Januari 01, 2012

Kau Salah, Alan (part 11)

Dia membentakku. Di depan mataku. Di saat hatiku tercekat begitu hebatnya dengan tangis yang tak kunjung reda. Segala perasaan menyelubungi benakku, mencerna kata-kata yang beterbangan di ruang sekeliling otak rapuhku. 'Aku..egois?' semakin terngiang-ngiang bagai sirine ambulans yang berhenti menunggu kedatanganku. Dia berjalan meninggalkanku begitu saja, membiarkan aku bergulat dengan perasaan yang bahkan tak ada yang mampu mengungkapkannya dengan kata-kata. Semua bercampur, namun tak beraduk. Aku berharap dia akan berhenti dan menoleh padaku sejenak saja, agar rinduku tak lekas menguap meninggalkan embun-embun pengharapan. Detik demi detik ku hitung tanpa mampu ku lewatkan, dia terus berjalan dengan mantap. Hilang, dia hilang dari pandanganku. Segala doa yang ku panjatkan tiap detik saat itu tak terjamah. Dia pergi, benar-benar pergi. Dengan emosi termakan ilusi, dia jauh dan meninggalkan peluh di sini.
***
Ada kalanya membiarkan kepergian dia menjadi bukti abadi rasa sayang yang takkan tergantikan. Aku tak bisa mencintaimu seperti yang aku mau dan aku juga tak bisa mencintaimu seperti yang kamu mau. Aku cinta kamu, tapi aku tak sanggup mencintaimu. Rinduku menguap akan kita, yang sama-sama mengharap, yang sama-sama bertatap, yang sama-sama mantap. 
***
Pertengkaran hebat kami saat itu tak menyurutkan nyali Alan untuk berhadapan langsung denganku. Dia tetap ada di sini, bersamaku, meski atas dasar profesionalitasnya sebagai pendampingku dalam mengajar kursus seni yang telah berjalan sebulan ini. Tak banyak yang berubah darinya. Hanya saja kepribadiannya yang ku rasa berbeda. Dia kaku seperti batu, dia dingin seperti es beku di utara antartika, dia diam seperti malam kelam. Tak banyak senda gurau yang biasa dia celetukkan di saat aku dan Dena mulai tersentuh rasa jenuh. Sebagai orang yang telah lama mengenalnya, aku mampu memahami sekecil apapun perubahan yang terjadi padanya. Namun satu yang paling tidak ku sukai dari perubahannya itu. Dia menjadi sedikit arogan dan pemarah! Satu kali aku menegurnya ketika ia tak sabaran menghadapi Dena yang ku rasa bukanlah hal fatal yang terjadi karenanya. "Dena, aku sudah bilang sama kamu. Kalau warnanya ga boleh tabrakan seperti ini. Gimana mau bagus kalau kau main menabrak-nabrakkan warna, dikira mobil tabrakan.". Jleb. Raut wajah Dena berubah menjadi pucat pasi, putih hampir seputih kertas. Aku mampu merasakan getaran ketakutan Dena karena sikap Alan. "Alan, dia kan masih belajar. Ga perlu marah-marah. Namanya juga pemula.", sentak aku padanya. Api emosi masih menyelubungi raganya. Dia bangun dengan cepat dan bergegas pergi meninggalkan aku dan Dena yang terperangah melihat sikap dinginnya itu. Hanya tersisa aku dan Dena, saling bertatapan keheranan. Rasa khawatir dan takut masih ada di dalam diri Dena. Matanya yang mulai berkaca-kaca membuatku iba. "Sudahlah, dia hanya sedang banyak pikiran", kataku menenangkan.
***
Sifat tempramen Alan itu tak bisa ku pungkiri. Sekali saja dia marah, rasanya seperti membangunkan macan yang tengah tertidur pulas dan bersiap untuk memangsa siapa saja yang ada di dekatnya. Mengerikan. Itu adalah salah satu sifat yang paling ku benci dari Alan. Oleh karena itu, seringkali aku mengalah ketika aku mulai mencium segala macam keberatan di hati Alan. Ya, aku hanya tak ingin kami bertengkar. Tepukan pelan mendarat di pundakku, membangunkanku dari lamunan kerinduan akan Alan. Dena. "Kak Asta..", sapanya. Aku hanya tersenyum. Hari ini hanya ada aku dan Dena di kamarku saat kelas seni berlangsung. "Kakak kenapa melamun?", tanyanya. Aku hanya menggeleng perlahan. "Tidak apa-apa, Dena.", jawabku singkat. Dena bisa menangkap pancaran kebohonganku. "Mikirin Kak Alan ya, kak?". Deg. Apa raut wajahku menggambarkan hal itu? Tertunduk lesu aku dibuatnya. "Kak Alan kenapa, kak? Ada hubungannya denganku ya?", tanyanya lagi. Sepertinya dia sedang beraksi seperti tamu baru yang banyak bertanya. Dia hanya terpaut 1 tahun denganku, tapi sifatnya terkadang masih saja kekanak-kanakan. Polos. Belum banyak menerima polesan dari lingkungan sepertinya. Kini aku berpikir, dia hanyalah anak polos yang seringkali menjadi tancapan kecemburuanku atas kepolosannya. "Bukan, sayang. Dia hanya lagi banyak pikiran. Kita lanjutin garis konturnya aja yuk.", ajakku dengan isyarat tak ingin membahasnya lebih lama.
***
Lebih cepat, lebih baik. Lebih cepat tersakiti, lebih cepat waktu kesembuhan yang akan terjadi. Mungkin aku buta karena cinta. Cinta mudah membutakan indera perasaanku secara membabi buta hingga aku tak bisa membedakan antara rasa egois dan rasa sayang. Kepergian Alan membuat hatiku nelangsa. Ingin melihatnya, namun aku tak ingin dia melihatku. Ya, dia seperti bawang, melihatnya saja bisa membuatku menangis.

Seharusnya bukan dia yang pergi, tapi aku. Biarkan aku yang pergi, Alan, karena aku tau kau takkan menahanku sejauh apapun aku melangkah. Jangan biarkan aku melihatmu pergi karena ku pastikan ragaku akan berlari dan memelukmu erat sampai kau tetap singgah di sini.

Biarkan aku yang sakit karenamu, Alan. Karena aku tau, kau takkan mengobati dan menutup semua luka yang ada. Ku mohon jangan sakit karenaku. Ku pastikan tanganku takkan segan untuk mengurai semua virus yang menggerogoti lukamu. Aku terlalu sayang kamu hingga aku rela berkorban agar kamu  bahagia dengan jalanmu sendiri.

0 Komentar:

Posting Komentar