Januari 01, 2012

Kau Salah, Alan (part 12)

Seperti berusaha menenggelamkan sesuatu yang hanya bisa terapung
Seperti menginginkan adanya kehidupan kepada yang telah lama mati
Seperti berusaha menggenggam angin yang semakin lama semakin menjauh
Berperang dengan hati
Yang kian lama kian tersesat dalam kesunyian jiwa


Aku terus menulis dan terus menulis sambil sesekali ku lirik Alan dan Dena yang tengah asyik berdua. Aku mengharapkanmu mengajakku kembali ke duniamu lagi, Alan. Salahkah aku bila aku menginginkan rasa sayang itu masih betengger di hatimu? Aku, hanya bisa terduduk di kursi roda, termangu melihat canda tawa mereka. "Fuh..", desahku pelan sambil tersenyum. Alan, sosok yang tak pernah bisa marah lebih dari sehari. Kini dia kembali lagi bersamaku, maksudku bersama aku dan Dena dengan alasan yang sama. Canda tawa Alan kembali lagi. Mungkin kepergiannya kemarin untuk membeli kegembiraan di toko sebelah. Keceriaannya menjadi pemancing senyumanku. Aku percaya, takkan ada yang bisa membiarkan keceriaan orang yang disayanginya lenyap meskipun orang itu pula yang sedang dibencinya saat itu. Sekalipun aku harus tak melihatmu tersenyum atau hingga membenciku, itu jauh lebih baik daripada aku membiarkanmu menangis ketika aku ada di sisimu. Aku memilih tuk diam dalam sedihku, lebih baik melihatmu tertawa meski tanpa kehadiranku di sisimu. Terimakasih, Tuhan. Kau pautkan senyuman manis di bibirnya.

Decitan bunyi pintu terdeteksi oleh indera pendengaranku. Wajah polos ibu melongok dari balik pintu. Aku merasakan kehadirannya, namun aku tak menoleh sedikitpun padanya. Aku takut ibu memergokiku yang tengah berkaca-kaca menahan segumpal sesak di dada. Tapi bukan rahasia umum jika batin seorang ibu begitu kuat pada anaknya. Saat itu ibu masuk ke kamarku hingga membuat Alan dan Dena menoleh ke arahnya secara bersamaan. "Asta, Alan, Dena. Kursus hari ini kita sudahi saja yuk. Ibu mau ajak kalian ke taman.", kata ibu bersemangat. Hah? Ada angin apa nih? Aku, Alan, dan Dena sama-sama berputar dengan pikiran masing-masing. Tak ada respon apapun dari kami. Ibu malah tertawa melihat tingkah kami. "Kenapa malah bengong? Ayo cepat turun, kita berangkat sekarang.".
***
Aku hanya bisa duduk memandangi hiruk-pikuk taman kota siang itu. Matahari sedang enggan untuk menusuk jiwa-jiwa manusia dengan sengatan cahayanya. Yang ku rasa hanya kesejukan di sana. Aku duduk di bangku taman bersama ibu di sampingku. Tingkah Alan dan Dena memenuhi layar panjang di depan mataku. Mereka bersenda gurau dengan sepeda yang mereka sewa. Tuhan, haruskah aku menangis untuk yang kesekian kali? Bukan kesedihan yang harusnya membuatku menangis. Tapi kebahagiaanlah yang harusnya membuatku menangis. Ya, mengapa aku harus bersedih jika orang yang ku sayang tengah bahagia dengan malaikat penggantiku di sana? Aku percaya, setiap orang pasti akan mendapatkan kebahagiaannya. Hanya saja waktunya yang berbeda. Semoga semua ini hanyalah fatamorgana semata.

Pandanganku buyar seketika melihat Dena jatuh dari sepeda. Ragaku spontan ingin bergerak menolongnya, tapi segera ku sadari, apa daya kakiku belum mampu bekerja seperti yang seharusnya. Dengan cepat Alan mengangkat tubuh Dena yang terjatuh. Tawaan mereka kembali menguak. Dena hanya tersenyum jail dan Alan membalasnya dengan cubitan. Kuatkan aku melihatnya, Tuhan..

Sinyal kegelisahanku tertangkap sudah oleh radar ibu. "Asta.. Kamu mau main sepeda juga? Yuk nanti ibu yang bonceng kamu..", ajak ibu tiba-tiba. Aku hanya menggeleng dengan senyum pahit tergambar di pucuk bibirku. "Tidak, Bu. Asta di sini saja. Kalau ibu mau main, main aja..", kataku mengalihkan. Ibu berdecak iba. "Oh iya, ibu baru ingat kamu ada jadwal terapi ya? Ini terapi terakhir kamu kan? Yuk berangkat sekarang.", ajak ibu. Syukurlah, terimakasih, Tuhan, Kau bawaku pergi dari pandangan menyakitkan ini. "Tapi, Bu. Alan sama Dena.." "Sudahlah, nanti ibu tinggal SMS Alan saja", potong ibu sambil mendorong kursi rodaku menuju mobil.
***
Aku mencarimu dalam kehampaan hati
Mengejarmu untuk mencari sandaran hati
Sandaran hati? Sekejap? Atau untuk selamanya?
Apa daya ingin menahanmu jika aku tak memiliki andil untuk itu

Hatiku resah. Seakan sembuh enggan, sakit pun tak mau. Mataku menyorot tajam pada lorong rumah sakit mengharap sosok pengisi hatiku muncul di sana. Hingga waktu terapiku tiba, tak ku lihat tanda kehadirannya. Itu semakin menyakiniku bahwa dia (memang) takkan datang. Sejam berlalu, tersisa 30 menit menuju akhir terapiku. Sebentar lagi aku sembuh! Ketukan pada daun pintu ruang terapi mengundang sorotan mataku dan orang-orang di dalam ruangan. Ah, itu pasti Alan! Ku mohon semoga itu kamu, Alan. Aku ingin dia melihatku sembuh dan berharap dia akan memelukku dan berkata, "Asta! Akhirnya kau sembuh!". Namun angan-angan kehadiranmu sirna, menguapkan bayanganmu di benakku. Office boy ternyata. "Permisi, pak, bu. Ada titipan untuk Asta..", katanya. Asta? Itu namaku. Titipan untukku? Dari siapa? "Dari siapa, pak?", tanya ibu sambil mengambil titipan berupa... Bunga gladiolus! Bunga kesukaanku! Dari siapa itu? Tak banyak yang tahu tentang bunga favoritku, kecuali ibu dan.....

0 Komentar:

Posting Komentar