Desember 11, 2011

Kau Salah, Alan (part 4)

Ku tarik napasku kuat-kuat. "Fuuh... tenanglah, Asta. Kamu kuat.. Kamu kuat..", kataku menenangkan diri. Ya, pesan itu dari Alan. Jujur saja, Alan. Aku tak mengharapmu membalas pesanku. Cukuplah kau baca dan pahami tanpa harus membalasnya. Kau buatku sakit (lagi), Alan..

From : Alan
Hai, Asta. Kabarku baik. Aku senang bisa kembali ke Indonesia. Dan kau tau, aku merindukanmu, sama halnya kamu yang merindukan aku. Aku minta maaf, Ta. Aku menyadari bahwa aku kehilangan separuh jiwaku ketika kau tak ada di sini


Haha.. Konyolnya, air mataku terangsang untuk membanjiri pipi gembulku. Hah, omong kosong, Alan. Kau rindu padaku? Omongan klasik, Alan. Isakanku malam itu ternyata mengundang hujan tuk turun secara bergerombolan ke bumi. Alan, lihatlah. Alam saja memahami aku, mengapa kamu tidak? Padahal jelas-jelas kau memiliki hati, bukan?
***
Dia membuka seluruh kedoknya malam itu. Aku pun melakukan hal yang sama. Ku utarakan semua uneg-uneg yang telah lama menumpuk dan menjulang tinggi di daratan hati. Akhirnya kau lepaskan juga kacamata hitammu, Alan.

From : Alan
Aku sengaja menjauhimu agar kau tau bahwa aku menginginkan kamu yang dulu, Asta. Kau tau, tak hanya kamu yang merasakan sakit yang begitu hebatnya. I did, too, Asta. Kau harus tau, aku terluka dengan caraku sendiri. Aku baru menyadari bahwa aku tak sanggup kehilanganmu

Banjir semakin merajai pipiku hingga meninggalkan lingkaran-lingkaran hitam di bajuku. Aku tak tahu harus ku sebut apa tentang rasa ini, Alan. Mungkin aku telah terlanjur sakit karena sikap egoismu waktu itu. Ya, amarahmu membakar segalanya, termasuk hatiku. Rasaku kosong. Kau tau, sejak itu rasanya aku tak mampu percaya lagi kamu. Aku tau semua kau lakukan demi aku, demi kita. Tapi apa kau tau kalau semua itu sama saja kau lakukan hanya demi kamu. Ya, demi kamu, bukan aku, bukan juga kita. Itu egois, Alan. Ku rasa kau belum tahu benar tentang apa makna dari kata egois.
***
To : Alan
Bukan hari ini harusnya kau kembali
Terlalu lama engkau menyadari
Karena hari ini tak akan ada lagi tersisa penyesalan dalam hatiku selamanya

Lagu itu benar untukku. Bukan hari ini harusnya kau kembali, Alan. Kau terlalu lama menyadarinya. Aku terlanjur sakit karenamu. Semua terlanjur pedih dan hatiku terlanjur takut denganmu. Aku takut kau jahat lagi, Alan. Aku takut kau memberikan tanda goresan di hatiku lagi. Aku terlanjur lelah, Alan. Sadarkah kau telah menguras air mataku hingga aku sulit untuk memancingnya keluar? Semua terasa nestapa, buta, dan beda.
***
Semudah itu kau ucapkan kata maaf, kekasihku. Setelah kau lakukan lagi kesalahan yang sama..

Ya, semudah mengedipkan mata, betapa entengnya kata maaf itu keluar dari mulutmu. Haha.. Aku sama sekali tak menyangka ternyata semudah itu kau menganggap suatu persoalan yang jelas-jelas begitu rumit bagiku. Aku heran, mengapa aku sama sekali tak mampu melihat kata penyesalan di lubuk hatimu, ya? Apakah hatimu telah buta sepenuhnya, Alan? Hingga tak ada lagi sesal yang harusnya menjeratmu rapat-rapat?

Setelah begini pun, tetap saja kau mampu melemahkan aku, Lan. Entahlah, begitu mudahnya hatiku lemah hanya karena sebagian kecil darimu menghipnotisku begitu dalamnya. Jadi, kau ini anak seorang magician? Pintar sekali kau menyihirku dan mengubah hidupku sesuka kelakuanmu. Dan kau tak mencariku saat aku berusaha menghindarimu, kan? Oh aku tahu. Dengan aku hilang pun, sudah biasa bagimu, begitu? Lantas, mengapa hari itu kau pergi mencariku jika kau tak menahanku ketika aku pergi (lagi)? Ketika angin membawaku menjauh, kenapa kau hanya memandangku dan tak menggenggamku untuk singgah di daratan bersamamu? Kau ini anggap aku apa, Alan? Pujaan? Atau mainan? Apa cinta itu harus bermain dengan kata 'mainan'?
***
Maaf, Alan. Aku takkan lagi mencarimu. Dan ku mohon kau harus melakukannya juga untukku. Mau tak mau, kau harus mau, Alan. Jalanmu bukan jalanku. Jalan kita tak bersimpangan. Kau tau, matahari dan bulan diciptakan di satu dunia, tapi tak ditakdirkan untuk bersanding. Mungkin itu bisa diibaratkan dengan kita. Apa aku boleh kecewa terhadapmu, Alan? Kau tak benar-benar memahamiku. Kau hanya memikirkan kamu dan segala yang ada pada dirimu. Kau memikirkan aku? Aku tau itu dusta. Harusnya kau meminta maaf pada Tuhan atas itu. Kau tak perlu meminta maafku, Alan. Aku sungguh-sungguh tak butuh itu. Jika kau bertanya tentang kebutuhanku, aku takkan jawab apa-apa. Tuhan telah memenuhi kebutuhanku dan ku rasa itu semua lebih dari cukup. Kata maafmu itu takkan mampu merubah segalanya, Alan. Perubahanmu itu telah merubahku juga. 

Oh iya, pernahkah kau dengar pepatah bilang, "kata-kata kasar dapat membuat aku pergi" ? Ku rasa itu akan terjadi padaku. Tenanglah, aku pergi darimu bukan berarti aku marah padamu. Tidak, Alan. Aku pergi karena memang ini suatu keharusan bagiku. Kau tak perlu memohon kata 'aku memaafkanmu' dariku, karena kau tau, aku telah mengucapkannya dengan ikhlas jauh sebelum kau menginginkannya. Biarkan aku pergi, Alan. Kadang, rasa sayang itu tak harus selalu bersama, bukan? Jika rasa sayang itu mengharuskan aku pergi, aku akan melakukannya. Janjilah, kita akan bahagia dengan pemberian Tuhan apapun bentuknya. Tuhan sayang kita, Alan. Kita harus sayang dengan jalan yang telah Dia gariskan untuk kita.
***
Tanganku gemetar begitu hebatnya. Malam sendu itu begitu biru untukku. Apa kau rasakan hal yang sama di sana, Alan?

0 Komentar:

Posting Komentar