Desember 25, 2011

Kau Salah, Alan (part 7)

Lain di mulut, lain di hati. Munafik. Kata-kata apa lagi yang pantas untuk ditancapkan dalam-dalam di depan kedua mataku dan perlu disorot tajam untukku. Mulut memang mudah untuk berdusta. Seringkali aku berjanji (palsu) untuk tak lagi bersinggungan dengan hal-hal yang berbau tentangnya, tapi nyatanya hati ini seakan meronta secara tak sadarkan diri. Otak dan hati memang terkadang tak sejalan. Bukan hanya keduanya, tangan pun nyatanya berkoalisi dengan si otak yang masih saja mencari informasi tentang dirinya. Bahasa keren jaman sekarang sih 'stalker'. Rasanya seperti haus akan informasi mengenai apa yang dia lakukan seharian.

Tapi memang kadang kita tak perlu memaksakan kehendak yang bisa dibilang hanya kesemuan belaka. Jika saja penyesalan itu muncul dari awal sebagai peringatan agar manusia tak bersikap gegabah akan sesuatu. Meski aku tlah terjatuh dan terpuruk dalam lubang penyesalan, tapi egoku rasanya tak kapok. Memang sakit, tapi kenapa rasanya sekujur rasaku mengindahkannya dan tetap memihak pada sosok abu-abu itu?
***
Aku tak menyangka sosok sederhana seperti dia ternyata digandrungi banyak kalangan. Bisa dibilang dia memang famous. Aku akui dia memang sosok yang friendly dan ga neko-neko. Ya tak jarang banyak gadis-gadis yang (mungkin) mencoba mendekatinya. Aku tak tau rasa ini harus ku sebut apa ketika sebal, bahagia, sedih bercampur menjadi satu. Gosip itu semakin beredar seperti si jago merah yang melalap suatu rumah tak kenal ampun. Begitu cepat merambat dan menyebar. Dia sedang dikaitkan pada satu sosok gadis yang tak ku kenal. Awalnya aku berpikir dia ada 'sesuatu' dengan Sissy. Hati kadang terlalu sensitif dalam menangani suatu masalah yang justru begitu sepele. Mereka hanya berteman dan akrab karena aku, katanya. 

Tak bisa dipungkiri perasaan lega menyeruak, tapi sekejap kandas ketika aku tau warga jejaring sosialnya tengah memasangkan dia dengan gadis yang tak ku kenal itu. Siapa lagi dia? Tolong tahan aku untuk tak bertanya tentang sosok itu lagi. Ingin sekali tutup mata dengan apapun yang terjadi pada dia kini, hingga nanti. Tapi apa yang bisa diperbuat jika rasa masa bodoh mampu dikalahkan oleh rasa penasaran pada orang yang disayangi (dulu)?
***
Asta | Wow. Selamat ya. Semoga berbahagia..

(Lagi-lagi) tanganku tak sopan mengetik, menekan tombol send hingga terciptalah status baru di akun jejaring sosial favoritku. "Tak apa. Biarkan mengalir apa adanya", kata hati. Aku hanya berdecak heran. Kenapa ya, laki-laki itu lebih cepat menemukan pengganti ketimbang para wanita yang seringkali larut pada perasaannya? Bagaikan bunga yang tengah menari-nari dengan sekerumunan lebah penikmat pesonanya, sedangkan kontras denganku bagai ikan yang terjerembab di dalam jaring kehampaan menunggu keajaiban datang. Inikah suatu keadilan hak asasi perasaan bagi kaum hawa seperti aku?
***
Alan
08xxx
Tolong jangan salah paham, Ta. Itu hanya gosip murahan
Aku tetap sayang kamu, bukan untuk yang lain

Hey, para wanita dimanapun kalian berada. Apa hati kalian takkan luluh lantak ketika seseorang berkata dia sayang padamu? Salahkah jika aku bahagia menerimanya? Tapi.. Rasa bahagia ini tak seharusnya memanjakan kesemuan di baliknya. Itu (mungkin) hanya sementara. Sudahlah, Alan. Aku lelah untuk bertemu pikiran, hati, dan perasaan denganmu.
***
Balkon tanpa kursi ini menjadi tempat favoritku untuk menyendiri dengan hati. Di sini seringkali aku tumpahkan segala emosi yang melonjak di hatiku. Ku tatap sekelilingku. Damai dan tenteram. Dedaunan pun damai bersama angin yang membawanya menari-nari dengan percikan lagu dari gesekan dedaunan itu sendiri. Aku ikut terhanyut dalam kedamaian itu. Ingin rasanya aku bertukar tempat dengan satu helai daun itu. Bebas menari, tak ada yang menghalangi. Atau menjadi angin yang mampu berhembus kemanapun ia mau, bisa dengan mudah meniupkan kesesakan, bisa juga menarik kebahagiaan. Simpel kan?

Siapa yang sebenarnya menggantungi dan digantungi ya? Aku yang menggantungi? Atau dia? Fase ini ingin ku sebut dengan 'fase jemuran', saling gantung-menggantungi, dan tak tau kapan jemuran itu akan diambil dan disisipkan ke dalam lemari.
***
Alan
08***
Pagi, Asta. Bagaimana harimu? Kangen kamu, sayang kamu, cinta kamu

To : Alan
Pagi, Lan. Hariku? Menyenangkan seperti biasa. Kangen aku?
Ga salah orang? Nyasar kali

Alan
08***
Ya ga lah, Ta. Jelas-jelas aku sebut nama kamu di awal pesanku tadi.
Aku kangen Asta, sayang Asta, cinta Asta.

Gombalan di pagi hari. Wajahku memerah padam seperti kepiting berbalut lipstik yang baru saja diangkat dari panggangan. Aku sebal, tapi senang. Aku terbuai (lagi). Kenapa kau selalu mampu melumpuhkan aku, Alan?
***
Taman kota terlihat ramai tak seperti biasanya. Biasanya karena imbas car free day, sehingga warga kotaku seringkali beralih ke taman kota sebagai tempat persinggahan. Jogging di taman itu jauh lebih menyenangkan dari yang ku kira. Kamera mataku merekam berbagai kejadian yang menarik perhatianku. Lucunya melihat anak-anak kecil berlarian dikejar-kejar ibunya karena menghindari suapan makanan untuknya. Ada pula yang ikut jogging denganku, atau sekedar duduk-duduk di bangku taman hanya untuk menghirup aroma-aroma embun pagi semerbak di atmosfer taman. Pandangan menyejukkan itu tak bertahan lama. Hujan datang menyerbu dan menyapu habis seluruh aktivitas di taman kota. Orang-orang berlarian mencari tempat teduh, begitupun aku. Tapi dimana tempat teduh yang ada? Ini kan taman kota. Ku lihat sekelilingku, orang-orang tadi membawa kendaraan pribadinya ternyata.  Yang senasib denganku? Tak ada.

Sekujur tubuhku basah sejadi-jadinya. Ku lanjutkan berjalan pulang dengan membiarkan hujan mengguyur seluruh tubuhku. Aku hanya berharap sakit tak merajai ragaku setelah ini. Astaga! Dengan rasa dingin yang semakin membekukan aku, mimpi yang ku harap takkan jadi kenyataan ternyata terjadi di depan mataku. Haruskah segala langkah kecil move on ku harus dihalangi oleh dia (lagi)? Dia menyusuri jalan menuju sebuah resto di seberang taman kota dengan... Dengan seorang wanita? Siapa dia? Aku tak bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu. Tapi jelas sekali tangan Alan merangkul pundaknya.

Ku buntuti mereka dan berencana akan menyemprotkan semua kekesalanku tepat di depan wanita penggaet hati Alan itu. Hingga mereka duduk di salah satu kursi outdoor di resto. Duduk bertatap-tatapan. Sangat akrab ku lihat. Tangan Alan mengusap lembut rambut basah wanita itu. Sang wanita itu pun tak melawan perilaku Alan itu. Ku biarkan butiran hujan jatuh menampar saraf sekujur tubuh di saat aku melihatnya bercengkrama dengan wanita itu. Semakin pedih, semakin perih, seperti sayatan silet pada nadi yang mengucurkan darah tak berhenti. Semakin terisak, semakin sesak.

Tanpa sengaja wanita itu melihat dan menyadari keberadaanku dan segera memberitahu Alan tentang keberadaanku. Aku panik, aku berlari. Aku akui, aku menangis (lagi). Ku hindari dia yang ternyata mengejar di belakangku. Ingin rasanya ku tabrakkan diriku pada mobil yang berlalu-lalang di jalan agar aku tak merasakan sakit yang begitu dalam ini. Ingin ku peluk ribuan hujan saat itu yang tlah menutupi air mata yang jatuh beriringan dengannya hingga tak seorangpun tau saat itu aku sedang menangis. Kata-katamu itu memang hanya gombalan belaka, Alan. Buat apa kau mengejarku jika ada yang lain? Dunia seakan berputar. Kaki di kepala, kepala di kaki. Pandanganku kabur. Tubuhku terlempar jauh dan tersungkur. Sakit seketika dan aku tak mampu merasakan apa-apa setelahnya. Dunia menghitam. Gelap gulita memasuki peralihan alam sadarku.

0 Komentar:

Posting Komentar