Desember 14, 2011

Kau Salan, Alan (part 5)

Seminggu berlalu sejak dia menanggalkan kacamata hitamnya. Kesan? Hmm.. Lega memang, tapi menyisakan sedikit puing-puing perih yang masih saja menumpuk di kantung beban. Haduh, harus bagaimana caranya memusnahkan puing-puing itu? Aku tak memiliki cukup bahan bakar untuk menghabisinya. Sudahlah, biarkan puing-puing itu tertiup dengan sendirinya oleh waktu. Tak perlu dipikir panjang atau dibawa beban. Rumit memang, tapi bukan berarti harus dipersulit, kan?

Sejak itu, pesan-pesan bualan menyerbuku tanpa kenal waktu. Hhh.. Kau pikir aku ini kotak pos, hah?, batinku. Gagasan-gagasan yang menurut ia benar adanya dikerahkan secara bertubi-tubi, mencoba untuk membuatku diam. Halo, kamu salah orang, Alan. Aku tak semudah itu kau lumpuhkan dengan teori-teori yang sudah bisa ku terka itu. Kau kira aku mengenalmu hanya satu-dua hari?

From : Alan
Tolonglah, percaya padaku. Semua hanya di luar keterbatasanku. Aku memang melakukannya dan aku menyesal. Bisakah kita kembali seperti dulu?

Hhh.. lagi-lagi hanya itu yang kau katakan, Alan? Simpel sekali ya, tapi aku tak se-simpel itu.

To: Alan
Kau takkan pernah mengerti. Kepercayaan itu bukan hanya buaian semata. Sekali kau rusak kepercayaan itu, tak hanya aku, siapapun itu pasti takkan lagi mudah tuk mempercayaimu. Kembali seperti dulu? Tentu saja. Kita hanya kembali sama seperti dulu, kan? Tapi hatiku tak semudah itu tuk kembali. 

Derasnya hujan yang mengguyur bumi menjadi penari latar dalam drama kehidupanku hari itu. Ku tatap jam weker antik di samping tempat tidurku. Pukul 23:00. Sudah larut malam ternyata. Ku harap ponselku tak lagi berdering malam itu. Kau tahu maksudku, kan?
***
Waktunya shopping! Ah, berapa tahun sudah ku tinggalkan kebiasaan hura-huraku itu ya? Semenjak hari-hariku dipusingkan dengan deadline di sana-sini yang tak kunjung berhenti, perlahan-lahan aku mampu meninggalkan kebiasaan burukku itu. Karena hari ini toko tempat aku bekerja libur, aku bisa jalan-jalan sepuasnya. Mula-mula mataku tertuju pada boneka besar teddy bear yang terpajang di depan salah satu toko. Ah, mataku memang selalu saja haus akan beragam jenis boneka. Hal pertama yang selalu ku lihat adalah...harga. Memang mental mahasiswi ya. Oke, tanpa berpikir panjang ku beli boneka besar itu dan segera beranjak pulang. Hey, inikah yang ku sebut shopping? Kenapa terkesan hanya 5 menit terbuang untuk berbelanja setelah itu kembali pulang (lagi)? Sudahlah, mungkin julukan 'nona hura-hura' fix terlepas dari hidupku.
***
"Asta, lagi-lagi kau beli boneka? Kamarmu mau se-sesak apa lagi kamarmu dengan kedatangan boneka barumu itu?", kata ibu yang tengah merapikan dekorasi ruang tamu ketika melihatku datang. Hufh. Ibu memang selalu menjadi orang pertama yang mengomentari barang-barang yang ku beli. Yang selalu menjadi bahan terpaan untukku itu masalah umur. Beliau beranggapan bahwa umurku sudah tak pantas lagi untuk membeli barang khas anak kecil itu. "Ga apa-apa, bu. Sekali ini aja kok. Ya?", kataku berjanji. Ya, lagi-lagi janji yang keluar dari mulutku (mungkin) tak bisa dipercaya. "Kata-kata itu sudah yang ke 847634 kali, Ta.", kata ibu. Huh, sudah ku tebak ibu akan berkata seperti itu. Aku terus melangkah meninggalkan ibu yang masih saja terpaku membenarkan letak pigura besar di ruang tamu menuju kamar.
***
Baru ku sadari, ternyata ruangan ini pantas untuk disebut toko boneka. Berbagai macam boneka dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi bertebaran di berbagai sudut. Ada boneka kucing kesayangan pemberian dari ayah sebulan yang lalu di sudut tempat tidurku, ada boneka winnie the pooh pemberian ibu di hari ulang tahunku 6 bulan yang lalu, ada juga boneka kodok hijau yang ukuran jumbo di sudut lemari sana dan masih banyak lagi. Lalu, harus ku letakkan dimana boneka teddy bear yang ku beri nama 'clossy' ini?

Sedang apa dan dimana dirimu yang dulu ku cinta.. Ponselku berdering. 

Ibu calling..
+6281295xxx

Hah, ibu? Kenapa tiba-tiba telepon? Bukannya ibu sedang ada di bawah?

Ibu : "Asta, cepat turun ke bawah. Ada yang mencarimu"
Asta : "Hah, siapa, bu?"
Ibu : "Sudahlah, cepat turun ke bawah. Jangan buat dia menunggumu"
Asta : "Iya iya, bu. Tapi kenapa ibu harus meneleponku?"
Ibu : "Iya, ibu malas naik menuju kamarmu, Nak. Sudah cepat jangan lelet."

Ibu... Memang selalu saja ada 'kejutan' di dalam dirinya. Terbesit tiba-tiba di pikiranku. Ada yang mencariku? Siapa?

0 Komentar:

Posting Komentar