Januari 13, 2012

Kau Salah, Alan (part 14)

Aku berharap rasa sakit ini takkan bertahan lama demi mencintaimu. Aku merindukan genggaman sehangat mentari. Aku menginginkan pelukan sesejuk guyuran hujan. Aku mengharapkan sapaan yang mampu membangunkanku dari tidur panjangku. Aku merindukan, menginginkan, dan mengharapkan jari-jemarimu mengisi kekosongan rongga-rongga jariku di setiap kita bertemu. Aku..rindu..kamu.
Aku terduduk di bangku taman rumahku. Tatapanku menembus serabut awan di atas sana. Warna oranye bercampur kemerahan mulai mewarnai hamparan langit tak berujung. Senja menjelang, menunggu kehadiran bulan yang tak lama akan datang. Tanpa ku sadari yang tersisa hanya aku dan patah hatiku.
Sepulang dari rumah sakit, entah mengapa selera makanku langsung tertuju pada kue tiramisu yang cukup lama tak terjamah olehku. Tanpa ku sadar, sekarang hanya tersisa buah cherry yang tersemat cantik di antara krim-krim manis ini.
Aku teringat pada kebiasaan Alan saat senja menjelang. Setiap kali dia makan kue tiramisu bertabur krim putih dan cherry di atasnya, selalu saja bagian kuenya saja yang dia lalap habis. Dia selalu menyisakan buah merah merona itu di atas krim-krim manis yang sengaja dia sisihkan.
Dia tak begitu menyukai buah kecil namun manis itu. Tiap kali ku tanya mengapa, dia hanya berkata, "Buah itu tidak manis sama sekali. Menurutku semua buah pun tidak ada yang manisnya semanis dirimu."
Wajahku memerah padam seketika. Dia senang sekali membuatku tersipu malu dengan gombalan khasnya itu. Ah, lagi-lagi aku merindukanmu, Alan. Bagaimana bisa benda-benda di sekelilingku ini selalu menghantarkan bayang-bayangmu di batas rinduku?
Hari semakin senja dan aku masih saja terpaku dengan piring bersisakan cherry dan krim putih yang meliak-liuk di sekujur lapisannya. Ku ambil krim putih yang tersisa dengan ujung jariku. Aku teringat akan ritual colek krim antara aku dan Alan. Kapan lagi aku bisa menikmati buaian cherry dan colekan krim putih di kala senja bersamamu, Alan?
                                                           ***
            Balada kerinduan menghujam jantungku di setiap malam menyisir bumi. Aku lelah berkutat dengan rasa rindu yang menggebu, tapi tak pernah mampu terungkap. Ku lirik bintang-bintang yang semakin genit di atas sana, merayuku untuk tak lagi bersedih. Ku balas kedipan mereka dengan senyum seadanya. Tersenyum pada bintang membuatku teduh menerima radiasi cahaya kelembutannya.
            Sesungguhnya aku tak ingin dia tahu bahwa di pikiranku hanya ada dia. Aku takut dia berubah setelah dia tahu itu. Lebih baik aku terkurung dalam sel malarindu sampai kapanpun daripada aku harus kehilangan dia seutuhnya. Ketika cintanya tersebar indah di sekujur ragaku, aku percaya malaikat surga dunia itu nyata. Malaikat itu kamu, Alan. Kamu yang mengubah hampir seluruh masa hidupku dengan kristal kebahagiaan yang kau beri.
            Merindukan seseorang itu seperti merindukan sinar bulan pada hujan seharian. Tak bisa diprediksi kapan tepatnya sinar itu muncul, menerangi hati setiap jiwa yang pekat. Masih terbayang dengan jelas senyum terakhirnya itu. Hingga bulan sabit di atas sana pun memeragakan senyuman khas Alan yang tiada duanya di hatiku. Mata hatiku sembab sudah. Ia lelah menangisimu karena kau tak kunjung kembali, Alan.

0 Komentar:

Posting Komentar