Januari 05, 2012

Kau Salah, Alan (part 13)

Tak mampu berdiri
Rapuh..
Sakit..
Atau mungkin aku tlah mati


Seakan tak bernyawa
Ketika aku harus kehilangan satu keping yang begitu berarti
Kepingan yang mungkin tlah kau bawa saat kau pergi
Dan mungkin takkan pernah kau kembalikan lagi


Bunga gladiolus menjadi saksi kesembuhanku dari cengkraman retak pada kakiku. Namun semua terasa takkan sempurna tanpa kehadiran dia. Ya, mungkin dia telah mencampakkanku jauh-jauh sejak pertengkaran  yang tak berujung itu. Berapa lama rasa rindu itu harus memainkan hidupku?

Selalu ada pelangi di balik hujan, maka akan ada senyuman di balik tangisan. Aku percaya itu. Lagipula, mungkin ini yang terbaik untukku dan untuknya. Mungkin di sana, dimana saja dia berada, dia tengah tersenyum dengan jalan hidupnya yang baru, tanpa aku. Di sini, radar kerinduanku menguat. Aku merasakan kehadirannya dalam radius kurang dari semeter dariku. Sejauh sorotan mataku, aku tak bisa membidik liuk tubuhnya. Lalu, dimana dia? Ah, mungkin ini adalah salah satu permainan masa yang mengharuskan aku menuju pencapaian akhir, mengejarnya atau melepaskannya.
***
Rasanya sakit ketika hatiku mulai menyeret namamu di dalam daftar orang-orang yang aku rindukan saat itu. Aku seperti bulan, sendiri di sana, dikelilingi gelap, namun aku berusaha untuk tetap bersinar. Dengan kebangkitan ini, aku tengah menjahit sayatan luka kerinduan pada bilah jantungku. Itu luka, namun aku merindukan luka itu. Aku merindukan luka yang kau hujam, namun ragaku masih bisa mengendus tubuhmu. Sekarang, semua inderaku terasa mati, terkurung terpenjara dalam nistanya luka kehilanganmu.

Aku merindukan genggaman sehangat mentari. Aku menginginkan pelukan sesejuk guyuran hujan. Aku mengharapkan sapaan yang mampu membangunkanku dari tidur panjangku. Aku merindukan, menginginkan, dan mengharapkan jari-jemarimu mengisi kekosongan rongga-rongga jariku di setiap kita bertemu. Aku..rindu..kamu, Alan..
***
Aku berharap rasa sakit ini takkan bertahan lama demi mencintaimu. Aku tak mengenal waktu. Tanpa ku sadari yang tersisa hanya aku dan patah hatiku. Tanpa ku sadar pula, hanya tersisa buah cherry yang tersemat cantik di antara krim-krim manis ini. Seperti itu kebiasaan Alan. Setiap kali dia makan kue, selalu saja bagian kuenya saja yang dia lalap habis. Hingga tersisa buah merah merona itu di atas krim-krim manis yang sengaja dia sisihkan. Dia tak begitu menyukai buah kecil namun manis itu. Tiap kali ku tanya mengapa, dia hanya berkata, "Buah itu tidak manis sama sekali. Menurutku semua buah pun tidak ada yang manisnya semanis dirimu.". Wajahku memerah padam seketika. Dia senang sekali membuatku tersipu malu dengan gombalan khasnya itu. Ah, lagi-lagi aku merindukanmu, Alan. Bagaimana bisa benda-benda di sekelilingku ini selalu menghantarkan bayang-bayangmu di batas rinduku? Hari semakin senja dan aku masih saja terpaku dengan piring bersisakan cherry dan krim putih yang meliak-liuk di sekujur lapisannya. Kapan lagi aku bisa menikmati buaian cherry dan colekan krim putih di akhir jamuan santai denganmu di kala senja, Alan?
***
Dipikir-pikir, siapa yang mengirimiku bunga gladiolus itu ya? Yang ku tahu, bunga itu tak banyak beredar di pasaran. Lagipula, tak banyak yang tahu jika aku begitu terpikat akan keindahan bunga itu. Seingatku memang hanya ibu dan Alan yang tahu akan itu. "Bagaimana bisa kau mengenal bunga gladiolus? Apalagi kau begitu menyukainya. Bukankah lebih banyak bunga lain yang memiliki keistimewaan dibanding gladiolus?", kata Alan ketika pertama kali aku memberitahunya. Jika saja kau tahu, aku ingin seperti bunga gladiolus. Tak perlu iri dengan keistimewaan bunga lain karena setiap bunga memiliki pemikat tersendiri bagi sekitarnya.

Kadang aku menyesal mengapa aku bisa begitu terbukanya dengan orang-orang yang jelas-jelas tak mengerti perasaanku. Keterbukaanku ternyata bisa kau manfaatkan untuk menjatuhkan hatiku. Kini gravitasi seakan berpusat padanya. Dengan adanya bunga gladiolus ini justru semakin menyeret bayang-bayang Alan untuk terus menghantui setiap detikku. Bukan diriku yang menginginkannya, tapi perasaan ini yang tak mau beranjak dari singgasananya. Jika hal terindah ini yang terakhir darimu, aku akan menolaknya mentah-mentah karena aku tak ingin ada akhir di antara kita. Jika memang semua harus berakhir, aku ingin menjadi akhir yang tak mampu kau lupakan, Alan. Aku tak peduli seberapa besar rasa sakitku. Yang ku tahu, aku mencintainya.

1 Komentar:

meinie belle mengatakan...

nice one dear , keep on writting :)

Posting Komentar