Desember 29, 2011

Kau Salah, Alan (part 9)

Puing-puing hati yang mungkin tlah lama berserakan
Kini memang tak tahu arahnya kemana
Tapi bukan berarti puing-puing itu tak mampu berdiri
Dia hanya (masih) mencari tempat di mana dia akan abadi di dalamnya


Sangat menyakitkan ketika Tuhan membiarkan kita merasa kehilangan sosok yang telah terpahat dan mengeras di nurani. Separuh waktuku yang hanya dihabiskan dengan berbaring di kasur kesakitan itu ku berikan air mata sebagai penghias yang baru. Menangis bisa menjadi hal yang biasa terjadi ketika kita menyayangi seseorang. Bulir-bulir hujan mulai membasahi jendela di sisi kanan tempatku berbaring tak berdaya. Tatapanku terpaku pada setiap tetes yang mengalir perlahan namun pasti itu.

Setiap butiran air dalam genggaman hujan
Membawa satu kisah manis dalam kerahasiaan suatu masa


Tanganku tak hentinya menuliskan apa yang tersirat begitu saja dalam benakku. Pikiranku melambung jauh, merasuki memori ketika hujan menjadi saksi kesakitanku. Sosok wanita itu terdiam dan bergeming di dalam otakku. Siapa dia, Alan? Kau belum sempat menceritakan tentang wanita itu dan sekarang kau pergi begitu saja meninggalkan jejak penasaran dalam diriku.
***
Kondisiku mulai drop. Aku tak mau menelan satu butir pun makanan yang disogokkan padaku. Sekujur tubuhku menegang hingga jarum suntik tak mampu menembus lapisan epidermis kulitku. "Asta, jujur aku tak mengenal siapa wanita itu. Alan tak menceritakannya padaku. Tolonglah, kamu makan ya sekarang.", bujuk Sissy dengan sepiring jatah makan siangku. Aku tetap saja diam. Ku hiraukan semua omongan Sissy yang mungkin hanya 10% terserap oleh gendang telingaku. Mataku menyorot hal kosong sebagai gerbang lintas otakku. 

Sissy menatap dokter dan suster yang sejak tadi menungguku hanya untuk sekedar membuka mulut. Dokter itu hanya menggeleng heran, seakan hampir menyerah dengan sikap patungku. Harusnya setelah ini jadwal terapi terakhirku, namun semua hancur berantakan karena kondisiku yang hampir saja seperti mayat hidup. Aku tak peduli. Aku hanya butuh suntikan Alan. Aku butuh dia. Rasa inginku ini telah mencekat hingga ke tenggorokanku. Kau hampir buatku mati, Alan. Muncullah sekarang atau kau akan melihatku terbujur kaku!
***
Ingatkah kamu padaku
Aku yang pernah ada di sana, di lubuk hatimu
Sejauh apapun jarak yang terbentang antara aku dan dia takkan mampu membunuh rasaku padanya
Yang ku tahu, aku mencintainya
Yang ku rasa, aku menyayanginya
Sungguh, aku memintanya

Aku mulai bangkit dari keterpurukanku. Tak ada lagi mayat hidup, tak ada lagi daging yang tak bertulang. Ku pupuk (lagi) semangat hidupku yang dulu dia ambil mentah-mentah dalam kepergiannya. Dia hanya masa laluku. Biarlah ku juluki dia pahlawan kesiangan meskipun dia datang detik ini juga. Meskipun menahan rasa rindu dan sayang ini begitu mencekat, mencekik, dan menjerat batinku begitu hebatnya, aku akan berjalan. Begitu menyakitkan ketika kita harus merindukan seseorang yang telah menyakiti kita terlebih dahulu. Rasanya begitu sakit ketika hatiku mulai menyeret namamu di dalam daftar orang-orang yang aku rindukan saat ini. Gubahan air mata menyeruak tak lagi terbendung. Kamu memang menyakitkan, namun kamu yang buatku bertahan.

Dokter membolehkanku menghirup udara bebas layaknya tahanan yang telah habis masa kurungnya. Aku bebas! Ingin ku pamerkan pada Alan jika aku bertemu dengannya nanti. Ingin ku teriakkan di telinganya kencang-kencang, "Aku bisa sembuh tanpa kamu, Alan!". Ya meskipun aku harus terus duduk kursi roda yang menjadi pengganti fungsi kedua kakiku untuk sementara waktu. Keluar dari ruang rawat inap, aku dan Sissy menelusuri lorong rumah sakit. Tak ada percakapan di antara kami. Aku terus terpaku dengan tulisan-tulisan di diary ungu kesayanganku. "Ini semua aku yang tulis, Sy? Demi apa?", tanyaku pada Sissy. Dia hanya menggeleng-geleng dan menepuk pundakku. "Haha iyalah itu tulisanmu. Ceker ayam yang ada di buku diarymu itu siapa lagi kalau bukan tulisanmu.", canda Sissy. Sial..
***
Sampai saat ini, Alan tak juga menunjukkan batang hidungnya. Ah mungkin bumi telah menelannya hidup-hidup atau membuangnya ke luar angkasa sana. Aku semakin terbiasa dengan keadaanku sekarang. Keadaan hampa, keadaan kosong, keadaan tanpa udara, tanpa dia. Mungkin dia hanya setengah hati padaku. Aku pun juga hanya setengah padanya. Ya, aku rindu setengah mati padanya. Setengah hati & setengah hati. Sama-sama setengah, tapi beda makna. Untung saja dia tak menambal setengah mati rindunya padaku. Bisa-bisa aku mati beneran karenanya.

Tiba-tiba ibu masuk ke kamarku. "Astaa.. Ibu punya kabar bagus untuk kamu.". Wajah ibu berseri-seri tak seperti biasanya. Aku bisa merasakan hangatnya mentari keki seketika, tersaingi oleh senyuman ibu yang jauh lebih hangat darinya. "Ada anak teman ibu yang mau belajar seni sama kamu. Berhubung kamu di rumah ga ngapa-ngapain, nanti dia kursus sama kamu di sini, di kamar kamu. Jadi kamu ga usah susah-susah turun ke bawah. Kamu mau?". Wow, tawaran bagus. Tapi apa aku sehandal itu tiba-tiba dinobatkan menjadi guru kursus seni? Belum sempat aku menjawab, "Aha! Karena kamu diam, ibu anggap kamu setuju. Oh iya, ibu juga sudah telepon Alan untuk membantumu selama menjadi guru kursus dan dia menyetujuinya. Kita mulai kursus besok ya, sayang.". Ibu kecup keningku dan segera meninggalkanku yang melongo. Alan? Dia lagi? ARGHH! Besok?? Tuhan, bisakah kau bangunkan aku dari mimpi buruk ini?

0 Komentar:

Posting Komentar