Februari 24, 2012

Tersirat (Ter)Surat

Sepucuk surat bertengger di kotak pos halaman rumahku selama beberapa hari. Aku memang sengaja membiarkannya bernaung di sana. Aku takut surat itu darinya. Ya, dia yang kini bukan lagi pemilik tetap hatiku. Dia yang kini bukan lagi penghuni dimana ia tinggal dulu. Entahlah dia ada di mana. Mungkin di bumi bagian utara, bumi bagian selatan, hutan belantara, laut terdalam. Entahlah, aku tak tahu. Mungkin lebih tepatnya aku tak mau tahu.

Ku paksa hatiku menggulung lembar namanya. Namun mungkin semua itu takkan mempan. Rongga jiwaku justru memberontak mengharapkan bayangmu menjamahnya. Tidak mudah mempertahankan sesuatu yang sudah rapuh. Sekalipun dieratkan oleh beberapa tambalan di sana-sini, mungkin hanya sebagai penyanggah saja, bukan sebagai penguat atau perekat abadi. Seperti itulah hatiku, semua hancur berantakan ketika dia pergi tanpa pesan hingga sekarang kau justru meninggalkan pesan tanpa rasa bersalah. Memang berguna sebagai penambal rindu, namun tetap saja masih ada sisa lubang kesakitan di sana.

Dia menyilaukan, dia menggetarkan, dia menyiratkan, tapi dia pula yang menyurutkan semua yang ku rasa.

0 Komentar:

Posting Komentar