Desember 01, 2011

Bukan Lagi Kita

Kasar. Aku tak pernah mampu melakukan itu meskipun rasa kesal ini telah menggunung melebihi tinggi Candi Borobudur di Indonesia. Ya, mungkin aku lebih memilih untuk diam dan bergelut dengan kekesalan yang selama ini mengguncang hidupku. Aku tahu, semua orang memiliki alasan dalam hidupnya ketika mereka melakukan hal apapun yang mungkin di luar akal sehatnya. Terlalu banyak alasan itulah yang kadang tak dapat diterima oleh sebagian orang sehingga membutakan dirinya.

Benci. Hal ini adalah hal yang paling kubenci pula. Namun aku tak ingin rasa itu menguasai akal dan tubuhku. Itulah sebabnya aku terlalu membiarkan orang lain mengetahui semua kekesalanku agar rasa itu tak terpendam lebih lama. Aku takut itu akan melahirkan rasa benci. Sekali benci, aku akan terus menerus benci. Ya, ini aku.

Marah. Tak berbeda jauh dengan dua rasa di atas. Aku tak mudah marah. Aku seringkali membiarkan orang lain melakukan apapun yang mereka mau terhadapku selama itu masih dapat ku tolerir. Jalan yang ku ambil hanya lewat kata. Ya, aku membiarkan semua kemarahanku lewat kata yang tak mampu ku ucap. Aku hanya tak ingin terlihat lemah.

Ketiga rasa itu akhir-akhir ini bersitegang berusaha menguasai ragaku. Oh Tuhan, tolong jaga hati ini. Aku tak benci, aku hanya kesal dengan apa yang telah ia perbuat kepadaku. Haruskah ketiga unsur tadi menguasai egonya? Aku tak marah, aku hanya risih dengan semua tuduhan-tuduhan aneh yang ia tujukan kepadaku. Ia tak tau, tak lagi tau, dan takkan pernah tau tentang apa yang terjadi.

Dia bilang, aku tak mengerti. Dia bilang, aku tak paham. Dia bilang, aku tak peka. Setelah sekian lama aku turuti segala kemauannya itu, apa itu dia bilang aku tak peka? Setelah sekian lama aku pertahankan semua yang telah di ujung tanduk itu menurutnya aku tak mengerti? Setelah sekian lama aku ikuti drama kehidupan yang ia ciptakan itu aku tak paham? Coba pikirkan, hey kamu

Kamu tau, aku diam bukan berarti aku tak ingin kau tau. Aku hanya tak ingin terlihat lemah di depanmu. Kau tau, aku lebih memilih tuk diam, bukan berarti aku melarangmu untuk mengetahui segalanya. Aku hanya tak ingin kau khawatir dengan apa yang terjadi padaku. Mampukah kamu memahami itu?

Aku tak sekuat kamu. Aku tak sekuat dia. Aku tak sekuat mereka yang dengan mudahnya bercerita dengan wajah penuh ekspresi seperti yang kamu kira. Aku bukan mereka yang dengan mudahnya menjalani skenario kehidupan yang di dalamnya hanya ada aku, kamu, dan Sang Sutradara. Ya, hanya aku dan kamu. Ya, kita.. Aku tak bisa. Kamu masih belum mengerti?

Lepaskan aku jika kamu mau. Aku tak kan menahanmu. Aku akan membiarkan kamu untuk mengambil jalanmu sendiri. Aku akan membiarkan kamu melakukan apa yang ingin kamu lakukan. Bukan hanya kepadaku, tapi kepada kita. Mungkin tak lagi pantas aku menyebutnya dengan kata 'kita'. Kini hanya ada kata aku dan kamu. Bukan lagi kita.

0 Komentar:

Posting Komentar