“Udahlah,
Sy. Biarin aja dia kayak gitu. Dia enggak salah kok.”, kataku lirih.
Sissy bergidik. “Enggak salah gimana
sih, Ta. Sampai sekarang, dia enggak minta maaf sama lo setelah kecelakaan itu,
kan?”
Kuhirup udara di sekelilingku
perlahan namun pasti. Kucoba tenangkan batinku yang kini terkoyak begitu kuat.
“Dia cuma enggak tahu apa yang dia lakukan.”. Suaraku hampir tak terdengar.
Sissy menatapku penuh iba. “Udahlah,
enggak usah kasihan sama gue, Sy. Gue enggak kenapa-kenapa kok.”. Kutebarkan
senyuman penuh yakin agar Sissy percaya.
“Ta.. Dia udah ketahuan mainin
perasaan lo. Kalau emang dia sayang sama lo, pasti dia bisa nangkap perhatian
lo ke dia dan otomatis dia akan balas perasaan lo yang tersirat itu.”. Sissy
tak bisa berhenti menuding Alan. Tapi tudingan ini tak mempan membuatku
beralih membela Alan.
“Lo harus tetap jalan, Ta. Gue
enggak mau lo jatuh-jatuh lagi karena dia. Udah cukup buat lo dan kesakitan lo.
Enggak selamanya kita pertahankan rasa sakit demi mencintai seseorang. Kita punya
kebahagiaan kita sendiri dan kita berhak akan itu.”, saran Sissy.
Memang ada benarnya. Aku butuh
kebahagiaanku sendiri dan aku berhak mendapatkannya. Aku tak boleh membiarkan
kesakitan ini terus berlarut.
“Enggak usah buru-buru. Slowly but surely. Perlahan tapi pasti
aja.”, tambah Sissy.
Segala yang terburu-buru memang bisa
berdampak buruk. Lebih baik perlahan-lahan namun dengan keyakinan daripada
terburu-buru tapi bimbang.
Dari semburat ekspresi Sissy selama
sesi curhat berlangsung, aku bisa menangkap perubahan sikap Sissy pada Alan.
Dia seolah kecewa berat dan kesal stadium akut pada sosok Alan. Sissy tak
lagi hangat jika kuceritakan tentang Alan. Sekarang dia lebih banyak
mengalihkan pembicaraan jika aku mulai menyinggung Alan di depannya.
Bagaimanapun dan apapun yang terjadi
antara aku dan Alan, aku tak ingin hubungan Alan dan Sissy menjadi tak
baik-baik seperti ini. Cukuplah aku yang berurusan dengan Alan dengan
seluruh kekesalanku. Jika memang aku yang akan membenci Alan, cukuplah aku,
jangan lagi ada orang lain yang membenci dia.
Apakah rasa ini adalah imbas rasa
sayangku pada Alan sehingga aku tak ingin ada orang lain yang membencinya?
***
Ada kalanya rasa rindu hadir bukan untuk dimanjakan, tapi disiasati sebaik
mungkin. Tidak semua rasa rindu itu menyenangkan, ada kalanya rasa rindu
menjadi gerbang utama menuju kesakitan akan indahnya masa lalu.
Siklus percintaan antara aku dan dia
berputar pada periode statis. Tak ada kemajuan apapun. Hubungan kami sampai
saat ini masih dingin. Mungkin aku dan dia sama-sama gengsi dan tak tahu harus
mulai dari mana untuk menyelesaikannya. Dan mungkin pula ini jalan terbaik
untuk saat ini bagi aku dan dia.
Tak perlu ada strategi khusus bagiku
untuk menghapus sosok Alan dari rongga-rongga tubuhku. Jika ingatanku mulai
menyeruakkan namanya, buru-buru kualihkan dengan melakukan apapun. Seperti
sekarang, jalan-jalan menghirup udara segar di luar.
Angin kencang menyibak jutaan
rambutku dengan lembut. Tak hanya itu, dedaunan pun menari-nari bersama angin
yang meniupkannya. Hujan rintik-rintik juga hadir sebagai teman perjalananku.
Hujan ini kecil, namun bagaikan jarum yang menusuk kulit-kulit sekujur ragaku.
Mungkin hujan ini sedang membantuku menusuk sosok Alan melalui pori-pori
kulitku. Kubiarkan pula tetesan air sisa hujan deras di dedaunan meninggalkan
lingkaran-lingkaran basah di bajuku. Dan aku pun tetap berlalu dengan rindu di
hatiku.
Kakiku terhenti pada taman kota.
Begitu banyak orang-orang yang berhamburan di sana dengan raut bahagia yang
terpancar di setiap wajahnya. Namun tidak untukku. Taman itu menyimpan begitu
banyak kesakitan bagiku. Taman itu yang menjadi saksi bisu insiden kecelakaan
hingga membuatku tersungkur berbulan-bulan. Taman itu pula yang menjadi tempat
aku menyaksikan kebahagiaan Alan bersama Dena yang di sisi lain aku hanya
bisa duduk terdiam melihatnya.
Buru-buru kuhapus memori penuh
kesakitan itu. Dengan keteguhan, aku berjalan menelusuri setapak kecil dengan
ilalang-ilalang di pinggirnya. Aku terdiam tepat di atas jembatan kayu di atas
sungai kecil ini. Kenangan indah menyibak udara dingin yang menusukku. Kembali
terkuak bagaimana aku menghabiskan malam itu dengan Alan di sini. Walaupun
jembatan ini pula yang menjadi saksi awal keretakan hubunganku dan Alan,
tapi justru aku merasa nyaman bersandar di jembatan ini.
Kutatap aliran sungai yang tergoyah
perlahan akibat dentuman titik hujan. Dia tetap saja mengalir lembut meskipun
seringkali menimbulkan arus kecil karena menabrak batu-batu yang mencuat di
tengah-tengahnya. Tiba-tiba aku teringat omongan Alan waktu itu.
...walaupun kadang menabrak batu-batu yang ada di
depannya. Tapi dia tetap berjalan, enggak peduli apapun yang menghadangnya. Itu
seperti kita. Kita tetap jalan, walaupun banyak yang berusaha menjatuhkan kita,
sekalipun tanpa status seperti ini. Aku tetap sayang kamu, Ta.
Aku tersenyum lirih.
Terasa hujan jatuh di ujung mataku. Kubiarkan air mata itu mengalir seperti
air sungai di bawah sana. Aku menangis mengikuti awan yang sejak tadi mulai
menangis. Tak dapat kuhindari, terlalu banyak kenangan yang telah membekas
indah dalam hatiku. Selalu saja ada sisa-sisa kebahagiaan di dalam kesakitan
yang telah terjadi.
Aku membatin dan terus
membatin. Terurai sudah doa-doa indah dariku untuknya. Semoga Sang Penjaga Hati
kelak mengabulkan doaku.
Waktu berjalan tanpa henti. Aku masih saja menyendiri di jembatan kenangan
itu. Sesekali kurasakan pijakan puluhan pasang kaki orang-orang yang
berlalu-lalang di belakangku menyeberangi jembatan. Aku tetap saja bergeming,
tak mengindahkan getaran-getaran deru kaki yang sejak tadi kurasakan. Kutopangkan tulang wajahku pada kedua tanganku tanpa mengalihkan pandangan dari
aliran sungai di bawah sana. Begitu hebatnya air di bawah sana yang bisa move on dengan mudahnya meskipun mungkin
telah tertampar puluhan batu di bawah sana.
“Banyak yang bilang, cinta
itu indah. Memang benar. Tapi cinta itu seperti berjalan di musim hujan.
Menyejukkan, tapi bisa terpeleset jika tidak hati-hati.”
Mataku mendelik dan
lamunanku terpotong seketika. Suara yang kukenal sepertinya. Mungkinkah itu dia?
Suaranya sangat dekat dan begitu jelas terdengar oleh telingaku. Kusapu bersih
sekelilingku dengan kedua mata elang-ku. Terhenyaklah hatiku ketika kutemukan
dia tepat di belakangku. “A.....”
Tepat. Dia memang Alan.
Dia terpaku di sana dengan posisi membelakangiku. Aku bisa mengenalinya dengan
jelas karena style kemeja yang ia
kenakan. Topi yang sedang ia pakai pun sudah pernah kulihat saat ia pakai juga
di perjumpaan kedua kami saat itu.
Buru-buru kuputar badanku
agar aku tak mematung melihat sosoknya. Kini dia benar-benar ada di dekatku,
bahkan lebih dekat dari posisiku dengan aliran sungai di bawah sana. Tuhan,
lagi-lagi Kau kabulkan doaku.
0 Komentar:
Posting Komentar