Desember 06, 2012

Bahagia Kita Berbeda

Ada rindu untuk bertemu. Ada sakit saat menyipit.

Ah, mungkin aku senang bermain-main dalam lubang yang kubuat sendiri. Ya, lubang kesakitan yang tetap saja kupertahankan meski tersimpan seribu duri yang siap menancap ragaku kapan saja. Kurayu sang waktu untuk membawamu kembali ke hadapanku sesaat saja. Apa daya. Dia masih mengurungmu entah dimana, aku tak tahu. Rindumu palsu! Bukankah kau yang menginginkannya hilang dari duniamu?, begitu jawabnya. Telak.

Saat aku hendak mengusirmu jauh-jauh dari pandanganku, dia justru menyeretmu mentah-mentah ke hadapanku. Aku bisa apa? Tercengang? Kikuk? Atau justru bahagia mesti tetap menyorotkan rasa sakit di hadapanmu?

Akankah bulan tetap tersenyum saat bintang berkedip bukan untuk dirinya? Akankah bunga tetap bersemi kala penikmatnya mulai beranjak dari mahkotanya? Akankah aku tetap berdiri saat kau mulai berlaga seperti bintang atau penikmat itu?

Bahagia milikku dan milikmu berbeda, ternyata. Yang kusalurkan untukmu mungkin takkan pernah sejalan dengan apa yang kau inginkan. Bahagia kita berbeda. Itulah mengapa tidak pernah ada 'kita' dalam catatanku dan catatanmu. Aku bahagia memilikimu di sini, meski kamu tak pernah merasa memilikiku yang jelas-jelas selalu ada untukmu.

Kutemukan penggantinya. Seorang penggores senyum di wajahmu, penerang malammu, pelembut hatimu, penjaga harimu, dan pelita jiwamu. Semua mencuat ketika bukan aku yang kau puja. Sedih, senang, bahagia, luka. Semua sederhana.

Bahagiaku adalah senyum yang terpahat jelas di kedua bibirmu. Bagaimanapun caranya, apapun alasannya, aku tak peduli. Aku rela menjadi badut yang kau olok-olok jika itu menjanjikan hadirnya senyummu.
Bahagiamu? Apa kau rela sepertiku? Rela terluka demi membuatku bahagia?

Kadar bahagiamu tak akan pernah bersinggungan dengan bahagiaku. Bahagiamu adalah tetap tersenyum, bersamanya, menyisakan aku yang ikut tersenyum dalam luka yang kujahit paksa agar tak semakin menganga. Bahagiaku dan bahagiaku, takkan pernah sama.

Jangan melukaiku dengan melihatmu terdiam, tatapan kosong, tanpa arah. Sisipkan saja aku dalam hatimu agar tak ada hampa di sana. Ah, apa daya. Kau tak pernah membiarkan aku memasukinya sedetikpun. Aku baik-baik saja. Tapi kumohon, jangan siksa aku dengan menyiksamu dalam tatapan kosong seperti itu.

Bagaimana dengan lukamu? Terluka saat melihanya menangis? Itukah lukamu? Jika aku adalah dia, akankah kau terluka? Inikah luka kita yang berbeda?


Luka, bahagia, sederhana.

Bulan tak pernah peduli akan mereka yang merampas sinarnya untuk yang lain. Bunga pun tetap menari meski banyak yang datang dan pergi tanpa permisi.

Aku tahu kau bahagia saat menari di bawah rintihan hujan(ku) bersamanya. Jadikan setiap bulirnya kebahagiaan yang mampu kau kumpulkan. Aku turut senang. Percayalah.


Bertahanlah dalam kebahagiaan.
Dari aku, yang rela terluka asal menjanjikanmu bahagia

0 Komentar:

Posting Komentar