Februari 25, 2012

Kemunafikan Rindu

Jika saja aku mampu melukiskan garis kebahagiaanku, mungkin aku takkan melukisnya. Itu takkan berarti jika kamu tak ikut merasakan kebahagiaan itu. Aku memilih untuk merana jika memang itu bisa membuatmu bahagia.

Aku berharap dunia akan terus berputar agar aku tak terjatuh akibat pudarnya gravitasi darimu yang selama ini menopangku.

Kau tak tahu rasanya saat ku putar (paksa) sudut pandanganku pada arah yang tak tentu saat tertangkap radar kehadiranmu. Kau pun takkan  pernah merasakan saat aku (terpaksa) membekukan rindu yang tengah hangat merambat untukmu. Sukmaku mulai melingkarkan tali rindu pada bayangmu. Seakan jadi benalu, aku mulai bergantung padamu.

Sejuta kerinduan yang menyesakkan mungkin sama besarnya dengan warna hitam yang menutupi pandanganku. Jika saja kau mampu membongkar gudang rahasia dalam hatiku, kau akan lihat hanya ada rasa sakit di sana. Jika saja kau bisa menelusuri lorong mataku, kau akan tahu bahwa hanya ada air mata di sana.

Begitu sulit saat rasa rindu dan egois datang secara bersamaan. Sama-sama menuju satu titik, tapi beda haluan.

Kita terlalu munafik untuk mengakui bahwa kita saling cari tahu. Tapi kemunafikan itu terlalu menyesakkan. Mungkin aku butuh donor lensa mata agar tak hanya kamu yang ada di mataku. Mungkin aku pun perlu robot agar aku bisa (benar-benar) pergi agar rasa egois ini ikut pergi.

0 Komentar:

Posting Komentar