Desember 10, 2011

Kau Salah, Alan (part 2)

21 Januari 2009. Tepat satu bulan hati ini kosong tanpa kehadiran sosok manapun. Ya, aku rasa aku belum menemukan sosok pengganti Alan. Huh, sampai kapan aku terus begini ya? Semakin waktu bergulir, semakin aku tahu dan paham arti dari kekuatan. Ya walaupun terkadang air mata yang bersarang di dalam kantungnya itu keluar tanpa permisi dariku, aku bisa memaklumi itu. Aku belum sepenuhnya melupakanmu, Alan. Apa kamu di sana ikut merasakan hal yang sama? Atau bahkan kamu sudah menemukan sosok penggantiku di sana, Alan? Let me know, Alan.
***
Aku mulai terbiasa sejak kepergian tanpa permisi-nya itu. Aku tak tahu selama ini ia 'kabur' ke Australia dengan dalih berlibur di sana. Kau tau, ini menyakitkan, Alan. Apa kau sengaja pergi untuk melupakanku? Haha.. Aku sempat tertawa kecil meski pipiku telah dibanjiri oleh genangan air dari mataku. Semudah itu dia melakukannya di saat aku yang sedang bersikeras untuk menghapus dirinya sampai ke akar-akarnya di otakku. Oh, tak hanya di otakku, namun juga di hatiku. Ya, aku sedang berusaha untuk mencari penghapus yang ampuh untuk melenyapkan dia dari hidupku. Namun ku rasa, stok penghapus itu sedang habis di pasaran, hingga akhirnya aku harus menanggung resiko untuk jatuh bangun (lagi) untuk yang kesekian kalinya.
***
"Halo, hai apa kabar kamu?.... Oh kau ingin berkunjung rupanya?.... Kapan?.... Silakan, saya sedang ada di ruangan. Oke saya tunggu. Sampai bertemu.". Suara Pak Hilmi menggema di ruangan persinggahannya. Hmm.. Ada yang ingin berkunjung? Siapa? Ah sudahlah, bukan urusanku. Aku kembali menyentuh tumpukan file-file yang siap menunggu untuk dirapihkan. "Oh, dia ganti nomor ternyata.". Ganti nomor? Siapa? Kenapa Pak Hilmi seketika memandangku? Apa ada hubungannya denganku? Ah entahlah. Mungkin hanya kebetulan saja mata beliau tertangkap oleh radar mataku. 

Selang setengah jam berlalu, pintu ruang Pak Hamid terketuk oleh seseorang di luar sana. "Permisi", ujar sosok itu. "Ya, silakan masuk.", ujar si pemilik ruangan. Aku bergeming dari tumpukan file-file yang masih saja bertumpuk. Hey, kenapa tumpukan ini tak menyurut sedikitpun? Siapa yang menambahinya?

"Hai, Alan. Apa kabar kamu?". Hah? Apa yang barusan dikatakan? A..lan? Seketika tanganku berubah jadi beku seakan terendam oleh lelehan batu es di musim salju. Oh Tuhan, ku mohon jangan biarkan aku menoleh ke arahnya sedikitpun. Ku mohon semoga itu bukan....

"Wah, mana oleh-olehnya buat saya? Harusnya saya mendapatkan satu bayi kangguru ya. haha..". Aku hanya bisa mendengar celetukan sang guru dan tawa yang bersahut-sahutan dari orang-orang di dalam ruangan itu. Hanya aku yang seakan tuli, tak memberikan respon apapun terhadapnya. Ya, aku tak ingin mengalihkan perhatianku dari tumpukan-tumpukan ini. Terimakasih telah menyibukkan aku, hey tumpukan.
***
Satu jam berlalu dan akhirnya tugasku dengan tumpukan-tumpukan itu selesai juga. Ah! Alan.. Kenapa kamu masih di sana? Kenapa kau tak pergi saja? Apa aku perlu memanggil satpam untuk mengusirmu dari sini? Astaghfirullah, pikiran macam apa ini. Kenapa dia malah duduk di sana dan asik berbincang-bincang dengan guruku? Bagaimana bisa mereka saling kenal? Mataku tertuju pada jam dinding putih di ujung sana. Hey, waktu. Katakan padaku bagaimana bisa mereka saling kenal? Semua karenamu, bukan?
***
Entah aku harus menyebut ini dengan suatu anugrah atau bencana bagi kehidupanku. Bagaimana tidak, baru saja aku mampu berjalan setelah merangkak terseok-seok dari sosok yang membuatku jatuh berkali-kali itu. Dan kini? Kenapa dia harus kembali di saat aku tak butuh bertemu dengannya? Inikah suratan dariMu, Tuhan? Ku tarik napasku dalam-dalam dan ku hempaskan secara perlahan. Ku banting tubuhku di tempat tidur dengan sprei Winnie The Pooh kesukaanku dengan handphone di genggamanku. Ku buka satu jejaring sosial favoritku dan......

Alan | Senangnya kembali ke Ibukota. Namun, ah.. Kenapa harus ada yang membuatku sebal di hari pertamaku?

Ergh. Ingin rasanya ku banting hpku saat itu. Siapa yang kamu maksud, Alan? Aku? Kenapa kau tak katakan secara gamblang saja jika itu memang aku? Kau malu mengatakannya? Apa perlu aku ketik namaku sendiri di statusmu itu? Bolehkah tanganku mendarat di salah satu pipimu, Alan?

0 Komentar:

Posting Komentar