Februari 23, 2016

Sakitnya Sebuah Kepergian

Tidak ada jaminan soal kebersamaan. Segala kesatuan yang dijunjung setinggi-tingginya akan tergelincir oleh kata setia. Bukan maksud hati untuk mengingkari, tapi aku terlanjur tak sampai hati memenjarakanmu dalam keyakinan yang berbeda. Kita sama-sama memendam kesetiaan, hingga pada akhirnya mencapai muara perjalanan. Aku masih setia menjagamu dalam doa, memelukmu dalam kata sederhana, menyayangimu dalam tatapan mata. Kau pun begitu, setia menempati singgasana terindah dalam lubuk jiwaku. Tempat ini masih menjadi milikmu, menepilah sesuka hati. Meski rajutan itu kian merapuh tanpa pernah kumau, kita masih bisa terikat pada awan harapan yang sama. Berdua mengarungi hidup walaupun dalam jarak yang semakin menuai derita.

Berharap memiliki atap yang sama takkan berguna jika pondasinya runtuh tanpa disangka. Tak ada lagi pupuk yang menguatkan, kesegaran yang mengecap dahaga, hamparan yang menepikan lara. Hanya tersisa udara yang semakin hampa dan menua. Berjumpa denganmu hanya akan menggusur jerih payahku berjalan tanpa bayangmu di sisiku. Jalan yang mulai bercabang kian merayu untuk membuatmu berlalu. Pergilah secepat kilat, agar aku tak punya kuasa menahanmu semampuku. Selalu ada waktu yang bisa mengubah lugumu, berhentilah menggoda waktu untuk itu. Kita takkan berkembang jika masih saja terlena dengan masa lalu.

Sulit untuk mengakui bahwa kepergian adalah kesakitan yang memekakkan. Tidak ada kepergian yang sederhana. Selalu ada derita yang ditinggalkan. Entah bahagia dengan keterpaksaan, atau kesedihan yang tak tertahankan.

Rotasi kehidupan alami terjadi. Biarkan hidup menunjukkan keistimewaannya. Setelahnya, tentu akan ada kedatangan yang tak terduga.

Kedatangan pemeran baru....
atau justru tokoh lama yang baru saja berlalu...

0 Komentar:

Posting Komentar