April 11, 2014

Pantaskah Berbagi Hati?

Benci. Aku benci rasa ini. Rasa yang menikam pahit. Melukai tak hanya aku, namun juga dirinya, dan siapapun itu...

Siapa yang bisa mengerti apa keinginan hati? Rasa butuh akan sosok penikmat rindu yang kadang bermunculan tanpa pernah kumau. Entah butuh, atau sekedar merindu merasakan hal itu. Ah, bicara tentang hati memang takkan pernah ada habisnya. Menyenangkan memang, tapi jika kau tak hati-hati, kau bisa saja menikam dirimu sendiri tanpa kau sadari. Tak percaya? Itu terjadi padaku.

Memiliki tidak selamanya menjadikanmu bahagia sepenuhnya. Mencintai dia yang kini ada di sampingmu takkan semulus yang dibayangkan jika kau tak terpaut sepenuhnya. Kau bisa saja mengelak hingga memaksa. Sekuat mungkin pula rasa itu bisa pudar tak tersisa. Masih tak percaya? Awalnya aku pun tidak. Semakin lama aku menyadari, ada bagian dari rasaku yang hilang meski kutemukan penikmat cinta. Sekedar penikmat cinta, bukan penikmat rindu.

Aku jatuh dalam lubang yang kubuat sendiri. Mengizinkanmu masuk ke dalam hidupku dan membiarkanmu menari bersamaku. Tarian indah kah, atau justru pertanda kesedihan. Aku membiarkanmu memilikiku dengan apa adanya aku. Kubiarkan kamu terlelap dalam kata yang kurangkai sedemikian rupa hingga tak kusadari, aku terlalu jauh melangkah. Aku tak paham bagaimana ini terjadi. Membiarkanmu tetap bersamaku kala hatiku terbagi bukan hanya untukmu.

Ini semacam rasa yang penuh dusta. Bahagia di permukaan, namun menyimpan luka terdalam. Seduhan rayuan tersingkirkan oleh kekuatan kesungguhan. Kata singkat memenangkan kalimat panjang penuh makna. Dan dia, sedikit terabaikan hanya sosok tak jelas yang hadir tiba-tiba. Bagaimana bisa? Bukankah Tuhan memberiku dia dengan segala kebaikannya? Mengapa aku seakan buta untuknya dan terlalu membuka mata untuk yang lain?

Mencintaimu adalah suatu hal yang tak pernah kuduga. Rasanya begitu saja, meski takkan pernah ada kata yang berani mencuat. Menepuk hariku perlahan dan membiarkannya ada. Memercik air di dulang, aku akan kena batunya. Membiarkan rasa ini ada untukmu, namun aku masih menjadi miliknya. Rasa apa ini, Tuhan?

Bukan maksud bermain hati, aku hanya mencoba jujur pada hatiku. Mempermainkan hatinya hanya demi mengagumimu adalah satu tindakan terbodoh yang tengah kubuat. Hanya demi kamu, sosok yang belum tentu menginginkanku. Saling bertukar kata pun hanya sekedar, apalagi menikmati pesonamu dalam radar dekat. Tidak akan mungkin. Belum tentu pula kau akan berkorban rasa seperti apa yang kulakukan untukmu, kan?

---Teruntuk kamu, penyita waktu---
Apa rasanya menjadi pemilik rinduku, hai orang baru? Siapa kamu? Sosok bermuka dua yang menarik rinduku, sekaligus pemicu belenggu hidupku dengannya? Melukai dia hanya untuk kesenanganku. Menyelinap dalam hatiku yang jelas-jelas terjaga olehnya. Mencekik pikiranku hanya untuk sekedar tahu lebih jauh tentangmu. Mengorbankan perasaannya hanya demi berusaha memahamimu. Siapa kamu yang membuatku rela menyita waktuku demi memikirkan imajinasi indah bersamamu? Bukankah belum tentu kau begitu? Berkorban ikatan hanya untuk ketidakjelasan. Bodoh, begitu?

---Teruntuk kamu, sosok tulusku---
Bukan mauku, sayang. Salahkan hatiku yang maruk tak cukup hanya ada kamu. Aku terlalu menjaga hingga aku tak ingin kau terluka. Justru menyembunyikan hanya akan semakin melukaimu. Membunuh rasamu perlahan, aku tahu itu. Maafkan aku yang telah mencabik rasamu. Ampuni aku yang menyekap hatiku agar kamu tak tahu. Merindumu, tapi tak sepenuhnya begitu. Entah mengapa waktu membiarkanku begitu. Akankah suatu saat kau mengerti saat kita berpindah posisi? Apa aku bisa sekuat pertahananmu jika aku di tempatmu?

Bermain dengan hati tentu akan menyakiti dan tersakiti. Kelak akan ada yang terluka di ujung cerita. Entah aku, kamu, namun tidak mungkin untuk sang penyita waktu.



Karena pemilik hati kadang terkalahkan oleh sang penikmat rindu

0 Komentar:

Posting Komentar