Juni 16, 2012

Kau Salah, Alan (Part 15)



“Udahlah, Sy. Biarin aja dia kayak gitu. Dia enggak salah kok.”, kataku lirih.
            Sissy bergidik. “Enggak salah gimana sih, Ta. Sampai sekarang, dia enggak minta maaf sama lo setelah kecelakaan itu, kan?”
            Kuhirup udara di sekelilingku perlahan namun pasti. Kucoba tenangkan batinku yang kini terkoyak begitu kuat. “Dia cuma enggak tahu apa yang dia lakukan.”. Suaraku hampir tak terdengar.
            Sissy menatapku penuh iba. “Udahlah, enggak usah kasihan sama gue, Sy. Gue enggak kenapa-kenapa kok.”. Kutebarkan senyuman penuh yakin agar Sissy percaya.
            “Ta.. Dia udah ketahuan mainin perasaan lo. Kalau emang dia sayang sama lo, pasti dia bisa nangkap perhatian lo ke dia dan otomatis dia akan balas perasaan lo yang tersirat itu.”. Sissy tak bisa berhenti menuding Alan. Tapi tudingan ini tak mempan membuatku beralih membela Alan.
            “Lo harus tetap jalan, Ta. Gue enggak mau lo jatuh-jatuh lagi karena dia. Udah cukup buat lo dan kesakitan lo. Enggak selamanya kita pertahankan rasa sakit demi mencintai seseorang. Kita punya kebahagiaan kita sendiri dan kita berhak akan itu.”, saran Sissy.
            Memang ada benarnya. Aku butuh kebahagiaanku sendiri dan aku berhak mendapatkannya. Aku tak boleh membiarkan kesakitan ini terus berlarut. 
            “Enggak usah buru-buru. Slowly but surely. Perlahan tapi pasti aja.”, tambah Sissy.
            Segala yang terburu-buru memang bisa berdampak buruk. Lebih baik perlahan-lahan namun dengan keyakinan daripada terburu-buru tapi bimbang.

            Dari semburat ekspresi Sissy selama sesi curhat berlangsung, aku bisa menangkap perubahan sikap Sissy pada Alan. Dia seolah kecewa berat dan kesal stadium akut pada sosok Alan. Sissy tak lagi hangat jika kuceritakan tentang Alan. Sekarang dia lebih banyak mengalihkan pembicaraan jika aku mulai menyinggung Alan di depannya.
            Bagaimanapun dan apapun yang terjadi antara aku dan Alan, aku tak ingin hubungan Alan dan Sissy menjadi tak baik-baik seperti ini. Cukuplah aku yang berurusan dengan Alan dengan seluruh kekesalanku. Jika memang aku yang akan membenci Alan, cukuplah aku, jangan lagi ada orang lain yang membenci dia.
            Apakah rasa ini adalah imbas rasa sayangku pada Alan sehingga aku tak ingin ada orang lain yang membencinya?

***

            Ada kalanya rasa rindu hadir bukan untuk dimanjakan, tapi disiasati sebaik mungkin. Tidak semua rasa rindu itu menyenangkan, ada kalanya rasa rindu menjadi gerbang utama menuju kesakitan akan indahnya masa lalu.
            Siklus percintaan antara aku dan dia berputar pada periode statis. Tak ada kemajuan apapun. Hubungan kami sampai saat ini masih dingin. Mungkin aku dan dia sama-sama gengsi dan tak tahu harus mulai dari mana untuk menyelesaikannya. Dan mungkin pula ini jalan terbaik untuk saat ini bagi aku dan dia.
            Tak perlu ada strategi khusus bagiku untuk menghapus sosok Alan dari rongga-rongga tubuhku. Jika ingatanku mulai menyeruakkan namanya, buru-buru kualihkan dengan melakukan apapun. Seperti sekarang, jalan-jalan menghirup udara segar di luar.

            Angin kencang menyibak jutaan rambutku dengan lembut. Tak hanya itu, dedaunan pun menari-nari bersama angin yang meniupkannya. Hujan rintik-rintik juga hadir sebagai teman perjalananku. Hujan ini kecil, namun bagaikan jarum yang menusuk kulit-kulit sekujur ragaku. Mungkin hujan ini sedang membantuku menusuk sosok Alan melalui pori-pori kulitku. Kubiarkan pula tetesan air sisa hujan deras di dedaunan meninggalkan lingkaran-lingkaran basah di bajuku. Dan aku pun tetap berlalu dengan rindu di hatiku.
            Kakiku terhenti pada taman kota. Begitu banyak orang-orang yang berhamburan di sana dengan raut bahagia yang terpancar di setiap wajahnya. Namun tidak untukku. Taman itu menyimpan begitu banyak kesakitan bagiku. Taman itu yang menjadi saksi bisu insiden kecelakaan hingga membuatku tersungkur berbulan-bulan. Taman itu pula yang menjadi tempat aku menyaksikan kebahagiaan Alan bersama Dena yang di sisi lain aku hanya bisa duduk terdiam melihatnya.
            Buru-buru kuhapus memori penuh kesakitan itu. Dengan keteguhan, aku berjalan menelusuri setapak kecil dengan ilalang-ilalang di pinggirnya. Aku terdiam tepat di atas jembatan kayu di atas sungai kecil ini. Kenangan indah menyibak udara dingin yang menusukku. Kembali terkuak bagaimana aku menghabiskan malam itu dengan Alan di sini. Walaupun jembatan ini pula yang menjadi saksi awal keretakan hubunganku dan Alan, tapi justru aku merasa nyaman bersandar di jembatan ini.
           
            Kutatap aliran sungai yang tergoyah perlahan akibat dentuman titik hujan. Dia tetap saja mengalir lembut meskipun seringkali menimbulkan arus kecil karena menabrak batu-batu yang mencuat di tengah-tengahnya. Tiba-tiba aku teringat omongan Alan waktu itu.
            ...walaupun kadang menabrak batu-batu yang ada di depannya. Tapi dia tetap berjalan, enggak peduli apapun yang menghadangnya. Itu seperti kita. Kita tetap jalan, walaupun banyak yang berusaha menjatuhkan kita, sekalipun tanpa status seperti ini. Aku tetap sayang kamu, Ta.
            
            Aku tersenyum lirih. Terasa hujan jatuh di ujung mataku. Kubiarkan air mata itu mengalir seperti air sungai di bawah sana. Aku menangis mengikuti awan yang sejak tadi mulai menangis. Tak dapat kuhindari, terlalu banyak kenangan yang telah membekas indah dalam hatiku. Selalu saja ada sisa-sisa kebahagiaan di dalam kesakitan yang telah terjadi.
            Setelah sekian lama kau buat aku melayang hingga bintang pun iri dengan sinar kasihmu, kau harus membuatku terhuyung melayang-layang bersama angin yang tak terarah. Setelah aku menyadari hanya kamu yang setia menjamah ruang di hatiku, kini kamu harus jauh dan tak mampu lagi tersentuh saraf perasaanku. Tabir indah yang kau beri kini tak ada lagi. Aku tak tahu mengapa hingga saat ini kau tak tergoyah untuk menemui dan menemani hidupku yang statis ini. Tuhan, kuharap dia ada di sini. Aku tak kuasa menahan rasa rindu ini, Tuhan. Aku tak bisa tanpa dia. Aku terlalu cinta dia dan terlalu butuh dia meskipun waktu tak mengijinkanku untuk hal itu.
            Aku membatin dan terus membatin. Terurai sudah doa-doa indah dariku untuknya. Semoga Sang Penjaga Hati kelak mengabulkan doaku.

Waktu berjalan tanpa henti. Aku masih saja menyendiri di jembatan kenangan itu. Sesekali kurasakan pijakan puluhan pasang kaki orang-orang yang berlalu-lalang di belakangku menyeberangi jembatan. Aku tetap saja bergeming, tak mengindahkan getaran-getaran deru kaki yang sejak tadi kurasakan. Kutopangkan tulang wajahku pada kedua tanganku tanpa mengalihkan pandangan dari aliran sungai di bawah sana. Begitu hebatnya air di bawah sana yang bisa move on dengan mudahnya meskipun mungkin telah tertampar puluhan batu di bawah sana.
            “Banyak yang bilang, cinta itu indah. Memang benar. Tapi cinta itu seperti berjalan di musim hujan. Menyejukkan, tapi bisa terpeleset jika tidak hati-hati.”
            Mataku mendelik dan lamunanku terpotong seketika. Suara yang kukenal sepertinya. Mungkinkah itu dia? Suaranya sangat dekat dan begitu jelas terdengar oleh telingaku. Kusapu bersih sekelilingku dengan kedua mata elang-ku. Terhenyaklah hatiku ketika kutemukan dia tepat di belakangku. “A.....”
            Tepat. Dia memang Alan. Dia terpaku di sana dengan posisi membelakangiku. Aku bisa mengenalinya dengan jelas karena style kemeja yang ia kenakan. Topi yang sedang ia pakai pun sudah pernah kulihat saat ia pakai juga di  perjumpaan kedua kami saat itu.
            Buru-buru kuputar badanku agar aku tak mematung melihat sosoknya. Kini dia benar-benar ada di dekatku, bahkan lebih dekat dari posisiku dengan aliran sungai di bawah sana. Tuhan, lagi-lagi Kau kabulkan doaku.



0 Komentar:

Posting Komentar