Desember 11, 2011

Kau Salah, Alan (part 3)

Gatal rasanya kedua tanganku ini hingga mereka mengepal dirinya sendiri. Hey, simpan amarahmu, Asta. Tenanglah, semua akan baik-baik saja, batinku. Ingin rasanya ku balas status yang ia pajang saat itu. Ah, tapi entah mengapa, jari-jariku rasanya tak bertulang. Aku tak mampu membalasnya. Oh, Alan. Selemah inikah aku terhadapmu? Mungkin inilah yang disebut dengan 'air susu dibalas dengan air tuba'. Aku tak mampu membalas kejahatanmu itu, Alan. Betapa beruntungnya menjadi dirimu.
***
Sejak kepulangan Alan dari tempat bersemedinya di negeri kangguru itu, aku semakin tak mampu membendung rasa rinduku. Ya, aku kangen kamu, Alan. Aku kangen kita yang dulu. Aku rindu kamu yang dulu. Kamu yang perhatian dan menyenangkan. Entah angin apa yang telah menyihirmu hingga kau berubah 180 derajat dalam waktu kurang dari 5 menit itu. Huh. Ingin rasanya ku timpuk pawang angin yang telah mengubahmu seperti itu. Tapi sudahlah, aku mampu mengatasinya. Ini hanya kesemuan belaka. Aku tau ini hanya bertahan sementara. Semua akan kembali seperti semula, kan?
***
Malam yang biru, malam yang sendu. Aku termenung di balkon rumahku dengan ditemani oleh satu bintang di atas sana. Angin malam membawa pikiranku menelusuri memori yang mengalir begitu saja. Alan. Lagi-lagi pikiranku bermuara di kamu. Ah, rasa rindu kembali merayuku dan menyelimutiku begitu eratnya. Oh Tuhan, tolong jangan hari ini. Sesak mulai merajai relung jiwaku. Ah, rindu yang menggebu telah menyelimuti hatiku secara menyeluruh. Aku beku, Alan. Harus ku akui, aku rindu kamu. Tanpa ku sadari, seperti terkena jampi-jampi mantra alam, ku raih ponsel di kantong celanaku dan....

Hey, Alan. Bagaimana kabarmu? Ku lihat kau baik-baik saja. Atau malah semakin membaik ku rasa. Oh iya, kau pasti kaget menerima pesan ini. Iya, pesan ini dariku, Alan. Aku Asta. Haha. Terdengar aneh, bukan? Bagaimana kehidupanmu di Australia selama sebulan itu? Sudah menemukan wanita yang lebih baik dong? Haha. Maaf, harusnya aku tak mencampuri urusan pribadimu lagi. Maaf juga, aku harus mengatakan padamu di sini karena aku tau kau ganti nomor. Seharusnya aku tak perlu tau atau bahkan tak perlu diberitahu. Aku pun tak akan menanyakan alasanmu mengganti nomormu karena itu bukan urusanku. Mungkin terdengar aneh bagimu. I've to say that i'm missing you, Alan. Haha, sudahlah jangan menertawaiku. Aku tau kau tertawa aneh di sana. Ini memang aneh, Alan. Tapi ingatlah, aku janji ini adalah keanehanku yang terakhir untukmu. It's for my last time, Alan. Believe me, I won't disturb you anymore. Sorry for the disturbance and thanks for caring.

Ku tekan tombol 'send' setelah aku selesai mengetiknya. Hah, apa yang kau lakukan, Asta? Apa kau sudah gila? Untuk apa kau kirim pesan itu kepadanya? Dimana letak malumu? Ah sudahlah. Lagipula ini yang terakhir bukan? Berjanjilah ini untuk yang terakhir kalinya, Asta.
***
Sejujurnya, aku tak mengharapkan balasan apapun darinya. Dengan ia membacanya pun sudah cukup untuk menghapus rasa rinduku padanya. Ya meskipun ada rasa penyesalan yang menyelubungi pikiranku setelah pengiriman hal tak penting itu.

Pagi menjelang. Aku terbangun oleh ayam yang berkokok dari luar sana. Ah, lagi-lagi aku harus dikalahkan oleh ayam yang lebih dahulu bangun daripada aku. Drrttt.. Seperti ada yang bergetar dari meja di samping tempat tidurku. Ya, ponselku bergoyang. Halo, siapa pula yang berani menggoyangkan ponselku sepagi ini? 

1 message

Ku buka pesan itu sembari mengumpulkan nyawa yang masih berlalu-lalang di gerbang mimpiku. "Hah? A...lan..."

0 Komentar:

Posting Komentar