Desember 30, 2011

Kau Salah, Alan (part 10)

Peribahasa bilang, keluar mulut harimau, masuk mulut buaya. Sama-sama nyesek, sama-sama salah. Keluar dari kesakitan akibat tragedi berdarah pagi itu, dan sekarang aku harus bertemu kaku dengan Alan. Harusnya kami bekerja sama dengan embel-embel 'guru seni' bagi (calon) murid kami nanti. Bagaimana bisa inderaku bekerja sama jika sumbernya di hati menolak begitu kuat? Aku dan dia sama, tak jauh beda. Seperti kutub magnet yang sama, akan terus bertolakan, tidak akan bisa menyatu atau bahkan mendekat meski dipaksa sekuat apapun.

Bumi gonjang-ganjing menggelegar tak karuan. Cobaan apa lagi ini, Tuhan? Sosok di balik pintu pada hari pertama kursus itu, aku harus menerima kenyataan bahwa.. "Asta, ini Dena, murid kamu. Nah, Dena. Silakan belajar dengan Kak Asta ya.", kata ibu tanpa melepaskan rangkulan di pundak gadis itu. Dena, oh namanya Dena. Ku coba mengontrol diriku yang sejujurnya gatal ingin menjambak dia kuat-kuat. Namun... Cantik. Rambut hitam legam yang tergerai lurus mengkilat begitu indahnya. Pintar juga Alan melirik sosok anggun ini. Dia mengagguk malu sebagai sapaan pertama kami. Dia ramah juga. Oke, aku tak pantas membencinya. Semua tak ada sangkut pautnya dengan dia sedikit pun. Kau selamat dalam scan orang-orang asing di hidupku, Dena.

Cobaanku belum berakhir. Alan, dia datang dengan sekeranjang buah yang katanya dia belikan untukku. Rasanya posisiku ini hanya seperti boneka dalam kardus saja. Tak dianggap. Selesai aku menerangkan tentang teknik dasar seni lukis, selanjutnya Alan yang turun tangan. Lagi-lagi dia harus mengumbar kemesraan di depanku. Ya, di depan kedua mataku. Sok menggenggam jemari gadis itu dengan alih mengajari mengarsir indah lah. Setelah bosan, dia menyogok kecemburuanku dengan mengupas buah-buahan yang dia belikan tadi pagi. Aku bukan boneka yang bisa kau peluk jika kau butuh dan kau buang jika kau bosan, Alan. Bukan juga penghapus untuk menghapus rasa jenuhmu selama ini dan kau buang setelah habis masaku di masamu. Kau salah, Alan! Kau egois! "Ergh!", aku mendesah keras. Seketika mereka berdua menatapku. "Kenapa, Ta?", tanya Alan dengan tatapan bodohnya. Kau ini pura-pura bodoh atau memang bodoh sih? Jika saja hatimu dan hatiku berhubungan sehat, sinyal-sinyal kegelisahanku harusnya bisa kau tangkap dengan sempurna. "Nope. Maaf. Silakan dilanjutkan. Tolong bantu Dena ya, Lan. Aku mau keluar sebentar.", kataku meninggalkan mereka berdua. Berdua? Jalan bodoh apa yang aku lakukan? Sama saja aku meninggalkan mereka dengan lem perekat untuk hubungan mereka. "Lho, mau ngapain? Biar aku yang ambilkan jika kau butuh sesuatu.". pinta Alan. Aku terus berjalan tanpa menengok. "Tidak perlu, aku bisa sendiri."
***
Sedetik bersamanya seperti satu windu berlalu bagiku. Seakan ku paksa waktu untuk berhenti sejenak agar keadaan ini tak mampu berlalu seperti yang seharusnya. Meski aku dan dia harus terlarut dalam pikiran kami masing-masing, entahlah, aku begitu menikmatinya. Kadang waktu pun malu mengungkap kejujuran hati kita. Aku dan kamu. Kita.

Untuk apa kau kembali jika kau tak singgah dalam waktu yang lama?
Untuk apa kau menoleh padaku jika kau akan berpaling dalam waktu yang tak singkat?
Untuk apa kau cinta aku jika cinta itu tak hanya untukku?

Mempertahankanmu tidak semudah meraihmu. Mengapa cinta datang begitu mudahnya ketika aku tak memintanya? Namun cinta pergi begitu sulitnya ketika aku benar-benar memintanya pergi. Inikah aturan alam yang harus berlaku pada jiwa setiap insan yang mengarungi mahligai cinta monyet?
***
Aku baru ingat akan wanita yang tengah menjadi gosip warga jejaring sosial Alan waktu itu. Dia itu Dena, kan? Iya, Dena, yang berlari bersama Alan di bawah siraman hujan, yang rambutnya dibelai begitu hangat oleh tangan Alan, yang kini menjadi murid kursus seniku. Sosok orang ketiga itu tengah ku perdebatkan begitu hebatnya dengan Alan. Alan terus berdalih bahwa dia hanyalah teman baiknya, dia hanya adiknya, dan bla bla bla. Beribu alasan pun takkan berarti bagiku sejak aku tau dia berubah menjadi sosok yang tak jujur. "Kau masih mencemburui Dena? Dia hanya muridmu, murid kita. Dia hanya teman baikku. Aku bertemu dengannya di pentas kesenian Glorious yang kita kunjungi waktu itu.", jelasnya panjang lebar. Bau pengkhianatan begitu pekat merasuki rongga tubuhku. "Oh, jadi sejak itu kau dekat dengannya? Kau dekat dengannya di saat kau dekat denganku? Licik sekali kamu. Egois!", jelasku tak kalah panjangnya. Dan seperti biasa, dia menolak mentah-mentah tuduhanku itu. Sejuta buaian serta alasan yang entah bisa dimasuki akal itu dia tebaskan langsung di depan mataku. Sejuta alasan takkan pernah berguna setelah sekali saja terucap kata palsu.

Aku kembali angkat bicara meski sebenarnya mulutku ini telah enggan untuk beradu argumen dengan si kepala batu itu. "Lalu, mengapa kau tak mengenalinya padaku? Setelah sejauh itu kita berdua, dan kenapa baru sekarang menceritakan panjang lebar tentang dia di hadapanku? Kenapa? Kau kira ini tak sakit, Lan?". Aku kembali menangis di hadapannya. Sosok sekeras apapun seperti Alan pasti akan luluh juga ketika melihat seorang wanita menangis di hadapannya. "Aku sengaja tak memberitahumu, Ta. Aku hanya tak ingin kau berpikir macam-macam kepadaku.", kata Alan. "Oh, jadi setelah ini kau kira aku tak akan berpikir macam-macam? Kau ini manusia egois tingkat apa sih, Alan??". Tingkat kesabaranku jebol sudah hanya karena alasan tak logisnya itu. Seorang wanita akan begitu mempertimbangkan masalah yang ada berlandaskan perasaan dan nurani. Alan berdiri tiba-tiba. Ditatapnya aku yang masih membiarkan air mata mengalir begitu saja melewati kedua pipiku. "Kau yang egois, Asta!". Alan, kau bentak aku?

0 Komentar:

Posting Komentar