiri kedua belah pipiku. Entah. Aku tak tahu alasannya apa. Mungkin dia terlanjur lelah setiap kali ku paksa dia keluar tuk menangisi laki-laki labil dan egois itu.

Tak dimengerti dia, sudah biasa. Disakiti dia? hal biasa juga. Dibohongin dia? uh apalagi. Seakan jadi rutinitas tiada hentinya bagiku. Jadi, ketika aku hilang, entah dari pikirannya atau hidupnya sekalipun, mungkin itu juga akan menjadi hal yang biasa buat dia.

Emosi yang selama ini ada pun tak ada gunanya. Toh pemeran muka dua itu tak akan pernah peduli dan tak mau tahu dengan semua ocehanku yang tertuju padanya. Didengar, tapi tak ingin mendengar. Macam lagu Agnes saja dia itu.

Seringkali aku berpikir aku ingin menghampirinya dan memberikan senyuman terindahku untuknya. Ya, dan untuk kesekian kalinya, aku tak pernah merealisasikannya secara gamblang. Aku tahu, aku tak ingin terlihat bodoh di depannya. Aku membiarkan senyumanku merekah, namun tak tampak dari matanya. Aku lebih baik melihat dan tersenyum padanya dari jarak ratusan meter. Aku tak ingin dia kembali lemah dengan kehadiranku di sisinya.

Sosok apa adanya dan selalu membuatku nyaman itu kini tak lagi seperti yang ku kenal. Ya, aku seakan tak mengenalnya lagi. Dia berubah, entah itu karena maunya atau memang tanpa kesengajaan. Cinta telah mengubahnya, hampir 180 derajat. Dia bukan lagi sosok yang mampu meluluhkan aku dengan senda guraunya, bukan lagi sosok hebat yang selalu aku banggakan di depan teman-temanku. Bukan lagi.

Dia tak lagi sopan, tak lagi baik, tak lagi perhatian, tak lagi menyenangkan. Dia jahat, egois, pencoret nama baiknya sendiri dalam daftar orang terbaik di dalam hatiku. Mungkin dia sengaja agar aku mampu berjalan dengan mandiri tanpa kehadirannya. Haruskah dengan caci makian, hukuman, judge, atau emosi yang ia gunakan untuk menjauh dan tak ingin lagi mengenal aku?

Aku tak ingin membalasnya. Aku akui, dia pernah mengisi jiwa yang selama ini kosong dan tak terjamah oleh apa yang disebut cinta. Terimakasih, kamu.. Terimakasih untuk semua kebahagiaan, sakit, kecewa, dan semua yang telah bertumpah ruah dan campur aduk hingga rasa itu tak lagi ku kenal.
Read more >>

November 25, 2011

The Truly

When the sun shines so brightlyWhen the roses bloom so beautifullyWhen the cloud is getting greyWhen the rain comes so sadly

Here i am
standing with a strong mind
but as strong as what i'm surely like, feeling down is like my best friend at all
here i am
flowing through the air
i'm trying to hold on
but it takes me down to the land

 not anyone who felt the touch of this sadness
 it's just how to deserve your life and being strong by yourself
 life is an adventure 

 let's keep walking even in a small path
Read more >>