Desember 28, 2011

Kau Salah, Alan (part 8)

Hujan yang ku nobatkan menjadi teman bermain, sahabat karib, pasangan setia, kini menjadi saksi tumbangnya ragaku. Hantaman mesin berjalan itu melempar tubuhku hingga aku tak lagi merasakan sakitnya berlari untuk menghindar. Bercak-bercak merah bercampur air hujan mengguyur ragaku. Aku tak bisa merasakan apa-apa. Yang ku tahu hanya dunia berubah menghitam, kelam, gelap gulita. Tuhan, kau kabulkan doaku..

Alan. Dia meneriakkan namaku keras-keras. Aliran darahku merasuk ke sela-sela kemeja birunya. "Asta.. Bangun.. Astaaa", katanya seraya menepuk-nepuk kedua belah pipiku kencang-kencang. Aku hanya bisa merasakan getaran kerinduan yang selama ini terkurung rapat-rapat dalam palung hatiku. Alan.. Aku rindukan kehadiranmu seperti ini, Alan. Hanya sekejap aku mampu mendengar apa yang terjadi saat itu. Selebihnya, serasa dunia ini bisu bagiku.
***
"Apa??? Jadi Asta melihatmu berdua dengan wanita lain? Kau gila, Alan! Bisa-bisanya kau begini! Kau tau sikapmu itu..." "Aku tau. Tapi dia hanya sebatas rekan kerjaku. Ga lebih.", sela Alan di tengah adu cekcok dengan Sissy di depan ruang UGD. Seperti macan yang tengah meronta begitu hebatnya, Sissy tak segan-segan mendaratkan tangan kanannya pada pipi Alan yang masih basah. "Kau tau apa yang telah kau perbuat, Alan? Aku bisa melakukan apapun padamu jika terjadi sesuatu yang buruk atau lebih buruk dari ini. Ingat itu, Alan. Aku tak main-main denganmu.", bentak Sissy tak kenal ampun seraya meninggalkan Alan yang hanya bisa tercengang.

Hanya Alan yang tersisa di barisan kursi depan UGD. Dia begitu meresapi semua yang terjadi siang ini. Rasa bersalah bercampur aduk mengelilingi otaknya tanpa henti. Bagaimana bisa Asta melihatku di sana, batinnya. "ARRGGHH!!". Tembok menjadi sasaran empuk untuk meluapkan kekesalan Alan. Kakinya melemah. Menghiraukan kursi yang berbaris di hadapannya, Alan bersender dan duduk beralaskan lantai dingin yang menjadi saksi kekecewaan pada dirinya sendiri. Tuhan, apa yang telah aku perbuat? Separah inikah?
***
Untunglah Tuhan masih menyayangiku. Hantaman keras mobil sedan hitam yang masih begitu menempel di ingatanku. Aku harus menderita beberapa keretakan pada bagian lengan kiri, tulang rusuk, serta kedua kakiku. Tak sampai lumpuh, syukurlah. Cukuplah hati ini yang lumpuh mengingat semua rekaman yang telah ku ambil pagi itu. Laksana drama kehidupan yang menuntutku untuk bergantung pada skenario yang ada, semua ini lambat laun terjadi juga. Seperti sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Aku harus menanggung kesakitan yang luar biasa dan tak pernah ku pikirkan selama ini.

Kedua mataku tertutup, tapi tidak hatiku. Dia terus mencari sinyal keberadaanmu. Dan dia menemukannya. Aku bisa merasakan kau ada di sana, menungguku, menunggu sang waktu untuk membiarkan mataku melihatmu duduk terpaku, tepat di hadapanku. Kedua mataku masih saja tertutup, namun aku harus melewati getir kerinduan yang selama ini hanya sebatas bayang-bayang ilusi. Aku tahu kau di sana, Alan. Seakan tak bertulang, kedua tanganku tak mampu ku gerakkan. Semua kaku dan tak berdaya. Tolong bantu aku, Alan, bantu kedua tanganku untuk menggapai jemarimu di samping ragaku itu.
***
Sang waktu membuka gerbang mataku untuk melihat kembali dunia yang sempat ku tutup beberapa waktu. Aku mampu membuka mataku, meski aku harus bersusah payah untuk menoleh ke arahmu. Tunggu. Mengapa bibirku seakan terkunci? A..aku tak bisa mengucap sepatah kata pun. Aku hanya bisa melirik katup oksigen yang menempel di batas hidungku yang menjadi penopang napasku saat ini. Namun, apapun keadaanku, aku bersyukur. Kau adalah sosok pertama yang ku lihat, Alan.

Alan tersenyum seakan tak percaya melihatku siuman. Dia tersenyum bahagia, tanpa mengucap sepatah kata pun. Dentingan waktu seakan berhenti sejenak. Aku menunggumu, Alan. Tidakkah kau ingin memelukku sebagai tanda kebahagiaanmu? Menunggu dentingan waktu yang berputar hanya membuatku lelah menanti. Itu sepertiku yang lelah menanti kamu bicara, Alan. 
***
Sejak saat itu kau diam
Hingga tak ada lagi kata yang mampu membuatku hidup
Semua terasa tak berguna
Ketika kediamanmu menusuk relungku

Ku sisihkan diary ungu yang telah ku bubuhi tulisan tangan pribadiku di pinggir vas bunga ruang rawat inapku. Aku meminta Sissy membawanya karena aku telah kehabisan akal untuk membunuh rasa jenuhku di ruangan berbau infus ini. Keadaanku semakin pulih. Hanya tinggal menjalani beberapa terapi untuk memulihkan lengan kiri, rusuk, serta kedua kakiku agar bisa berjalan sesuai tugasnya lagi. Namun tidak bagi hatiku. Ku rasa tak akan ada terapi yang mampu memulihkan puing-puing hati yang sedang berserakan tak beraturan. Keadaan pulihku membawa dia pergi. Ya, Alan. Sosok yang (masih) ku cinta dan ku kasihi kini tak tau dimana. Aku ingin memakinya atas sikap menduanya pagi itu. Tapi aku tau batasanku. Aku tak berhak akan itu. Tapi taukah kamu, Alan? Ya, aku cemburu. Aku cemburu buta dengan wanita yang kau usap dengan lembut itu. Tapi aku butuh kamu. Aku butuh kamu yang semalam suntuk menjaga aku hingga waktu siumanku tiba. Aku butuh kamu yang rela terpaku berjam-jam hanya untuk melihatku. Dalam hati tak henti ku panggil namamu. Semoga saja kau merasakannya, Lan.. Kamu dimana, Alan?

0 Komentar:

Posting Komentar